sebelumnya tulisan ini telah diterbitkan di http://www.independenvoice.com/2015/12/ketika-kata-aktifis-terlalu-mudah.html
Aktifis,
sebuah kata yang sangat populer, khususnya di kalangan mahasiswa, dan secara umum, dalam masyarakat yang terlibat
geraakan sosial, kata ini memang dipenuhi nuansa positif, semua kalangan
sepakat dengan hal tersebut, kata aktifis lekat dengan aura heroisme, seseorang
yang dianggap aktifis, selalu diasosiasikan dengan pembela kaum mustadafin
(kaum tertindas), seseorang yang membela kebutuhan orang banyak tanpa pamrih
apapun, dalam konteks Indonesia, ada banyak orang seperti ini, sebutlah beberapa
tokoh pergerakan di awal kemerdekaan, Soekarno, Hatta, Muhammad Natsir dll,
dengan kerja nyata yang mereka lakukan, serta pengorbanan terhadap orang banyak
yang tidak bisa dipungkiri, mereka layak disebut sebagai aktifis sejati.
Mari kita melihat dalam konteks kekinian, di masa sekarang tetap ada banyak orang yang layak disebut aktifis, namun di sisi lain, banyak pula orang yang terkadang belum layak disebut aktifis, tetapi sudah diberi label aktifis, atau yang lebih tidak tepat lagi, orang tersebut mempopulerkan diri sebagai aktifis, padahal kerja nyatanya untuk masyarakat belum terlihat, terdapat kecenderungan mempersamakan istilah organisatoris dengan aktifis, seolah semua yang terlibat organisasi layak disebut aktifis, padahal boleh jadi yang terlihat sebatas pengorbanan untuk organisasinya, sementara untuk masyarakat belum, yang seperti ini belum layak disebut aktifis, mereka lebih layak disebut organisatoris.
Menjadi aktifis tidak harus lewat jalur organisasi, walaupun sebagian besar aktifis lahir dari rahim organisasi, yang perlu ditimbang pula, penggunaan kata aktifis untuk orang yang berkecimpung di parpol, terkadang kita mendengar sebutan, aktifis partai A, B, atau C, kiranya ini tidak tepat, secara faktual, kerja partai politik lebih berorientasi kekuasaan, merebut dan mempertahankan kekuasaan, walaupun secara teori, kehadiran partai politik adalah untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, namun dalam ranah kenyataan, konsep tersebut hampir tak berlaku, mereka yang berkecimpung di partai politik, lebih layak disebut petugas partai, atau bisa juga fungsionaris partai, penyebutan ini terkesan lebih jujur.
Kata
aktifis bukan sebuah gelar yang harus diburu, ia lebih merupakan pengakuan
masyarakat atas pengorbanan nyata orang tertentu, oleh sebab itu, seharusnya
masyarakat yang menyematkan kata tersebut kepada seseorang, bagi seorang
aktifis sejati, walaupun masyarakat menyebut dirinya aktifis, dia tetap akan
menolak istilah tersebut, dirinya selalu merasa belum melakukan kerja apapun
untuk masyarakat, walaupun masyarakat telah melihat begitu banyak
pengorbanannya untuk masyarakat, jadi seorang aktifitas sejati adalah mereka
yang tak ingin disebut aktifitas, walaupun karya nyatanya untuk rakyat terlihat
jelas, namun bila ada orang yang bangga mengaku aktifis, maka berarti dia tidak
layak disebut aktifis.
Penggunaan kata aktifis yang terkesan serampangan, juga dipengaruhi oleh peran media massa, dalam beberapa kesempatan, kita bisa melihat ada orang yang terkadang dikutip pendapatnya, atau menjadi narasumber dalam salah satu talk show, lalu dibelakang namanya disebutkan bahwa dia seorang aktifis, pernahkah media melakukan penelusuran tuntas tentang latar belakang yang bersangkutan? Pernahkah media membuktikan pengorbanan nyata yang bersangkutan untuk masyarakat? Atau yang terjadi, karena yang bersangkutan sering menjadi pembicara diskusi, pernyataannya banyak yang dianggap berani, berani mengkritik kekuasaan, dia pun langsung dilabeli aktifis oleh media tertentu, bukankah kekuasaan yang menyimpang tidakl akan berubah hanya dengan kata – kata tanpa tindakan?.
Pada hakikatnya kata aktifis bagi seseorang harus muncul secara alamiah, bukan dipaksakan agar terlihat heroik, apalagi dikarbit, belum nampak pengorbanannya untuk masyarakat sudah disebuat aktifis, bahkan kalau mampu, hindarkanlah diri kita untuk disebut aktifis, sebab semakin banyak kita berbuat untuk masyarakat, maka kita akan merasa semakin sedikit yang kita lakukan, saat kita berkorban dalam satu perkara demi kemaslahatan masyarakat, maka ribuan perkara berikutnya muncul dihadapan kita, dan semua itu butuh diselesaikan, saat itulah rasa kecilnya pengorbanan semakin muncul.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar