Perputaran
waktu kembali mengantarkan manusia beriman kepada sebuah momen penting
dalam sejarah kehidupan seorang insan. Ramadhan, demikian orang
mengenalnya, merupakan bulan spesial dimana pemandangan tak lazim
berubah familiar, seolah nuansa religiusitas turut mewarnai bulan ini.
Dari anak usia tiga tahun sampai orang dewasa, tiba-tiba terdorong untuk
meramaikan mesjid. Di setiap sudut kita melihat jumlah jamaah meningkat
tajam dari sebelumnya. Orang yang tadinya bertetangga namun tidak
saling mengenal karena kepungan pekerjaan, sontak menjadi akrab dan
merapatkan tali silaturrahim.
Seakan tidak mau ketinggalan
kereta, aparat pemerintah pun ramai-ramai memberikan ucapan selamat
berpuasa, baik lewat media cetak maupun elektronik—bahkan wajah mereka
hampir setiap hari muncul di TV hanya demi melafazkan beberapa potong
kata: “Selamat berbuka”. Suasana ini juga tampak mewarnai kaum muda.
Kalau sebelumnya mereka malas sholat, maka di bulan ramadhan terjadi
pembalikan 360 derajat. Sholat tarwih yang jumlah rakaatnya lumayan
banyak, turut dilibas, begitu pula dengan sholat shubuh—yang padahal
biasanya mereka masih merayakan mati kecil (baca: tidur shubuh) pada
waktu tersebut.
Ketika ramadhan coba diteropong dari segi substansi, maka tirai kesemuan yang menyelimuti dari luar akan tersingkap, sehingga realitas murni mampu menuturkan dirinya sendiri. Lalu barulah manusia tersadar jika fenomena musiman saat ramadhan hanya menomorsatukan aspek ritual dengan mengabaikan aspek substansi. Dengan kata lain, hanya menanamkan norma, bukan membumikan nilai.
Sekeras
apapun kita menyangkal, namun di bagian penghujung kita harus tetap
obyektif mengakui bahwa kondisi saling memberi antar tetangga
(penerjemahan dari buka puasa bersama di mesjid), pejabat ramai-ramai
memberikan ucapan selamat berpuasa, sampai muda-mudi yang tiba-tiba
rajin meramaikan mesjid, masih berkisar pada wilayah normatif belaka.
Belum lagi, bahwa berbagai tindakan di atas pada esensinya hanya
merupakan sebuah bentuk pengkerangkengan terhadap amalan-amalan
tertentu, sebab dengan berlalunya ramadhan, maka muncul pula
diskontinuitas tindakan, sehingga mata kembali disuguhi mesjid yang
kosong melompang di waktu shalat, misalnya. Pertanyaannya, di manakah
gerangan manusia Islam yang selama sebulan aktif meramaikan sholat
berjamaah di mesjid? Lalu kita akan mudah menjawab: Mereka telah kembali
ke habitat aslinya!
Upaya reorientasi pemahaman makna
ramadhan sepatutnya menjadi hal urgen. Pada hakikatnya, pelaku puasa
tidak hanya dituntut untuk menghadirkan puasa selama satu bulan saja,
akan tetapi lebih dari itu, mereka dituntut agar menghadirkan ramadhan
di sepanjang bulan lainnya. Caranya, ibadah tidak lagi diserap sisi
normatifnya melainkan aspek nilai sebagai yang paling utama. Maka di
luar ramadhan orang tetap peduli pada si miskin sebagai manifestasi
zakat; kelima panca indera tetap dipuasakan di luar ramadhan sebagai
perpanjangan tangan dari shaum; makna baru tidak lagi dipusatkan pada
pembelian pakaian baru, karena itu pertanda hanya membarukan jasmani
sementara rohani tetap dibiarkan tua dan renta. Lebih jauh, justru hati
dan akal yang perlu lebih mendapatkan sentuhan kebaruan.
Seharusnya
kita tidak perlu heran kalau selama ini puasa kita tidak mampu
bertindak sebagai mesin perubah, sebab pada dasarnya kita tetap belum
mampu melakukan rekonstruksi paradigma berpuasa. Justru sebaliknya, kita
keasyikan melanjutkan tatanan norma lama tanpa melibatkan usaha
dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman. Akibat rasional dari logika
tasalsul—dinyatakan tasalsul karena hanya berputar pada wilayah
pengulangan norma—yang secara inheren dibangun dan dilanggengkan setiap
ramadhan, maka manusia malah terperangkap pada cara pandang dan tindakan
bengkok, sehingga kondisi orang Islam antara sebelum dan sesudah bulan
suci ibarat pinang dibelah dua: tak ada beda secuilpun.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar