Kegagalan tradisionalisme islam dalam menjawab berbagai pertanyaan
krusial seputar masalah bumi dan langit tak pelak lagi telah memicu
munculnya varian pemikiran baru yang mencoba membelah diri dari tubuh
tradisionalisme. Varian tersebut yakni neo tradisionalisme islam disatu
sisi dan dan post-tradisionalisme islam disisi lain, keduanya dikatakan
membelah diri sebab sekalipun telah mengambil bentuk lain namun tradisi
masih bersemai dalam kedua aliran tersebut.
Neo-tradisionalisme merupakan bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba
membangun kesadaran akan pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan.
Tetapi tidak seperti tradisionalisme ia justru melihat bahwa kegagalan
tradisionalisme terletak pada cara penyajiannya yang menyuguhkan tradisi
dengan cara dan metode kalsik sehingga alih – alih mendapat respon
positif dari manusia modern tradisionalisme justru diapresiasi
pesimistik serta selalu dikaitkan dengan nuansa keterbelakangan.
Berangkat dari fakta itu, neo-tradisionalisme memilih menyajikan tradisi
dalam bahasa kemoderenan. Sebagaimana pandangan Sayyed Hosein Nasr
sebagai pentolan neo-tardisionalisme “penting memahami manusia modern
beserta pengetahuan modern yang membentuknya agar tetap akrab dengan
agama dan akar – akar tradisi bahkan menjadikan islam sebagai world view
untuk memberi makna kehidupan ditengah dunia yang kehilangan
orientasinya”, statement tersebut menandaskan bahwa neo-tradisionalisme
sangat yakin jika tradisi yang dibahasakan secara kontemporer akan mampu
bertindak sebagai solusi kemanusiaan, kemunduran islam disebabkan
karena mereka alergi dengan tradisinya sendiri, tradisi sufisme
merupakan bahan perbincangan tersendiri dalam ruang neo-tradisionalisme
semisal prinsip kemanunggalan manusia dan alam ala sufisme dijadikan
sebagai pandangan alternatif terhadap logika subjek objek (manusia
versus alam) dalam mainstream kerangka modernitas yang terbukti membawa
dampak kerusakan massif serta mengganggu harmonisasi kehidupan. Penting
dicatat bahwa sekalipun neo-tradisionalisme menyajikan islam tradisional
dalam bahasa kontemporer namun mereka tidak sampai pada tahap
dekonstruksi terlebih rekonstruksi walau tetap melakukan evaluasi
kritis.
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya alam
pemikiran islam bersedia mengakui lahirnya varian pemikiran baru dari
rahim tradisionalisme namun tidak bisa diidentifikasi sebagai
tradisionalisme maupun neo-tradisionalisme, kelak varian pemikiran itu
melabeli diri dengan sebutan post-tradisionalisme islam. Sepintas
istilah tersebut terlihat ganjil sebab sekalipun mengaku menjadikan
tradisi sebagai basisnya namun penggunaan kata post “melampui” terkesan
mencampakkan tradisi itu sendiri, akan tetapi terlepas dari kontroversi
diatas post-tradisionalisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam
gelanggang pemikiran islam, kita tidak mungkin menafikan sumbangan
pemikiran sekaliber Muhammad arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd,
Abed al Jabiri hingga Gusdur untuk konteks keindonesiaan.
Post-tradisionalisme yang biasa juga disingkat dengan sebutan”postra”
selalu identik dengan transformasi tradisi secara meloncat yakni
pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya. Arkoun
dalam bukunya “naqd al islam” menjelaskan bahwa kemunculan
post-tradisionalisme islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks
pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya,
penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam konteks
fiqih, teologi dan tasawwuf), cara pandang tertentu atas epistemologi
abad pertengahan terhadap alam semesta.
Secara metodologis masih terjadi pertentangan dalam menilai ada atau tidaknya metode berpikir tersendiri bagi kaum post-tradisional, yang berkeyakinan tidak berargumentasi bahwa postra tidak berpretensi membangun metodologi tapi lebih pada pemberian bingkai kritisisme dalam memandang bangunan ortodoksi keagamaan sedangkan yang berkeyakinan bahwa post-tradisionalisme memiliki metodologi menganggap bahwa kecenderungan para pemikir post-tradisional dalam mendekonstruksi lalu merekonstruksi berbagai bentuk pola dan struktur terhadap kemapanan dengan otokritik terhadap teks – teks ajaran agama merupakan metodologi tersendiri bagi post-tardisionalis. metodologi ini lalu dijabarkan dalam berbagai bentuk teknis oleh para pemikirnya (pembacaan ulang terhadap tradisi oleh Hassan Hanfi, reorientasi nalar islam oleh Abed al Jabiri, membaca al qur’an lewat bingkai hermeunetika ala Nasr Hamid Abu Zayd). Gaya dekonstruksi pemikir postra merupakan hasil persinggungan dengan postmo (post-modernisme). Sampai sekarang masih tetap terjadi perdebatan terkait batas kerangka epistemologi dari post-tradisionalisme islam. Menurut pandangan penulis, kontribusi post-tradisionalisme islam masih diharapkan selama beberapa generasi kedepan dalam rangka membentuk tradisi yang lebih mampu bergaul dengan semangat zaman sedangkan neo-tradisionalisme akan memilki sumbangsih terhadap pengarahan orientasi kemanusiaan yang cenderung salah arah dibawah panji modernitas.
Secara metodologis masih terjadi pertentangan dalam menilai ada atau tidaknya metode berpikir tersendiri bagi kaum post-tradisional, yang berkeyakinan tidak berargumentasi bahwa postra tidak berpretensi membangun metodologi tapi lebih pada pemberian bingkai kritisisme dalam memandang bangunan ortodoksi keagamaan sedangkan yang berkeyakinan bahwa post-tradisionalisme memiliki metodologi menganggap bahwa kecenderungan para pemikir post-tradisional dalam mendekonstruksi lalu merekonstruksi berbagai bentuk pola dan struktur terhadap kemapanan dengan otokritik terhadap teks – teks ajaran agama merupakan metodologi tersendiri bagi post-tardisionalis. metodologi ini lalu dijabarkan dalam berbagai bentuk teknis oleh para pemikirnya (pembacaan ulang terhadap tradisi oleh Hassan Hanfi, reorientasi nalar islam oleh Abed al Jabiri, membaca al qur’an lewat bingkai hermeunetika ala Nasr Hamid Abu Zayd). Gaya dekonstruksi pemikir postra merupakan hasil persinggungan dengan postmo (post-modernisme). Sampai sekarang masih tetap terjadi perdebatan terkait batas kerangka epistemologi dari post-tradisionalisme islam. Menurut pandangan penulis, kontribusi post-tradisionalisme islam masih diharapkan selama beberapa generasi kedepan dalam rangka membentuk tradisi yang lebih mampu bergaul dengan semangat zaman sedangkan neo-tradisionalisme akan memilki sumbangsih terhadap pengarahan orientasi kemanusiaan yang cenderung salah arah dibawah panji modernitas.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar