Beberapa
waktu terakhir ruang keindonesiaan diramaikan dengan berbagai macam hiruk
pikuk kehidupan, tidak selamanya hiruk pikuk tersebut berlangsung dalam suasana
hening, adakalanya hiruk pikuk kehidupan berlangsung dalam tempo panas,
dipenuhi gejolak, saling serang, saling bertikai sampai saling bunuh.
Pihak yang bertikai masing–masing membangun argumentasi pembenaran guna
membela kelompoknya sendiri, tidak ada yang legowo mengaku keliru, yang ada
hanyalah pembenaran atas dalih keyakinan yang seringkali berdiri di atas
landasan egoisme, dalam titik tertentu tindakan pengklaiman kebenaran diri dari
semua pihak yang bertikai, terkadang membuat masyarakat berada dalam suasana
yang dilematis, mereka kadang ragu dalam menilai tentang siapa
yang benar dan siapa yang salah, tidak jarang pula masyarakat menjatuhkan
pilihan penilaian secara salah kaprah akibat lebih terpengaruh oleh pemberitaan
media, tanpa melihat langsung realitas objektif di lapangan, akan tetapi yang
lebih mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat sampai pada sebuah kepeutusasaan
ekstrim untuk tidak lagi mau menilai tentang siapa yang benar dan siapa yang
salah, keputusasaan seperti ini tidak mustahil akan mengantar masyarakat untuk
tidak lagi peduli dengan pertikaian yang kerap mewarnai wilayah kebangsaan
kita, mereka bersikap cuek selain karena
telah lelah dengan saling klaim kebenaran di antara pihak yang bertikai, juga
karena masyarakat merasa bahwa gejolak pertengkaran tersebut tidak mempengaruhi
siklus kehidupannya.
Sebagai penegasan awal, penulis ingin menekankan
bahwa tindakan brutalisme/kekerasan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
segala bentuk tindakan yang dilakukan atas dorongan hasrat (nafsu) demi membela
kepentingan pribadi atau kelompoknya, batasan ini perlu penulis berikan sebagai
penjelasan, bahwa perjuangan yang terkadang menggunakan cara ekstrim/keras dalam
domain pembelaan untuk kepentingan umat tidak bisa serta merta divonis sebagai
aksi kekerasan. Dalam perspektif penulis, aksi brutalisme yang belakangan ini
marak terjadi merupakan sebuah refleksi dari kekalahan dalam berpikir, ia
merupakan indikasi bahwa akal sehat tidak bekerja secara maksimal, jika
ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa tindakan kekerasan berawal saat
individu atau kelompok tertentu terlibat dalam polemik argumentasi dengan
individu atau kalompok lain, individu atau kelompok yang terlibat polemik telah
terlanjur punya keyakinan berbeda dan bertentangan tentang bentuk kebenaran
yang diyakininya dalam kasus yang sama, ada momen dimana salah satu pihak tidak
lagi mampu membela pandangannya secara argumentasi akal sehat ,namun di sisi lain
mustahil pula baginya untuk merubah pandangannya bahkan cenderung memaksakan
pandangannya kepada pihak lain yang berpolemik dengannya, pada saat inilah
biasanya tindakan kekerasan digunakan
sebagai instrumen dalam memaksakan pahaman.
Tindakan kekerasan sering dibungkus dalam beragam kemasan, mulai kemasan politik hingga kemasan agama, kemasan agama mengambil bentuk untuk mengabsahkan tindakan kekerasan saat pemahaman keagamaan yang dianut oleh individu atau kelompok tertentu dalam salah satu agama terlihat tekstual ekstrim, tekstual ekstrim yang dimaksudkan adalah pemahaman yang murni berdasar pada teks sebuah ajaran, tanpa berusaha menangkap spirit makna yang berada dibalik teks tersebut, tidak membuka ruang bagi keberagaman pemahaman yang bisa dipertanggungjawabkan, pada posisi ini akan terlihat bahwa agama yang tidak menghalalkan kekerasan justru dinampakkan dalam wajah brutalisme, akan tetapi penting pula untuk diingat bahwa agama dalam konteks ini tidak bisa dipersalahkan, karena ajaran agama secara substansial tidak pernah melegitimasi kekerasan, hanya pengikutnya yang terkadang salah kaprah dalam memaknai ajaran agama yang diyakininya, benar bahwa setiap agama memberikan ruang kepada pengikutnya untuk melakukan tindakan keras, namun hal itu dilakukan dalam konteks pembelaan terhadap keyakinan yang dianutnya saat jalan damai tak diberi ruang, penting diingat bahwa setiap ajaran agama juga memberlakukan doktrin perdamaian bagi setiap pengikutnya
Skala kekerasan akan semakin meningkat dan berlarut-larut tatkala kepentingan politik mulai menginfiltrasi ke dalam kasus kekerasan yang sementara berlangsung, di negeri ini tidak jarang kekerasan sengaja dikondisikan untuk meloloskan kepentingan politik tertentu, sering pula dijumpai kekerasan yang awalnya tidak bermotif politik, namun kemudian berubah menjadi sangat politis, karena telah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu, dalam situasi ini kekerasan sengaja dipelihara sampai kepentingan politik yang diinginkan mampu tercapai. Aparatus kekuasaan dalam kondisi tertentu juga sering bermain dibalik layar, khususnya dalam memunculkan dan memlihara kekerasan yang menguntungkan posisi kekuasaannya, kekerasan pada posisi ini paling tidak digunakan dalam dua hal, pertama sebagai bentuk pengalihan isu terhadap pelanggaran masif yang dilakukan oleh penyelenggara kekuasaan, kedua, sebagai bentuk teror untuk membungkam oknum yang mengkritik kekuasaan menyimpang yang dipamerkannya
Tindakan brutalisme/kekerasan dapat dihindari paling tidak dengan melakukan tiga hal, pertama, membangun pola pikir yang lebih rasional diantara semua individu dan kelompok, pola pikir yang lebih mengedepankan akal sehat, pola pikir semacam ini akan mempengaruhi tindakan individu atau kelompok untuk berhitung secara matang sebelum melakukan sebuah tindakan, pola pikir ini juga akan menjadikan emosi tidak bertindak sebagai panglima dalam melakoni hidup, pola pikir rasional akan mendorong lahirnya interaksi yang lebih humanis di antara sesama. Kedua, mendorong munculnya sikap toleransi terhadap sesama, khususnya toleran dalam menghargai perbedaan prinsip dan pandangan, rasa toleransi akan terbangun dari pola pikir yang terbuka (inklusif), toleransi akan memunculkan nuansa pluralisme, pluralisme sangat dibutuhkan dalam konteks keIndonesiaan yang sangat hetorogen. Ketiga, penyelenggara Negara mesti mampu secara efektif bertindak sebagai penengah dan pengarah di antara individu dan kelompok yang berbeda, penyelenggara pemerintahan mesti bisa mengontrol setiap kepentingan khususnya kepentingan politik untuk tidak bermain di air keruh kekerasan, kepemimpinan yang kuat dibutuhkan untuk menjamin hal ini.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar