Globalisasi
adalah istilah yang akrab di telinga manusia, mereka yang pernah menginjakkan
kaki di bangku pendidikan hampir pasti pernah mendengar istilah ini, globalisasi
pada dasarnya mengarah pada upaya penyeragaman pola pikir dan sikap, minimal
kita bisa menerima pandangan ini bila memandang globalisasi dalam kerangka yang
cenderung positif, pola pikir yang diusung adalah modernisme, modernisme
dibangun dari perpaduan antara rasionalisme dan empirisme, menyeru pada pola
pikir rasional dan hanya percaya pada fakta materil, pola pikir tersebut
diharuskan menular pada sikap, sikap sebagai manusia ilmiah.
Ketika
globalisasi masuk ke wilayah lokal di berbagai belahan dunia, maka sudah pasti
akan muncul benturan, benturan antara nilai yang terkandung dalam globalisasi
dengan nilai kebudayaan lokal setempat, benturan ini memicu lahirnya ketegangan
nilai, di wilayah tertentu tensinya bisa sangat tajam, prosesnya juga bisa
memakan waktu cukup lama, namun bisa juga sebaliknya, prosesnya berjalan
singkat dengan globalisasi sebagai pemenangnya walaupun tak secara utuh.
Globalisasi
cenderung merasa bahwa nilai yang dibawanya adalah paling unggul, paling benar,
sehingga harus diberlakukan di semua tempat, disini globalisasi telah berubah
menjadi paham, globalisme, di masa awal ekspansinya, globalisme benar-benar tak
terbendung, globalisme menjadi narasi besar yang terlalu susah dilawan, bahkan
memahami titik lemahnya juga sangat susah, di fase ini masyarakat yang tekena
dampak globalisme menerima paham ini secara utuh tanpa keberatan apapun, namun
pada fase selanjutnya kesadaran baru mulai muncul, masyarakat di wilayah lokal
mulai menaruh kecurigaan terhadap globalisme, mereka mempertanyakan ulang
superioritas nilai yang dibawa globalisme, dan pada saat bersamaan, mereka
meyakini nilai lokal mereka lebih layak menjadi pemandu hidupnya dibandingkan
nilai globalisme.
Kesalahan
mendasar globalisme karena cenderung memandang rendah budaya lokal setempat,
masyarakat lokal beserta perangkat nilai budayanya selalu dianggap sebagai
kelompok terbelakang, karena dianggap terbelakang maka mereka harus dibuat
maju, caranya dengan dipaksa secara tidak langsung mengikuti nilai globalisme. Globalisme
selalu merasa lebih paham kondisi masyarakat setempat dibandingkan masyarakat
di wilayah itu sendiri, termasuk merasa seolah lebih paham cara hidup yang
terbaik buat mereka, pandangan ini pasti keliru, sudah pasti yang lebih paham
suasana kebatinan dan suasana empirik adalah masyarakat yang menghuni wilayah
itu, mereka lebih mengenal alamnya, mereka lebih paham cara menghadapi alamnya.
Era
sekarang menunjukkan gelombang kebangkitan lokalisme, setiap wilayah lokal
melakukan penafsiran kembali terhadap perangkat nilai budaya mereka, hal itu
mengantarkan mereka pada pemahaman baru tentang budaya mereka, pemahaman
terhadap budaya tidak lagi berhenti pada aspek bentuk, tapi menukik jauh ke
dalam wilayah nilai, generasi baru telah muncul, generasi lama yang memandang
budaya sebatas bentuk telah tergantikan, mereka ini yang dulunya terlalu
gampang menerima penetrasi globalisme, bangkitnya lokalisme juga terjadi pada
wilayah narasi dan institusi, pada wilayah narasi, muncul istilah kearifan
lokal dan ragam istilah lainnya, mereka menolak dilabeli sebagai narasi pinggiran,
pengkotakan narasi mayor dan narasi minor ditolak dalam diskursus ini,
sedangkan pada wilayah institusi, pemerintah mulai menaruh perhatian tentang
pentingnya kearifan lokal, ragam forum ilmiah digelar guna melahirkan kebijakan
yang pro kearifan lokal, walaupun dalam banyak hal upaya institusi masih
terkadang setengah hati.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M
Posting Komentar