Belakangan ini
ramai terdengar perdebatan hutang Negara Indonesia, banyak pihak berspekulasi
bahwa kondisi utang Indonesia sudah masuk dalam kategori gawat, perdebatan yang
terus memanas memicu Menteri Keuangan Sri Muyani mengeluarkan pernyataan resmi,
dalam pernyataannya, terdapat kesan bahwa masalah utang dikomodifikasi menjadi
isu politik oleh pihak tertentu guna menyerang pemerintah. Pandangan ini
sesungguhnya lebih bernuansa kecurigaan terhadap kritik yang dialamatkan kepada
pemerintah, di sisi lain utang perlu dilihat sebagai permasalahan bersama,
sehingga tidak tepat pula bila utang hanya dijadikan alat serangan kepada
pemerintah, yang perlu dilakukan adalah mencari solusi bersama terkait masalah
hutang.
Jika dirunut ke
belakang, sejarah hutang Negara telah berumur sangat tua, bahkan telah terjadi
sejak awal kemerdekaan. Dalam konferensi Meja Bundar, Merle Cohran selaku
perwakilan Amerika Serikat yang bertindak sebagai moderator dalam KMB, berpihak
kepada Belanda, Cohran menekan perwakiln Indonesia agar mau menanggung hutang
belanda selama menjajah Indonesia sebesar 1,13 miliar USD, 70 persen hutang
tersebut merupakan hutang kolonial Belanda, sementara sisanya merupakan biaya
operasi militer Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia. Tradisi
utang berlanjut di masa Soekarno, di akhir pemerintahannya Soekarno mewariskan
utang sebanyak 6,3 miliar USD, 4 miliar dari utang tersebut adalah utang
warisan Belanda yang belum lunas, sedangkan 2 miliar tambahan utang selama
Soekarno berkuasa. Di masa Soeharto jumlah utang meningkat fantastis menjadi
171,8 miliar USD. Pada masa Habibi jumlahnya berubah menjadi 178, 4 milliar
USD. Di masa Gusdur terjadi penurunun, jumlahnya berkurang menjadi 157, 3
milliar USD. Selanjutnya di masa Megawati sebesar 139,7 milliar USD, lalu dua
periode kepemimpinanSBY meningkat menjadi 209,7 milliar USD, jumlahnya terus
meningkat cepat di masa Jokowi, hingga akhir 2017 utang berjumlah 352 milliar
USD.
Penyebab naiknya
hutang Negara secara umum bisa dibagi ke dalam dua bagian, pertama dari sisi
eksternal dipicu oleh rencana The Fed (Bank Sentral AS) menaikkan suku bunga,
sedangkan dari sisi internal disebabkan oleh menurunnya kinerja ekspor, ambisi
pemerintah membangun infrastruktur. Akan tetapi penyebab utama terus
bertambahnya utang karena pemerintah masih tunduk pada saran IMF untuk
menerapkan model pengelolaan ekonomi neoliberal, padahal Negara yang ekonominya
lebih kuat dari Indonesia seperti Jepang, China, Singapura menolak saran IMF,
mereka lebih memilih penerapan ekonomi yang cenderung nasionalistik, seharusnya
Indonesia segera meninggalkan model ekonomi neoliberal dan menggantinya dengan
model ekonomi yang lebih nasionalistik. Pemerintah juga melakukan kebohongan
dengan selalu berdalih bahwa anggaran ekonomi bangsa diprioritaskan untuk
pembangunan infrastruktur, padahal faktanya anggaran tersebut digunakan pertama
untuk membayar utang, kedua untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen, ketiga
barulah untuk pembangunan infrastruktur.
Ada ragam cara
yang bisa ditempuh guna melunasi utang Negara, tapi syarat utamanya adalah
kemauan pemerintah untuk tidak menjadikan utang sebagai sandaran utama
berjalannya pembangunan. Cara lain misalnya meningkatkan daya beli masyarakat
melalui pemberian modal usaha, meningkatkan pajak secara progresif terhadap
impor dan barang mewah, konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan secara
bertahap melepaskan diri dari ketergantungan utang, meningkatkan kebanggaan
pada produksi dalam negeri demi mendorong menguatnya produk ekspor,
mengembangkan SDM berkualitas. Di luar dari cara itu bisa juga ditempuh cara
lain yang lebih inovatif, misalnya yang dilakukan Rizal Ramli saat menjabat
Menkeu di masa Gusdur. Rizal Ramli berhasil menyepakati debt for nature swap
dengan Jerman, kesepakatan ini menyebaban ratusan juta dollar hutang Indonesia
dihapus diganti dengan konservasi hutan, Rizal Ramli juga mengkondisikan debt
swap dengan Kuwait, hasilnya utang mahal ditukar dengan utang bunga rendah.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar