tulisan ini juga dimuat di http://www.suluttoday.com/2015/07/02/toleransi-proporsional-toleransi-nusantara/
Belakangan ini toleransi menjadi kosakata populer,
bahkan sangat popular, ragam kalangan sering menggunakan kosakata ini,
mulai dari aparat pemerintahan, penggiat ormas, kaum terpelajar, hingga
masyarakat awam. Zaman manusia kini, sering disebut sebagai zaman
toleransi, tentu kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa dalam banyak
hal, toleransi masih sebatas wacana, prilaku intoleran juga masih sering
terlihat ditengah masyarakat, malah bisa saja terjadi di lingkungan
terdekat kita, terlepas dari hal tersebut, toleransi menjadi
kecenderungan dominan saat ini, baik pada altar wacana maupun pada ruang
praktis, dalam konteks Indonesia, toleransi memang urgen digalakkan,
hal ini mengingat tingkat keragaman yang tinggi, dari sisi agama,
budaya, suku dll, keragaman tersebut perlu dimenej dengan baik, mesti
hadir sikap yang mampu memastikan terawatnya keberagaman, sikap itu tak
lain adalah sikap toleran, menghargai keberagaman dalam bingkai
nusantara, pada posisi ini, masyarakat Indonesia perlu merumuskan
kerangka toleransi yang tepat, tidak bablas, toleransi tidak boleh
mennjadi jalan untuk menghalalkan segalanya.
Merumuskan kerangka toleransi untuk konteks keindonesiaan, adalah sangat penting, sama pentingnya dengan menjaga keberagaman itu sendiri, jika kita mengamati kecenderungan toleransi belakangan ini, maka kita akan menjumpai benang kusut yang perlu diluruskan, tanpa bermaksud melakukan penghakiman, toleransi bagi kalangan tertentu dimaknai secara bebas nilai, toleransi tak jarang dijadikan dalih untuk membolehkan segala sesuatu, kecenderungan seperti ini muncul, sebagai imbas dari pemahaman toleransi di belahan dunia barat, yang memandang toleransi sebagai alat untuk melakukan kebebasan tanpa batas, walaupun dalam banyak hal kebebasan tersebut sering merusak sendi budaya dan agama masyarakatnya, ambil contoh yang terbaru, atas nama toleransi yang dibalut logika HAM, perkawinan sesama jenis disahkan oleh Mahkamah Agung AS, tentu model toleransi seperti ini tidak bisa diterima di nusantara, bahkan di belahan negara lain, yang secara, konteks agama, budaya, suku, berbeda jauh dengan kondisi duni barat, orang – orang Indonesia harusnya merumuskan kerangka toleransi nusantara, sebuah model toleransi yang menghargai keberagaman di satu sisi, tapi juga menghargai nilai agama, budaya, suku yang menghuni nusantara.
Istilah toleransi nusantara bukan sekadar pepesan kosong, bukan hanya wacana menggebu yang tak mampu dipertanggungjawabkan, toleransi nusantara hadir dari pembacaan kita terhadap kondisi real nusantara, kondisi nyata Indonesia, toleransi nusantara adalah model toleransi yang tidak mengabaikan aspek lokalitas bangsa Indonesia, sebagai masyarakat Indonesia, kita harusnya ingat, sebuah kecenderungan yang mewujud dalam pikiran dan tindakan, namun mengabaikan sisi lokalitas daerah tersebut, akan memunculkan masalah baru, mendatangkan kerusakan baru, tujuan utama toleransi nusantara adalah mewujudkan toleransi bertanggung jawab, memastikan bahwa toleransi tidak disalahgunakan sebagai alat menciderai agama, budaya, suku dan nilai lainnya yang layak dipelihara dalam konteks Indonesia, sebab mengatasnamakan toleransi sebagai alat untuk melukai nilai agama, suku, budaya yang masih produktif dipelihara, adalah sebuah tindakan yang sangat tidak toleran, inilah yang disebut dengan toleransi memakan dirinya sendiri.
Sejak awal, Indonesia terlahir sebagai bangsa dengan latar belakang yang beragam, sebuah keberagaman yang tidak dirawat dengan baik, sangat gampang berujung pada perpecahan, namun kita juga harus memilih cara paling tepat dalam merawat keberagaman, menjadikan toleransi nusantara sebagai alat perekat keberagaman merupakan pilihan cerdas, toleransi nusantara merupakan jawaban tepat bagi keberagaman di negeri ini, model toleransi nusantara memberikan ruang kebebasan bagi semua agama, budaya, suku untuk mengekspresikan nilai idealnya, dan di saat yang sama, juga memberikan tanggung jawab agar semua ekspresi tersebut, tidak menciderai nilai agama, budaya, suku lainnya.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar