Oleh: Zaenal Abidin Riam
Politik adalah kosakata yang sering dipakai masyarakat, politik bukan lagi
kosakata eksklusif bagi kelompok tertentu, masyarakat awam yang tidak paham
politik, juga sering menjadikan politik sebagai perbincanagn di waktu senggang,
konten berita dalam media lokal, nasional, sampai internasional, tidak pernah
jauh dari hal yang berbau politik, jika memandang politik dari sisi praktik,
maka akan muncul sudut pandang yang sangat dinamis, mulai yang memandangnya
dalam kerangka positif, hingga yang mempersepsinya dalam kerangka sangat
negatif, politik memang merupakan area sangat cair dari sisi kenyataan, posisi
kawan dan lawan tak pernah bertahan lama, semua bisa berubah dengan cepat,
walaupun praktik politik lebih banyak yang bernuansa negatif, namun tetap
banyak individu atau kelompok dengan idealisme tinggi, memilih jalur politik
sebagai alat mewujudkan idealismenya, dilema sering terjadi karena, pandangan
antara beragam kelomok dalam dunia politik tentu berbeda, dalam kondisi ini,
kompromi sering tak bisa dihindarkan, khususnya saat ingin mengambil keputusan
bersama.
Berbicara tentang kompromi, maka ada satu hal yang pasti, kompromi mengharuskan
agen di dalamnya “menggugurkan” sebagian pendiriannya, lalu bersedia menerima
sebagian pendirian dari teman komprominya, disinilah fenomena kontras sering
terjadi, mereka yang dulunya menentang sesuatu sebelum masuk ke dunia politik,
justru menerima sesuatu tersebut saat ia telah terjun di dunia politik,
akibatnya stigma negatif bisa meluncur deras pada dirinya, kompromi tentu
dipandang berbeda oleh para pelaku politik dan orang yang berada di luar
lingkaran politik, bagi para pelaku politik, kompromi adalah hal yang sah – sah
saja, bahkan ia wajib dilakukan dalam situasi tertentu, bagi mereka, penilaian
baik dan buruk tentang kompromi, sangat dipengaruhi oleh pemilihan momen dan
masalah yang ingin dikompromikan, tetapi bagi mereka yang hidupnya di luar
dunia politik, khususnya manusia awam, kompromi dalam bentuk apapun lebih
sering dipandang sebagai hal negatif, ok, anggaplah kita mengikuti sudut
pandang pelaku politik, bahwa kompromi adalah hal tak terhindarkan dalam
aktifitas politik, pertanyaan sederhananya adalah, apakah semua hal bisa
dikompromikan dalam dunia politik?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu kembali pada poin – poin yang
merupakan pendirian / prinsip dari setiap kelompok politik, secara umum, pasti
terdapat persamaan universal antara prinsip kelompok politik yang satu dan
kelompok politik yang lain, namun di sisi lain, juga terdapat perbedaan yang
mendasar dari segi prinsip antara kelompok politik, biasanya prinsip yang
berbeda tersebut, lebih berkaitan langsung dengan aspek ideologi dari setiap
kelompok, jika poin – poin prinsip yang bersifat sekunder, dikompromikan, maka
hal tersebut bisa dipahami, toh bagi pelakukanya cara tersebut hanya dianggap
sebagai tindakan taktis, namun bila prinsip yang benar – benar prinsipil turut
dikompromikan, maka hal ini yang susah diterima akal sehat, terlebih bila hasil
kompromi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari
kelompoknya, pada posisi ini, yang terjadi murni barter kepentingan, bila
kenyataannya sudah seperti ini, komitmen menegakkan idealisme kebenaran,
melalui jalur politik, tak lebih dari omong kosong belaka, keengganan untuk
tidak mengkompromikan prinsip kebenaran paling mendasar oleh kelompok tertentu,
sama sekali bukan bermaksud menempatkan kepentingan kelompok di atas
kepentingan umat / masyarakat, tetapi ia merupakan upaya untuk tetap menegaskan
yang benar sebagai yang benar, dan yang salah sebagai yang salah, kebenaran
yang terang tidak boleh dikompromikan dengan kesalahan yang teranga pula,
walaupun itu dalam dunia politik yang begitu cair.
Jadi benarkah politik adalah seni untuk berkompromi? Pada dasarnya pernyataan
tersebut hanya merupakan salah satu defenisi politik, kalaupun kita mengikuti
defenisi tersebut, maka yang perlu ditegaskan adalah, tidak semua perkara bisa
dikompromikan dalam dunia politik, mengkompromikan prinsip yang kebenarannya
terang dengan perkara yang kekeliruannya terang, adalah kekeliruan yang sangat
naif, lalu bagaimana bila kelompok tersebut adalah kumpulan mayoritas dalam
politik? Apakah ia harus tetap mempertahankan prinsip kebenaran tersebut saat
semua kelompok lain telah sepakat berkompromi? Sebenarnya pertanyaan semacam
ini terlihat terlalu putus asa, bukankah kita juga mengenal yang disebut lobi –
lobi politik, melalui mekanisme lobi politik, seharusnya kelompok tersebut
melobi kelompok politik lainnya dan berupaya membangun poros tersendiri, hal
ini masih lebih cerdas dibandingkan hanya menunggu pinangan lobi dari kelompok
politik lainnya, mengenai hasilnya, tentu sangat ditentukan oleh kekuatan
komunikasi dalam membangun lobi, dalam realitasnya politik memang lebih identik
dengan menang dan kalah, bukan benar salah, tapi benarkah yang menang itu
selamanya benar? Tidak kan.
Posting Komentar