Beberapa tahun belakangan ini, jejaring sosial (social network), menjadi tren
baru di Indonesia, tren ini tidak hanya melanda orang dewasa, anak – anak usia
SMP, bahkan SD, juga turut menggandrunginya, mulai orang awam, hingga pejabat,
ramai –ramai membuat akun media sosial, sebagai tren baru, media sosial bukan
tidak mendatangkan efek negatif bagi masyarakat, khususnya bila ditinjau dari
sisi ikatan emosional dan psikologi, terlepas dari efek negatif yang
ditimbulkannya, disini kita akan melihat sisi lain dari jejaring sosial, sisi
positifnya, pada dasarnya jejaring sosial termasuk jenis media, hal ini karena
media sosial, memberikan kesempatan bagi siapa saja, untuk mempublikasikan
informasi, sekaligus juga mengkonsumsi informasi darinya, di media sosial,
seseorang dapat bertindak sebagai penyiar informal, sekaligus pengkonsumsi
berita dari penyiar lain, kehadiran media sosial mendobrak kemapanan dunia
berita, jika selama ini informasi dalam bentuk berita, hanya bisa dikonsumsi
dari media mainstream, baik cetak maupun elektronik, maka dengan kehadiran
media sosial, nuansa itu tak lagi mutlak berlaku, di media mainstream, berita
tak mungkin lepas dari polesan kepentingan, sehingga berita tersebut hanya
mewakili kelompok tertentu, namun tidak halnya di media sosial, di media
sosial, setiap orang mampu mempublikasikan informasi apa adanya, sesuai sudut
pandangnya, pada posisi ini, media sosial, mampu bertindak sebagai pembanding
berita bagi media mainstream.
Jika dianalisa secara lebih kritis, pemberitaan di media mainstream, juga
terkadang terpengaruh dengan perbincangan hangat, antara sesama pelaku
maya, di jejaring sosial, walupun hal itu hanya berlaku untuk momen tertentu,
efektifnya pertukaran informasi di jejaring sosial, juga disadari oleh pelaku
media mainstream, salah satu buktinya, sekarang ini, hampir semua media
mainstream, memiliki akun sosial, berita yang tidak sempat tayang di TV, atau
tidak sempat naik cetak di Koran, ditampilkan di akun sosial mereka, memang ada
juga berita yang telah tampil di layar kaca, atau sudah terpampang di surat
kabar, namun ditampilkan kembali di akun sosialnya, hal ini khususnya berlaku
pada isu – isu yang dianggap sangat hangat,, sebab informasi yang diusung media
mainstream, sangat susah lepas dari kepentingan, maka sudah barang tentu bila
kita sering menjumpai, perbedaan isi berita, antara yang muncul di jejaring
sosial, dengan yang muncul di media mainstream, termasuk bila objek beritanya
sama, secara sederhana, kecenderungan masyarakat Indonesia mempublikasikan
pandangannya, atau fakta yang didapatnya, di media sosial, memberikan ruang
bagi munculnya pandangan alternatif, terhadap sebuah masalah yang disorot
secara bersamaan, orang kemudian tidak serta - merta mempercayai pemberitaan
media mainstream, namun mereka tidak juga serta - merta menolaknya, minimal
orang akan melakukan perbandingan dengan informasi di jejaring sosial, yang
mana informasi tersebut, juga sangat bebas diperdebatkan di dalamnya, perdebatan
terhadap sebuah informasi, mampu membuka ruang bagi semakin beragamnya
perspektif.
Di jejaring sosial, semua orang dapat menjadi pewarta berita, tanpa harus
mendalami ilmu jurnalistik, atau mengambil jurusan jurnalistik di perguruan tinggi,
atau terlebih dahulu menjadi reporter, semua itu tak berlaku dalam dunia
jejaring sosial, di sisi lain, sebuah kejadian di pelosok negeri, dapat
langsung ditampilkan pada saat itu juga, tanpa harus menghubungi wartawan, atau
terlebih dahulu melapor ke aparat pemerintah guna disampaikan ke atas, kejadian
muncul, beritanya bisa langsung muncul pula, ini pula yang menyebabkan beberapa
pemangku kebijakan membuat akun sosial pribadinya, bahkan hal ini juga
dilakukan oleh mantan presidan SBY, tujuannya sederhana, demi mendobrak
kemapanan sistem birokrasi yang rumit dan bertele - tele, dikatakan rumit dan
bertele – tele karena, sebuah masalah yang terjadi di daerah tertentu, dan
masalah tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah, penyampaian informasinya,
masih harus melalui beberapa tahapan sebelum sampai ke pengambil kebijakan,
atau ke pimpinan tertinggi, proses ini bisa memakan waktu, berhari – hari,
sedangkan di media sosial, masalah tersebut sudah ramai diperbincangkan, bahkan
boleh jadi sang pemimpin tertinggi, telah dikritik di media sosial, sebab ia
dianggap lamban merespon masalah.
Dengan berfungsinya jejaring sosial, sebagai pembanding berita bagi media
mainstream, maka bukan berarti, orang – orang bisa serta – merta, menerima informasi
yang muncul di dalamnya, peluang manipulasi informasi tetap terbuka dilakukan
di dunia jejaring sosial, oleh sebab itu, para pelaku jejaring sosial,
hendaknya tetap perlu, terlebih dahulu, memferivikasi kebenaran informasi
tersebut, sebelum memutuskan mempercayai atau tidak, nalar kritis terhadap
media harus tetap diaktifkan, tidak terkecuali kepada media yang dianggap,
mampu bertindak sebagai media alternatif, sepertinya tren jejaring sosial,
tetap akan bertahan selama beberapa waktu ke depan, hal ini akan terjadi saat
masyarakat, merasa belum menjumpai ranah lain, yang bisa mereka jadikan sebagai
pembanding terhadap berita di media mainstream, menjamurnya media sosial,
memang tidak langsung menghapus pengarus pemberitaan media mainstream, namun paling
tidak, orang – orang tidak lagi sepenuhnya bergantung pada media mainstream
untuk urusan informasi, sebagai sebuah produk zaman, jejaring sosial pasti
punya dua potensi, merusak atau memperbaiki, semoga pilihan kita jatuh pada
yang ke dua, namun hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan sikap
kita, karena sikap yang berbicara dalam kenyataan, bukan teori.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar