Dunia masa kini ditandai dengan munculnya dinamika baru
dalam realitas media, dinamika yang mempertegas bahwa media arus utama, tidak
lagi sepenuhnya bertindak sebagi pembentuk dan pengontrol opini, dinamika
tersebut nampak jelas dengan tumbuhnya media sosial, khusus di Indonesia, media
sosial menjadi tren yang sangat diminati masyarakat, penggunanya tidak hanya
terbatas pada kaum terpelajar, masyarakat awam juga beramai–ramai
menggunakannya, jika dulu rujukan informasi terbatas pada beberapa media mainstream, maka sekarang hal tersebut tak berlaku
lagi, media sosial menjadi pilihan alternatif dalam merujuk informasi, selain
mudak diakses, biayanyapun sangat murah meriah, tinggal beli paket internet
atau sisihkan uang sekian ribu di warnet.
Untuk konteks Indonesia, ada beberapa kasus nyata diaman
aksi masyarakat dibentuk lewat opini di media sosial, aksi solidaritas
pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari adalah salah satu contoh nyatanya,
kemampuan media sosial, dalam bertindak sebagai pembanding opini terhadap media
mainstream, memang sangat masuk akal, sebelumnya masyarakat menjadikan media
mainstream sebagai rujukan utama informasi, karena saat itu mereka tidak punya
alternatif lain, namun dengan munculnya media sosial, alternatif rujukan informasi
menjadi sangat beragam, di samping itu, media sosial juga tidak mengenal
prinsip rating guna memburu keuntungan, ini yang menyebabkan semua jenis berita
bisa muncul di media sosial, di sana tak ada otoritas yang berhak menyeleksi
berita, lain halnya dengan media mainstream, aspek untung rugi dalam
pemberitaan selalu ada, khususnya kepentingan dalam mengejar rating.
Jika diamati secara seksama, media arus utama menyadari
gejala baru ini, hal itu bisa kita lihat dengan pembuatan akun resmi medsos bagi
setiap media mainstream, lebih jauh lagi,
sekarang beberapa stasiun TV, menyediakan program berita atau talk show, yang isinya dirujuk dari
opini yang berkembang di media sosial, pada posisi ini sangat jelas terlihat
tarik ulur pembentukan opini antara media mainstream dan medsos, pada sisi lain, tindakan
ini bisa juga dibaca sebagai upaya media mainstream, guna mempertahankan
hegemoninya sebagai penguasa opini, melalui akun resmi tersebut, media mainstream mampu
mempublikasikan beritanya dalam format situs online, lalu berita tersebut akan
menjadi konsumsi para netizen di media sosial, dalam batas tertentu
kalkulasi tersebut ada benarnya, namun yang perlu diingat, tak semua berita
tersebut mampu menjadi perbincangan utama di medsos, sebagian bahkan tidak mendapat
ruang, bahkan banyak juga perbincangan hangat para warga medsos, yang tidak
berasal dari informasi media mainstream yang dibagi ke medsos, topik tersebut
lebih merupakan kreasi para warga media sosial.
Adanya kesempatan sama bagi semua orang, untuk menjadi
pemberi informasi di media sosial, bukan berarti tak menyisakan kekurangan,
karena tak ada otoritas yang memverifikasi, sehingga peluang munculnya
informasi bohong juga terbuka, namun ini bukan alasan untuk mencibir media
sosial, media jenis apapun pasti punya kelebihan dan kekurangan, yang
dibutuhkan dalam hal ini adalah kecermatan, warga medsos harus cermat
memutuskan, informasi mana yang bisa diterima, serta informasi mana yang perlu
ditolak, informasi yang beredar di dunia maya tidak bisa dipercaya begitu saja,
kita juga perlu menelusurinya terlebih dahulu, sikap ini yang belum sepenuhnya
dipraktikkan para netizen.
Terlepas dari kekurangan yang ada, secara fakta, media
sosial mampu mengikis dominasi total media mainstream, khususnya dalam pembentukan
opini massa, walaupun memang tidak dalam setiap kesempatan, pertarungan
pengaruh opini antara media mainstream dan media sosial, adalah realitas
media yang tak bisa dinafikkan di era ini, munculnya media sosial juga perlu
dipandang positif, khususnya bagi keberlangsungan informasi yang sehat,
sebab pada dasarnya, semakin banyak rujukan informasi, semakin kaya pula
perspektif saat menganalisa masalah dalam informasi tersebut, bila perspektif
semakin kaya, maka kita juga akan lebih selektif dalam memilih informasi, kita
hanya perlu melihat, siapa yang aka
n lebih berpengaruh ke depan, apakah media
mainstream? atau justru media sosial?
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO 2015 - 2017
Posting Komentar