Oleh: Zaenal Abidin Riam
Bagi anda penggemar film, atau sekadar penikmat film, tentu tidak asing lagi dengan
judul sang pencerah dan judul sang kiai, ke dua film ini termasuk kategori film
yang mencerahkan, masing – masing film ini menggambarkan narasi besar dari
ormas terbesar di nusantara, sang pencerah dengan ikon Muhammadiyah nya,
sedangkan sang kiai dengan ikon Nahdhatul Ulama nya, bila sang pencerah selalu
penulis sebutkan terlebih dahulu sebelum sang kiai, maka hal itu sama sekali
tidak bermaksud melahirkan diskriminasi ucapan, penyebutan sang kiai, maka itu
hanya mengacu kepada jadwal tayang, kebetulan sang pencerah lebih dulu tayang
di layar lebar dari sang kiai, film ini sebenarnya berdimensi sejarah, mencoba
mengajak penonton memahami peran dan kontribusi ke duanya dalam pentas
kebangsaan, minimal ini merupakan salah satu garis persamaan yang bisa ditarik,
kesamaan lainnya adalah keduanya fokus menggambarkan tokoh pendirinya, walaupun
muncul persamaan umum, kita juga tidak menafikan perbedaan setting dalam ke dua
film tersebut.
Sang pencerah memilih memfokuskan dirinya dengan menelisik jauh ke belakang,
alur cerita film dimulai dengan kelahiran Ahmad Dahlan, sang tokoh pendiri
Muhammadiyah, lalu masuk ke masa kecil, Ahmad Dahlan kecil digambarkan sebagai
pribadi yang sudah mempertanyakan ritual masyarakat yang dianggapnya menyimpang
dari agama, sebuah kecenderungan yang kelak mempengaruhi pola pikirnya, setelah
dewasa, khususnya pasca menuntut ilmu di Makkah, Ahmad Dahlan kembali dengan
pikiran – pikiran modernisme islamnya, sang pencerah memang fokus menggambarkan
perjuangan Ahmad Dahlan dalam menyebarkan pikiran modernisme islamnya, pada
hakikatnya film ini bermaksud menawarkan modernisme islam ala Muhammadiyah,
sebuah gerakan pemikiran yang akarnya bisa dilacak ke dunia intelektual arab,
modernisme versi Ahmad Dahlan, berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa untuk
membaharukan Umat Islam, mesti dimulai dengan penghilangan budaya yang dianggap
khurafat, karena budaya inilah yang mebelenggu Umat Islam dalam kejumudun, baik
pikiran terlebih prilaku, itulah mengapa sehingga gerakan Muhammadiyah juga
dikategorikan sebagai gerakan pemurnian aqidah.
Sisi berbeda ditunjukkan oleh sang kiai, film ini memilih mendeskripsikan peran
sang tokoh sentral pendiri Nahdhatul Ulama, K H Hasyim Asy’ari, terkait pikiran
– pikiran kontributifnya dalam perjungan kemerdekaan, dengan kata lain,
sumbangsih Nahdhatul Ulama dalam menggapai kemerdekaan, film ini sampai
menggambarkan pertempuran anak muda Nahdhatul Ulama di bawah bendera laskar
hizbullah, adegan tersebut sebenarnya ingin menekankan bahwa Nahdhatul Ulama
sejak awal merupakan bagian dari Indonesia, kecenderungan tersebut juga
tertuang dalam pikiran seorang K H Hasyim Asy’ari, saat sang tokoh dimintai
fatwa tentang perlunya mendukung kemerdekaan Indonesia, maka dengan tangan
terbuka, pendiri salah satu ormas terbesar di nusantara ini, menyanggupinya,
pemandangan sama juga terjadi saat Bung Tomo meminta resolusi jihad kepada Sang
Kiai, bagian ini menunjukkan sisi fleksibilitas pemikiran K H Hasyim Asy’ari,
bahkan dalam titik tertentu sikapnya cenderung kompromistis pada Jepang, hal
ini ditunjukkan dengan kemauannya bekerjasama dengan Jepang dalam sisi
tertentu, tentu ini bukan sikap membelot, melainkan lebih sebagai strategi
memenangkan peperangan melawan penjajah, buktinya laskar hizbullah yang lahir
dari sikap kompromistisnya terhadap jepang, mampu menjadi barisan pejuang
tangguh yang menghadang kedatangan Belanda, sikap moderat ala K H Hasyim
Asy’ari ini, tercermin sebagai sikap khas Nahdhatul Ulama hingga sekarang,
bahkan ormas ini terang – terangan mengkampanyekan diri sebagai organisasi
islam moderat, berada di tengah (wasathan), tidak radikal, namun juga tidak
liberal.
Dalam dimensi universal, kehadiran ke dua film ini, merupakan anti tesa dari
label radikalisme yang belakangan sering distigmakan pada Umat Islam, streotip
ini memang tidak muncul begitu saja, gejala ini tak lepas dari sepak terjang
segelintir oknum yang membalut kekerasan dengan jubah agama, ke dua film ini
ingin menegaskan bahwa Umat Islam Indonesia bukan penyokong radikalisme, Umat
Islam Indonesia juga bukan entitas yang memusuhi negara, buktinya ke dua
organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah,
telah terang – terangan menyatakan komitmennya bahwa NKRI telah final,
kehadiran Umat Islam di Indonesia adalah mewujudkan dan terpeliharanya nilai
islami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk membentuk negara
islam, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah juga menjadi pionir bahwa kita bisa
berislam tanpa menanggalkan keindonesiaan kita, berislam bukan berarti harus
mencomot model kehidupan arab, yang perlu hidup di Indonesia adalah islamisasi,
bukan arabisasi, Indonesia perlu bersyukur dengan kokohnya dua ormas islam
terbesar ini, karena mereka telah menyatakan loyalitasnya di bawah panji merah
putih, namun tetap memegang teguh atribut keislamannya.
Posting Komentar