Manusia dalam hidup keseharian senantiasa bergumul dengan dinamika
realitas yang mengitarinya. Terjadi interaksi intens antara manusia
sebagai subjek dengan realitasnya. Interaksi manusia dengan lingkungan
[Realitasnya] mewujud dalam beragam bentuk teknis.
Dalam nuansa refleksi terhadap realitas merupakan usaha untuk merespon
setiap stimulus yang disodorkan oleh lingkungan. Pada gilirannya proses
refleksi yang matang akan menghasilkan formula pandangan tertentu,
pandangan ini kemudian bertindak sebagai pijakan dasar manusia dalam
memahami semesta hidupnya.
Dalam lanskap modernitas pandangan dari hasil perenungan matang
tersebut sering diistilahkan sebagai ideologi [masih diperdebatkan].
Ideologi sebagai sebuah cara pandang dibutuhkan manusia sebagai panduan
aksi dalam dinamika hidupnya.
Peran ideologi yang vital menyebabkan manusia, terutama kaum pemikir
untuk mencurahkan segenap potensi kecerdasannya guna meramu format
ideologi yang paling tepat buat kaumnya.
Ideologi seringkali berada pada sisi yang dilematis, disatu sisi ia
mampu menjadi faktor pemersatu, namun di sisi lain ideologi tidak jarang
bertindak sebagai bahan baku pertikaian tanpa akhir.
Manusia memang butuh panduan tertentu dalam melakoni hidupnya. Panduan
tersebut dibutuhkan untuk menghindari suasana chaos sekaligus menjadikan
hidup punya orientasi. Namun pada sisi lai kita bisa bertanya demikian
bahwa apakah panduan harus datang dalam bentuk ideologi atau yang lain?
Sepintas pertanyaan ini terkesan kurang urgen. Hilangnya rasa urgensi
terhadap pertanyaan ini akan semakin terasa tatkala individu telah
memutlakkan bahwa panduan hidup hanya bisa datang dalam bentuk ideologi.
Dalam titik tertentu persepsi seperti itu penting untuk dibaca kembali.
Diskursus ideologi merupakan dialektika wacana yang sangat dinamis,
cair bahkan ramai diwarnai dengan “sengketa” pemikiran.
Pada hakikatnya, secara terma tidak terdapat keseragaman dalam
mendeskripsikan ideologi. Beragam pemaknaan ideologi, terutama berkutat
pada aspek garis demarkasi wilayah ideologi.
Sekedar komparasi sederhana, satu sisi ideologi terkadang dibatasi pada
aspek panduan hidup yang lahir dari hasil olah akal manusia. Namun
disisi lain pula, kelompok tertentu juga terkadang berpersepsi bahwa
panduan hidupyang bersifat transenden (ilahiah) juga merupakan ideologi.
Pada kenyataanya, dari komparasi tersebut tidak semua sepakat dengan
pandangan terakhir-yakni sesuatu pandangan hidup transenden adalah
ideologi. Ketidaksepakatan tersebut biasanya bersumber dari argumentasi
bahwa ketika aspek Ilahiah dikategorikan sebagai ideologi maka hal itu
justru akan mendesakralisasi kesucian Tuhan. Yang mana Tuhan menjadi
elan vital dalam sebuah ajaran.
Perbedaan tafsir dalam memaknai ideologi, dengan demikian bisa menjadi
landasan keyakinan bahwa panduan hidup bisa saja datang dalam bentuk
lain. Bilamana kita sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan
tersebut, maka bukan berarti perdebatan tentang urgensi ideolog telah
selesai.
Sejatinya masih ada lembaran lain yang mesti dibaca dan diurai.
Perdebatan tersebut merambah struktur dalam ideologi. Dialektika pada
struktur internal ideologi terbilang lebih kompleks dari sekedar
berbicara tentang defenisinya.Terdapat medan diskursus lebih luas yang
mesti dielaborasi secara kreatif.
Ideologi sebagai sebuah pandangan selalu memuat tentang regulasi
“benar” dan “salah”. Biasanya antara ideologi yang satu dan ideologi
yang lain sering berbeda dalam menetapkan standar tersebut.
Perbedaan standar tersebut kemudian melahirkan produk kesalahan dan
kebenaran yang berbeda pula. Produk kebenaran didaulat sebagai
keunggulan bagi ideologi tertentu. Berbagai macam dalih dan argumentasi
disusun untuk menguatkan posisi kebenaran tersebut.
Pada posisi ini, kebenaran versi ideologi tertentu secara sadar atau
tidak sering digunakan untuk menilai ideologi di luar dirinya. Penilaian
tersebut tidak sedikit melahirkan penilaian yang bias bahkan dalam
titik terjauh yang terjadi adalah nuansa penghakiman.
Kita tahu bersama bahwa sangat besar peluang untuk menyalahkan ideology
tertentu ketika diterawang berdasarkan ideologi yang berbeda darinya.
Dengan demikian, pada dasarnya semua ideologi punya potensi untuk
mentasbihkan diri sebagai yang paling benar.
Hal tersebut terjadi karena setiap ideologi memiliki standar tertentu
dalam memandang realitas. pandangan terhadap realitas kemudian
melahirkan persepsi, ketika persepsi dikuatkan dengan berbagai macam
dalil argumentasi maka pada saat itu persepsi telah berubah menjadi
sebentuk prinsip hidup.
Bagi manusia tertentu prinsip hidup yang berasal dari rahim ideologi
yang diyakininya dianggap sebagai hal sakral bahkan mungkin akan
dimutlakkan. Apatahlagi ketika prinsip tersebut berjumpa dengan prinsip
lain yang berasal dari ideologi lain.
Pada posisi seperti ini maka biasanya akan melahirkan dialektika. Pada
dialektik tersebut sangat disayangkan jika yang terjadi lahir dalam
bentuk “konflik fisik”. Dalam dimensi yang lain dialektika semetinya
lahir dalam bentuk konflik tidak harus dimaknai negatif. Khususnya bila
konflik lahir dalam bentuk pertarungan pemikiran.
Sebab konflik pemikiran dalam titik tertentu akan melahirkan dinamika
pemikiran produktif. Disana akan lahir beragam ide dan kekayaan
intelektual. Dari pertarungan yang terjadi, tidak mustahil pula ide itu
akan menyatu dan membentuk ideologi baru.
Pada sisi lain, Ideologi yang terlibat konflik pemikiran, nuansa
negatif akan muncul jika dalam konflik ideologi dialektika pemikiran
tidak berjalan secara produktif atau penganut ideologi menutup ruang.
Lalu memilih melakukan penghakiman secara fisik, dalam situasi ini
bentrokan fisik tak akan terhindarkan bahkan bisa memicu perang terbuka.
Benturan ideologi dapat dihindari, caranya adalah membangun dialog
ideologi. Hal yang didialogkan terutama menyangkut perbedaan pandangan
dalam berbagai hal prinsipil. Dialog tersebut yang mesti lahir adalah
prinsip keterbukaan, bukan prinsip eksklusivisme ekstrim.
Dialog ideologi dimaksudkan untuk membangun saling pengertian diantara
berbagai ideologi sehingga ideologi tertentu tidak semena-mena dalam
menjustifikasi ideologi lain. Penting dicatat bahwa dialog ideologi
tidak diarahkan untuk melakukan penyeragaman ideologi.
Sebab kita mesti tetap bijak untuk mengakui keragaman pandangan yang
ada. Disini pula perlu untuk dipertegas bahwa dialog ideologi akan
sekedar menjadi catatan kata tatkala egoisme ideologi hadir dalam bentuk
berlebihan (ekstrim). Egoisme ideologi secara ekstrim akan menutup
ruang dialog ideologi karena ia akan melahirkan rasa kebenaran dalam
dirinya sendiri
Posisi ideologi memang terkadang terkesan dilematis bagi sebagain
manusia, tidak mustahil terdapat individu yang merasa frustasi dengan
ideologi dan memilih untuk mencampakkannya.
Pencampakan ideologi tidak otomatis merupakan pencampakan yang utuh,
bisa saja si subjek merasa mencampakkan ideologi namun secara tak sadar
ia beralih ke panduan lain yang sebenarnya juga merupakan sebuah
ideologi.
Terlepas apakah ideologi mesti dirangkul atau dicampakkan maka,
pencampakan ideologi tidak mampu membunuh ideologi itu sendiri karena
salah satu tempat bersemayam ideologi adalah pikiran manusia.
Jadi sekalipun terdapat usaha struktural untuk mencampakkan ideologi
maka ideologi akan tetap hidup, paling tidak ia hidup dalam pikiran
penganutnya walaupun tidak menemui ruang aktualisasi dalam ranah
empirik. Ideologi tak bisa dibunuh karena ia memiliki tempat yang tak
bisa disentuh oleh tangan kasar.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar