18 tahun lalu jantung ibukota dilanda gelombang protes besar – besaran,
ribuan mahasiswa bersama rakyat tumpah ruah ke jalan meneriakkan slogan –
slogan anti Soeharto, ganyang rezim orde baru. Gedung DPR/MPR yang
selama ini dianggap sebagai lambang pemapanan ketidakadilan lewat undang
– undang hasil godokan para legislator yang sarat tendensi kepentingan
terhadap penguasa, diduduki oleh para mahasiswa dari berbagai elemen.
Disisi lain, kerja intelijen mulai beroperasi dengan merekayasa aksi
mahasiswa ke arah aksi – aksi destruktif lewat tindakan – tindakan rasis
terhadap etnis tionghoa dengan menjarah dan membakar toko – toko
mereka.
Celakanya karena tindakan manipulasi tersebut juga menghiasi
pemberitaan media sambil berjalan beriringan dengan suara protes nurani
yang disuarakan oleh para mahasiswa, dalam skala tertentu tindakan
manipulatif intelijen mampu mempengaruhi sebagian masyarakat untuk
mengubah fokus aksi mereka dari kebencian terhadap Soeharto dengan rezim
orde barunya menuju sikap intimidatif terhadap etnis tionghoa,
beruntung karena rancangan rekayasa intelijen tidak berhasil mematahkan
gelombang reformasi yang saat itu menjadi jargon paling kuat dalam dunia
gerakan, kondisi ini serasa tidak sukar diterima sebab selama tiga
puluh dua tahun berkuasa dengan cara represif (termasuk mengambilalih
kekuasaan dengan cara represif pula) maka sepanjang periode itu Soeharto
telah menyulap diri dan rezimnya sebagai common enemy paling mematikan,
sehingga wajar jika pemberitaan media di tahun 1998 cenderung berpihak
kepada gerakan mahasiswa sebab media juga butuh keluar dari sangkar
keterkungkungan yang kala itu memasung kebebasan berekspresi media.
Berbagai dinamika yang melingkupi era 98 semuanya bertemu pada sebuah
titik “kebencian” terhadap Soeharto dengan rezim orde barunya, situasi
ini membuat soeharto semakin terjepit ke pojok kekuasaan sehingga
walhasil semua upaya yang dikerahkan untuk mempertahankan rezim hanya
berakhir sia – sia. Disadari ataupun tidak, setiap kekuasaan yang
didirikan diatas puing – puing penindasan selalu saja melakukan tindakan
kontradiksi internal dalam melanggengkan arus kekuasaan, dengan
ungkapan lain bahwa sehebat apapun sebuah rezim dipertahankan lewat
mekanisme pembungkaman namun justru pembungkaman itulah yang menjadi
salah satu pemantik untuk menjungkalkan rezim kekuasaan tersebut,demikian pula nasib yang menimpa Soeharto dan rezim orde baru,
pembungkaman yang semula dimaksudkan untuk mempertahankan aparatus
penguasa justru menjadi salah satu elemen penting yang turut
menjungkalkan kekuasaan orde baru.
Lebih jauh kita patut bertanya,
apakah tergulingkannya Soeharto dan keruntuhan rezim orde baru
merupakan “kartu as” yang mampu mengeluarkan kita dari lingkaran
ketidakadilan yang mendera bangsa ini selama tiga puluh dua tahun,
bahkan lebih radikal kita bisa berujar, apakah memang benar sistem orde
baru telah runtuh? Atau ia seakan hanya berganti kulit dengan substansi
sama. Nama bisa saja berubah bahkan sebagian orang tidak mau ambil
pusing dengan perubahan nama itu akan tetapi model operasional
pemerintahan masih mengidap bakteri – bakteri jahat warisan orde baru
karena kebencian kita terlalu terfokus kepada pribadi ‘soeharto” seorang
seakan dia bekerja sendiri dalam mengendalikan mesin ketidakadilan
tersebut padahal ia dikelilingi oleh kroni - kroninya yang mungkin saja
jauh lebih agresif dari Soeharto, maka ibarat jamur, kita hanya memotong
bagian atas jamur tersebut tanpa mencabut akarnya padahal akar tersebut
bisa sewaktu – waktu tumbuh.
Kondisi seperti itulah yang terjadi
sekarang, dimana sisa – sisa akar jamur orde baru kembali tumbuh subur
dan menyusup ke lingkaran elit pemerintahan lalu membajak pemerintahan
berdasarkan kepentingan masing – masing. Karena terlalu fokus untuk
menumbangkan Soeharto tanpa merubah sistem ditambah lagi sebagian elemen
gerakan memang tidak mempunyai tawaran sistem yang benar – benar baru
bahkan beberapa diantara mereka hanya sampai pada loncatan pemikiran
untuk menambal sistem, sehingga konsekuensinya adalah banyak kroni –
kroni orde baru yang berhasil lepas dari jeratan gelombang reformasi,
mereka kemudian mencuci tangan lalu menampakkan diri sebagai orang yang
seolah – olah bersih/suci, demi menghindari kecurigaan publik mereka
juga berlagak sebagai pengkritik rezim orde baru padahal komunitas
inilah yang turut bertanggungjawab atas penindasan struktural yang
dipentaskan dalam kurun waktu tiga puluh dua tahun di bumi pertiwi.
Dalam bentuk konkrit kita bisa melihat warisan orde baru di berbagai
bidang, mulai dari ekonomi sampai politik, di bidang ekonomi terdapat
beberapa perusahaan maupun anak perusahaan swasta yang dulunya aktif
memberikan sokongan finansial atau membayar upeti kepada rezim demi
memperluas ekspansi kerajaan bisnisnya dan mengeruk sumber daya alam
Indonesia ternyata masih mampu bertahan hingga sekarang, beberapa
perusahaan tersebut dimiliki oleh swasta asing atau swasta nasional
namun sebagian juga dikendalikan oleh kroni – kroni orde baru, pada
tingkatan tertentu mereka justru bermesraan dengan aparatus pemerintah
demi melicinkan transaksi kepentingan. Di bidang politik, hingga saat
ini kita masih bisa memandangi dengan baik beberapa elit politik yang
juga telah menorehkan dosa politik karena merupakan bagian dari
lingkaran sistem orde baru masih bisa bertahan dan memainkan peran
krusial di tataran politik elit, begitupun dengan partai yang dulunya
bertindak sebagai mesin politik orde baru juga masih bisa bertahan
bahkan menjadi besar dan turut mengontrol dinamika perpolitikan
Indonesia, seharusnya semua elemen tersebut terlebih dahulu dibubarkan
atau dikeluarkan dari lingkaran sistem pemerintahan lalu kita membangun
sistem baru yang benar – benar bersih dari orang atau kelompok yang
masih mengidap sindrom “rindu orde baru” serta memiliki visi misi
kerakyatan utuh, sebab jika tidak maka tidak layak juga bagi generasi
Indonesia untuk menganggap tanggal 21 Mei sebagai hari reformasi karena
dalam realitas empiris yang terjadi bukanlah “reformasi” tetapi yang
sesungguhnya terjadi adalah momen “repot tnasi”.
Reformasi berubah muka
menjadi “repot nasi”, repot nasi karena sebagian penyelenggara
pemerintahan adalah orang – orang yang diproduk dalam rahim kepentingan
orde baru sehingga nalar dan tindakan mereka masih mengikuti pola – pola
orde baru walaupun mengambil model penampakan lain akan tetapi tetap
saja sindrom pemikiran masa lalu menyelinap kedalam alam pemikiran
mereka, maka sangat wajar jika kelompok ini mengutak – atik jagad
politik karena ingin menyelamatkan kepentingannya, bukan demi
mensejahterakan rakyat sehingga rakyat kemudian didera bencana, “ repot
nasi”, “repot sembako”, ‘repot listrik”, “repot BBM” dan repot – repot
lainnya. Semakin canggih mereka bermanuver di bidang politik ekonomi
maka masyarakat juga akan semakin banyak menjumpai kerepotan – kerepotan
baru yang sebelumnya tidak terbayang di benak mereka, pemberitaan di
media – media sangat jelas merekam masalah kontradiksi ini, publikasi
yang dilakukan oleh sekelompok LSM dengan memamerkan kehidupan hedon dan
glamor anak – anak pejabat kemudian dipersandingkan dengan foto – foto
kehidupan rakyat melarat semakin memperjelas jurang ketimpangan ini .
di lain
sisi, kita harus mampu melakukan serangkaian pembacaan kritis terhadap
keberlangsungan reformasi, reformasi sebagai sebuah model perubahan
sosial membutuhkan alat kelengkapan dalam menunjang proses kesempurnaan
perubahannya, perangkat kelengkapan tersebut merupakan prasyarat yang
mesti terpenuhi, sebab jika tidak maka boleh jadi reformasi hanya
menampakkan diri secara sepotong – sepotong atau bahkan yang terjadi
bukanlah reformasi tetapi lawan dari reformasi. Jika kita mampu sampai
pada tingkatan analisis ini maka barulah kita bisa manilai
keberlangsungan reformasi secar objektif yang oleh sebagian penggiat
reformasi dianggap semakin menjauh dari substansi awalnya. Momen
reformasi yang meletus di tahun 1998 digerakkan oleh berbagai elemen
termasuk kalangan mahasiswa dan masyarakat, kedua kelompok sosial ini
(mahasiswa dan masyarakat) merupakan kelompok yang pro terhadap
reformasi tanpa disertai kepentingan politik apapun selain impian akan
perubahan, namun disisi lain kita jarang menganalisis secara cermat
bahwa ternyata reformasi juga digerakkan oleh kelompok yang tidak pro
reformasi, lebih jauh kelompok kontra reformasi melakukan penunggangan
terhadap kelompok pro reformasi dalam bentuk memaksa merekayasa lahirnya
reformasi 1998 sehingga lahirlah reformasi prematur, sebuah model
reformasi yang sebenarnya belum siap tetapi dipaksakan untuk lahir saat
itu juga, maka jadilah reformasi 1998 sebagai reformasi yang kebablasan
tanpa disertai tawaran konsepsional yang jelas.
Memang agak terkesan
aneh ketika kelompok kontra reformasi mendinamisir munculnya reformasi
akan tetapi yang perlu dicatat bahwa mereka bergerak atas motif
kepentingan politik ekonominya yang mulai terancam oleh rezim orde baru,
kelompok kontra reformasi tidak hanya didalangi oleh orang dalam
Indonesia justru dalang utamanya adalah pihak luar Indonesia terutama
AS. AS melalui agen intelijen CIA telah memaksakan lahirnya reformasi
98, rekayasa yang mereka lakukan dalam bentuk membocorkan informasi –
informasi rahasia terkait kejahatan – kejahatan kelas kakap orde baru
kepada publik, publik yang tidak kritis dengan serta – merta menelan
informasi bajakan tersebut tanpa mereka sadari bahwa dibalik informasi
tersebut terdapat kepentingan politik ekonomi dari negara adidaya,
gejala ini bukan tidak terbaca oleh sebagian aktifis pergerakan, hanya
saja informasi bajakan CIA telah terlanjur membentuk opini publik bahkan
sebagian aktifis pergarakan juga hanya mampu mengakses data – data
penting tentang kebobrokan orde baru melalui informasi yang dibocorkan
oleh CIA. Secara akal sehat, tentunya CIA hanya membocorkan informasi –
informasi rahasia terkait kepentingan politik ekonomi Amerika Serikat di
Indonesia dan tetap menutup rapat – rapat informasi diluar kepentingan
politik ekonomi AS. Kalau boleh berandai – andai maka dalam perandaian
penulis “seandainya kita bisa lebih sabar dan cermat dalam menganalisa
gejolak sosial di tahun 1998 maka mungkin bukan reformasi yang terjadi
tetapi revolusi yang akan menampilkan diri di pentas perubahan walaupun
kita harus menunggu sampai beberapa tahun sesudahnya namun karena
ketidaksabaran dan keteledoran maka alih – alih menikmati “revolusi”
kita justru disuguhi hidangan “repot nasi”.
Rangkaian dinamika
yang melingkupi momen reformasi 1998 sepatutnya menjadi pelajaran
berharga bagi para aktifis dan calon aktifis pergerakan di masa yang
akan datang, bahwa dibutuhkan kecermatan dan ketepatan dalam mendiagnosa
perubahan terlebih lagi jika ia berskala besar. Dalam pandangan
penulis, paling tidak ada dua alternatif yang bisa disodorkan dalam
merespon dinamika pergerakan kekinian. Pertama, kita yakin bahwa
reformasi masih bisa diandalkan sebagai elan vital dari sebuah model
perubahan yang masih sementara mentransformasikan diri atau lebih
cenderung pada alternatif kedua yakni mesti terjadi satu kali lagi
revolusi total yang tidak hanya mengganti orang tetapi juga mengganti
sistem secara menyeluruh, opsi pertama terkesan moderat dan walaupun
telah dimulai namun memakan waktu lama untuk menuntaskan prosesnya
sedangkan alternatif kedua terkesan lebih radikal dan memang butuh
penantian panjang untuk menunggu hari – hari kemunculannya namun ia
mampu mendatangkan perubahan total disegala bidang. Tawaran pertama
berpotensi terhenti ditengah jalan karena ‘dibajak” oleh kepentingan
tertentu sedangkan alternatif kedua bisa berubah 180 % dari bentuk
aslinya karena kedatangannya justru “dikhianati” (revolusi yang
dikhianati).
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar