Dalam
Islam, sunni dan syiah, merupakan dua mazhab terbesar, munculnya sunni dan
syiah dalam dunia Islam, telah berumur sangat tua, akar sejarahnya bisa
ditelusuri sejak awal wafatnya Rasulullah, secara umum perbedaan pokok antara
sunni dan syiah, berada di seputar hak kepemimpinan setelah Rasulullah, bagi
kalangan syiah, kepemimpina setelah Rasulullah merupakan hak ahlul bait
(keturunan rasulullah) dengan Ali abi thalib sebagai imam, sedangkan
menurut kaum sunni, hak kepemimpinan setelah Rasulullah merupakan hak setiap
muslim yang kompeten, tidak harus dari garis keturunan Nabi, dengan pendirian
tersebut, sunni menerima dan meyakini Abu bakar assiddiq sebagai khalifah
setelah Rasulullah, berangkat dari akar perbedaan ini, banyak pemikir dan
ulama, yang meyakini bahwa munculnya sunni syiah, tak lepas dari urusan
politik, pendapat ini memang ada benarnya, hanya saja yang perlu diperhatikan,
perbedaan tersebut telah melebar hingga pada praktik fiqih dalam berbagai aspek
keseharian, namun hal ini tidak menjadi masalah, perbedaan fiqih merupakan hal
lumrah, berbeda secara fiqhiyah, tidak menyebabkan suatu kelompok keluar dari
Islam, kita tetap satu agama, Islam.
Sayangnya,
dalam kehidupan umat, hadirnya sunni syiah, selalu dijadikan ladang
perseteruan, api konflik selalu disulut berdasarkan mazhab, jargon kafir ramai
disuarakan, seolah hanya mazhab tertentu yang akan selamat dunia akhirat,
sedangkan yang lain tidak, karena mereka sesat, pertikaian mazhab ini, telah
banyak menguras energi umat Islam, akibatnya umat Islam dalam skala global,
menjadi tertinggal, hal itu disebabkan mereka sibuk bertengkar di antara sesama
mereka sendiri, jika diamati secara kritis, perseteruan yang melibatkan sunni
syiah, sangat rawan dimanfaatkan oleh kelompok yang memang tidak senang dengan
perkembangan islam, hal ini menjadi semakin kentara, saat kita menelusuri asal
muasal dari sebuah konflik yang dilabeli sunni syiah, kita akan menjumpai,
bahwa banyak dari konflik tersebut, yang pemicu awalnya, sama sekali tidak
berkaitan dengan masalah mazhab, tidak ada hubungannya dengan sunni syiah,
konflik tersebut justru berasal dari masalah pribadi, lalu dipaksakan dibawa
masuk ke ranah mazhab, kemudian yang mengemuka adalah konflik berlabel mazhab,
sedangkan penyebab awalnya tertutupi.
Sementara
dalam kasus lain, khususnya dalam skala makro, munculnya konflik sunni syiah,
sering diprakarsai oleh zionisme Israel, apa yang terjadi di belahan dunia
Arab, merupakan bukti konkret atas sepak terjang zionisme Israel, rekayasa ini
dikerja dengan sangat terencana dan sistematis, sehingga tampak seolah sangat
alamiah, zionisme Israel memang tidak pernah senang dengan dunai Islam, bahkan
kelompok ini tidak pernah senang dengan semua agama, motivasinya jelas,
sebagaimana diketahui, dunia Islam sangat intens mengecam Israel atas
kebiadaban mereka terhadap warga Palestina, bahkan terakhir, kecaman kepada
Israel meluas kepada warga negara di belahan Eropa dan Amerika, tentu Israel
sangat paham, bila dunia Islam dibuat sibuk dengan perselisihan di anatara
sesama mereka, maka tekanannya terhadap Israel, akan melemah, dalam kondisi
ini, zionisme Israel akan leluasa melancarkan invasinya, khususnya terhadap
daratan yang mereka klaim sebagai tanah yang dujanjikan, sebuah klaim yang
sangat absurd dipertahankan dalam dunia modern ini, bisa dipastikan
perseteruan antara sunni syiah, akan membuat zionisme Israel tertawa
riang.
Kita
patut mengapresiasi usaha ulama dan pemikir tertentu, baik dari kalangan syiah
maupun dari kalangan sunni, yang berani membangun dialog berbasis
kesalingpahaman terhadap perbedaan, dialog yang mereka bangun bukan dimaksudkan
membangun keseragaman pandangan, namun lebih dimaksudkan sebagai upaya memahami
dasar argumentasi dari perbedaann yang melandasi ke duanya, dialog seperti ini,
juga lebih fokus mencari kesamaan universal di antara ke duanya, selanjutnya
kesamaan universal ini, mampu dijadikan landasan guna membangun persatuan
bersama, persatuan yang mampu menembus batas mazhab, persatuan Islam,
terwujudnya persatuan Islam, akan mendorong semakin solidnya dunia Islam dalam
melakukan gerakan bersama, khususnya gerakan dalam merespon perlakuan tidak
adil terhadap duni muslim, gerakan yang dibangun di atas persatuan dunia Islam,
juga tetap perlu menghargai keberadaan pemeluk agama lain di dunia, jadi
gerakan ini bukan dimaksudkan untuk menginvasi pemeluk agama lain dengan cara
tak wajar, sehingga pemeluk agama lain, juga tidak perlu fobia dengan
terwujudnya persatuan dunia islam, mereka tidak perlu menghalang – halangi
terwujudnya agenda besar ini.
Terlepas
dari munculnya kelompok ekstrim dalam kelompok sunni, begitupun dala kelompok
syiah, yang memang tidak mau membuka diri untuk berdialog, maka upaya dialog di
antara sunni dan syiah, harus terus dibangun, dialog jangan hanya dilangsungkan
saat ada konflik yang terjadi, sebab dialog semacam ini, tidak mampu
mendatangkan efek jangka panjang bagi ikatan persaudaraan, lagi pula kelompok
ekstrim, baik dalam sunni maupun dalam syiah, bukan kelompok mayoritas dalam masing
– masing mazhab, sehingga tidak tepat bila kelompok ekstrim tersebut dijadikan
sandungan guna membangun dialog, dialog antara sunni syiah harus terus
berlangsung sepanjang waktu, semestinya dialog ini dimulai oleh para pemegang
otoritas di antara ke duanya, baik para ulama maupun para pemikirnya, jika
kalangan ulama dan pemikirnya mampu duduk bersama, maka para pengikut di antara
ke dua mazhab besar tersebut, akan lebih mudah mengikut, kita memahami bahwa,
dialog yang dibangun akan mendatangkan resistensi pada kelompok tertentu dalam
ke duanya, namun seiring dengan berjalannya dialog yang kontinyu, perlahan
resitensi tersebut akan padam, atau paling tidak melemah, sekarang
pertanyaannya kembali ke diri kita, terlepas apapun kecenderungan mazhab kita, atau
bahkan bila kita merasa tidak terikat dengan mazhab manapun, siapkah kita untuk
berdialog secara produktif?
Penulis: Zaenal
Abidin Riam
Posting Komentar