Agustus
merupakan momen bersejarah bagi rakyat nusantara, di dalamnya lahir peristiwa
besar yang menjadi titik balik sebuah bangsa, dalam momen ini, Indonesia
sebagai sebuah negara formal dilahirkan, hingga kini peristiwa agung tersebut
selalu diperingati megah sebagai momen kemerdekaan, merdeka adalah sebuah
kondisi dimana komunitas bebas dan mampu mengatur, menentukan, nasib negaranya,
pada posisi ini, kemerdekaan tidak hanya berdimensi formal, lebih dari itu,
kemerdekaan wajib hadir secara substantif, yakni negara harus merdeka pada
semua aspek kehidupan rakyatnya.
Memperingati hari kemerdekaan tentu bukan sesuatu yang salah, bahkan sebuah kemestian demi menjaga semangat berbangsa dan bernegara, namun, memperingati kemerdekaan tidak boleh sekadar menyanjung peristiwa heroik masa lalu, sebab hal tersebut berpotensi membuat kita abai dengan kondisi realitas kenegaraan hari ini, memperingati proklamasi berarti melihat kemerdekaan dalam kaca mata kekinian.
Memperingati hari kemerdekaan tentu bukan sesuatu yang salah, bahkan sebuah kemestian demi menjaga semangat berbangsa dan bernegara, namun, memperingati kemerdekaan tidak boleh sekadar menyanjung peristiwa heroik masa lalu, sebab hal tersebut berpotensi membuat kita abai dengan kondisi realitas kenegaraan hari ini, memperingati proklamasi berarti melihat kemerdekaan dalam kaca mata kekinian.
Benar
bahwa negara ini telah merdeka secara fisik, itu telah lama sejak 1945, tetapi
di sisi lain mata kita juga harus terbuka, masih banyak pemandangan yang
bertentangan dengan nuansa kemerdekaan itu sendiri, kemiskinan, ketidakpastian
hukum, korupsi skala makro, merupakan beberapa catatan kecil dari sekian banyak
catatan pilu tentang negara ini, dan semua catatan tersebut menginjak nilai
kemerdekaan, bahkan menggugurkannya dalam banyak konteks, ganjil rasanya
menganggap diri sebagai bangsa merdeka bila perbuatan yang mencoreng
kemerdekaan tetap merajalela, bangga terhadap kemerdekaan merupakan hal baik,
tetapi kebanggaan tersebut harus hadir dalam bentuk kritis, sebab, kebanggaan
yang tidak kritis terhadap kemerdekaan, hanya melahirkan sikap yang menganggap
semua permasalahan bangsa telah selesai, tentu cara pandang ini tidak solutif
bagi Indonesia.
Rendahnya
tingkat kesejahteraan, ketidakpastian hukum, dan korupsi merupakan tiga kasus
utama yang membebani kemerdekaan kita. Salah satu tugas utama hadirnya negara
adalah mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, negara merdeka wajib mampu
merealisasikan hal tersebut, kesejahteraan merupakan indikator utama dari
kemerdekaan, mari kita lihat realitas kebangsaan hari ini, dari seratus persen,
berapa persen rakyat Indonesia yang terkategori mencicipi kesejahteraan? Apakah
jumlahnya jauh lebih banyak dibandingakan yang belum sejahtera? Untuk menjawab
hal itu maka tinggal dilihat fenomena kemiskinan di negara ini, apakah jumlah
penduduk miskin lebih sedikit dari penduduk sejahtera? Silakan direnungkan,
yang jelas terlalu sulit memberikan jawaban “iya”.
Ketidakpastian
hukum, hukum merupakan instrumen utama lahirnya keadilan dalam sebuah negara,
ketidakadilan merupakan karakter utama dari penjajahan, amati saja, sepanjang
sejarah penjajahan, tak satupun negara kolonial yang bersikap adil terhadap
negara jajahannya, secara regulasi, hukum kita telah layak mewujudkan rasa adil
di negara ini, hal tersebut terlepas dari ragam kekurangan di dalamnya, masalah
terjadi pada aspek penerapan, ada jarak yang begitu jauh antara nilai ideal
dalam regulasi hukum dengan praktik penegak hukum di lapangan, sumber
masalahnya adalah mental bobrok yang mengakar pada oknum penegak hukum, dalam
hal ini mental untuk melanggar hukum yang seharusnya mereka junjung, kronisnya
karena beberapa perbuatan tertentu dari tindakan melanggar hukum, justru telah
dianggap lumrah di mata penegak hukum, memberikan gaji tinggi kepada para penegak
hukum tidak menjawab kebobrokan mental yang mereka alami, tindakan pemulihan
harus diarahkan pada mentalnya.
Korupsi,
kita telah sering mendengar adigium ringan tentang korupsi, “korupsi merupakan
kejahatan yang lebih kejam dari pembunuhan, jika pembunuhan hanya menghilangkan
satu nyawa maka korupsi menghilangkan ribuan bahkan jutaan nyawa sekaligus”,
singkatnya korupsi merupakan pembunuhan massal terhadap korbannya, ini pula
sebabnya sehingga korupsi tergolong kejahatan kelas kakap (extra ordinary crime),
kemiskinan di Indonesia juga dipicu oleh prilaku korupsi yang tersistematis,
dalam konteks struktur formal, korupsi dapat ditekan bila kepastian hukum
terjamin, ke duanya merupakan jalinan yang tak bisa dipisahkan, korupsi
merupakan ancaman nyata bagi kemerdekaan kita, betapa tidak, selama korupsi
menggurita, maka selama itu pula jutaan rakyat dirampas hak hidupnya, peristiwa
seperti ini terlalu susah diterima akal sehat bial terjadi dalam negara yang
menganggap dirinya merdeka, mereka memang masi bernyawa secara jasad, akan
tetapi peluang mereka untuk mengembangkan hidup telah tertutup, contoh
sederhana, proyek bantuan untuk masyarakat miskin yang dikorupsi di tengah
jalan, semakin membenamkan rakyat miskin ke dalam kemiskinan, sekaligus menutup
ruang mereka untuk mengecap kesejahteraan.
Sekarang
mari kita amati sumber daya alam kita, karena ia selalu dianggap sebagai salah
satu modal membangun negara, negeri ini memang kaya akan sumber daya alam,
karena kayanya sehingga muncul istilah negeri surga, lantas sejauh mana potensi
sumber daya alam tersebut berefek kepada rakyat Indonesia? Jika berbicara efek,
maka efek positifnya sangat minim, mengapa? Analisa saja, sebagian besar sumber
daya alam kita tidak dikelola negara, justru dikelola pihak asing, pembagian
hasil pengelolahannya pun sangat tidak berimbang, Indonesia hanya mendapat
sedikit sekali keuntungan dari pembagian tersebut, padahal jelas sumber daya
alam tersebut merupakan milik kita, berada di bumi Indonesia, alasan pemegang
kebijakan bahwa kehadiran perusahaan asing di Indonesia mendatangkan keuntungan
bagi rakyat, khususnya melalui penyerapan tenaga kerja, merupakan isapan jempol
belaka, alasan ini mengabaikan kenyataan sesungguhnya, realitasnya mereka hanya
menjadi buruh bawahan di perusahaan tersebut dengan gaji tak seberapa, walaupun
pihak asing membayar ribuan buruh kelas rendah, namun hal tersebut sama sekali
tidak mempengaruhi keuntungan mereka, yang sejahtera adalah rakyat negara pihak
asing tersebut, rakyat Indonesia hanya menjadi buruh di negeri sendiri,
parahnya pemerintah terlihat tidak berdaya mengendalikan hegemoni pihak asing
tersebut, alasan normatif bahwa kita belum mampu mengelola sumber daya alam
sendiri, sehingga membutuhkan bantuan asing, merupakan alasan klise, selama alasan
ini masih diyakini maka tidak usah berbicara tentang kemajuan negara, apalagi
mengagungkan kemerdekaan secara tidak proporsional.
Pada
dimensi lain, rakyat negeri ini masih mengidap mental in lander (mental budak),
mental warisan kolonial, mental ini selalu mensyaratkan perasaan lebih rendah
dari bangsa lain, terlebih bila berhadapan dengan negara yang dianggap maju,
kita sering terlalu sibuk mengagumi keagungan dan pencapaian prestasi negara
lain, lalu membuat perbandingan negatif dengan bangsa kita, sadar bahwa ada
jarak yang begitu jauh antara negara kita dan negara lain, menyebabkan kita
pasrah dan merasa wajar berada di belakang, kita telah lupa bahwa nenek moyang
nusantara telah melakukan berbagai hal besar pada masanya, sehingga menyebabkan
komunitas di luar nusantara hormat terhadap nenek moyang kita kala itu, kita
telah lupa bahwa di nusantara pernah hidup beberapa kerajaan besar yang
memiliki superioritas terhadap wilayah – wilayah di luar nusantara, kemajuan
dan kemunduran hanya urusan waktu, walaupun nusantara yang telah menjelma
menjadi indonesia mengalami masa sulit, namun bukan berarti kita harus merasa
rendah diri di hadapan bangsa lain, atau mungkin juga mental in lander masih
kita idap karena pada dasarnya kita belum merdeka, entahlah?.
Bangsa
ini memang belum merdeka pada semua aspek kehidupan, ia baru merdeka pada aspek
fisik, penjajahanpun belum sepenuhnya musnah dari bumi pertiwi, ia tetap
membayangi rakyat kita, kerja penjajahan hanya berubah bentuk, ini yang pernah
disebut Bung Karno sebagai neo kolonialisme (penjajahan gaya baru), bentuk
mutakhir neo kolonialisme adalah neo liberalisme, yang mana campur tangan pihak
asing menjadi sangat masif, mereka bekerja melalui lobi elit, menekan
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menjamin kepentingan mereka di
Indonesia, ketidaktegasan pemerintah justru mereka manfaatkan untuk melakukan
kompromi politik yang sangat merugikan negara, moncong senjata tentara Belanda
dan Jepang memang tidak lagi diarahkan ke wajah rakyat Indonesia, tapi sumber
daya alam dan mental kita tetap dikontrol pihak asing, ditambah lagi institusi
hukum masih sangat labil, yang terjadi di Indonesia adalah penjajahan dari dua
arah, dari luar kebijakan negara kita banyak diintervensi pihak asing,
sedangkan dari dalam muncul kolaborasi kelas elit, mereka mengontrol hidup
masyarakat menengah ke bawah demi langgengnya kepentingan mereka, bangga
sebagai bangsa merdeka memang perlu, namun sadar sebagai bangsa yang belum
merdeka juga tidak kalah perlunya.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar