BREAKING

Selasa, 28 Juni 2016

Toleransi Yang Berujung Intoleransi

Dalam ramadhan ini, perdebatan tentang prilaku toleransi kembali hangat, perdebatan tersebut bermula dari boleh tidaknya tempat makan buka di siang hari, mengenai isu ini, pemda di berbagai daerah berbeda kebijakan, ada pemda yang tegas melarang tempat makan buka di siang hari, namun ada pula pemda di daerah lain yang membolehkan, yang membolehkan ini bahkan melarang keras razia tempat makan oleh kelompok manapun, terkait hal ini pemerintah pusat juga tak memiliki aturan jelas, pada dasarnya ini adalah perdebatan lumrah, setiap memasuki ramadhan, isu boleh tidaknya tempat makan buka di siang hari selalu hangat, hanya saja isunya mulai tidak sehat, saat pemda yang tegas melarang tempat makan buka di siang hari, begitupun kelompok yang mendukung pelarangan tersebut, diberi label intoleran.

Melabeli kelompok yang mendukung pelarangan dibukanya tempat makan di siang hari, sebagai kelompok intoleran, adalah tuduhan yang terlalu naïf dan ambisius, tuduhan ini tidak melihat masalah secara menyeluruh, pembukaan tempat makan di waktu puasa, sama halnya memancing pelaku puasa agar keluar dari kewajibannya, sebagian bisa saja berdalih, bahwa itu bagian cobaan bagi pelaku puasa, argumen semacam ini juga terlalu dipaksakan, bila dalihnya adalah cobaan, maka semua hal yang memalingkan pelaku puasa dari kewajibannya, justru bisa diberikan ruang, hal ini tentu lebih merusak lagi, toleransi adalah upaya saling menghargai, itu berarti tak boleh ada pihak dirugikan, membuka tempat makan di siang hari tentu merusak kenyamanan orang berpuasa, mengganggu konsentrasi mereka, dan itu berarti mereka dirugikan, justru inilah yang disebut intoleran dalam artian sesungguhnya.
Meluasnya label intoleran terkait pelarangan tempat makan di waktu puasa, juga dipengaruhi pemberitaan media, oleh pihak media, khususnya media mainstream, isu ini dimunculkan secara berlebihan, yang disorot hanya oknum yang merasa dirugikan karena jualannya diamankan, yang diangkat adalah model penyitaan yang dianggap tidak etis, bila itu masalahnya, publik perlu bertanya, mengapa media baru meributkan etika penyitaan, mengapa penggusuran tak beradab yang terjadi di Jakarta didiamkan saja oleh media, khususnya media yang kini menyorot penyitaan jualan makanan selama ramadhan, bukankah yang disita pemda setempat dalam penggusuran tersebut lebih merugikan lagi? Bukankah aksi aprata dalam penggusuran tersebut lebih tidak beretika? Tetapi mengapa media – media tersebut kompak bungkam? Ini bukti jelas tidak adanya objektifitas pemberitaan terkait isu ini, idealisme media takluk di hadapan logika kuasa dan pasar, ironis.
Pemda yang pro pelarangan tempat makan memang perlu dievaluasi, namun evaluasinya bukan menyuruh membatalkan aturan tersebut, justru pemda harus lebih memperutuh aturan tersebut, sebaiknya yang dilarang beroperasi bukan hanya warung makan, tetapi juga termasuk restoran kelas kakap, hiburan malam serta semua yang mengganggu kenyamanan umat islam dalam berpuasa, ini sama sekali tak berlebihan, justru ini terkait dengan komitmen dalam bertoleransi, bukankah selama ini umat islam selalu diminta menghormati secara utuh  pelaksanaan  ibadah agama lain? Termasuk membantu mewujudkan suasana nyaman bagi terlaksananya ibadah tersebut, itu berarti umat islam diminta menghargai hak mereka, lalu apa yang salah ketika mayoritas umat islam meminta suasana kenyamanan selama berpuasa? Termasuk nyaman dari segala perbuatan sengaja yang bisa mengganggu puasa mereka, bila kita berbicara toleransi, maka adillah dalam membincangkannya, dan harus lebih adil dalam menerapkannya, toleransi tidak boleh menjadi alat menyudutkan kelompok tertentu.  

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1435 - 1437 H / 2015 - 2017 M

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT