BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Ideologi: Dirangkul atau Dicampakkan?

Manusia dalam hidup keseharian senantiasa bergumul dengan dinamika realitas yang mengitarinya. Terjadi interaksi intens antara manusia sebagai subjek dengan realitasnya. Interaksi manusia dengan lingkungan [Realitasnya] mewujud dalam beragam bentuk teknis.

Dalam nuansa refleksi terhadap realitas merupakan usaha untuk merespon setiap stimulus yang disodorkan oleh lingkungan. Pada gilirannya proses refleksi yang matang akan menghasilkan formula pandangan tertentu, pandangan ini kemudian bertindak sebagai pijakan dasar manusia dalam memahami semesta hidupnya.

Dalam lanskap modernitas pandangan dari hasil perenungan matang tersebut sering diistilahkan sebagai ideologi [masih diperdebatkan]. Ideologi sebagai sebuah cara pandang dibutuhkan manusia sebagai panduan aksi dalam dinamika hidupnya.

Peran ideologi yang vital menyebabkan manusia, terutama kaum pemikir untuk mencurahkan segenap potensi kecerdasannya guna meramu format ideologi yang paling tepat buat kaumnya.

Ideologi seringkali berada pada sisi yang dilematis, disatu sisi ia mampu menjadi faktor pemersatu, namun di sisi lain ideologi tidak jarang bertindak sebagai bahan baku pertikaian tanpa akhir.

Manusia memang butuh panduan tertentu dalam melakoni hidupnya. Panduan tersebut dibutuhkan untuk menghindari suasana chaos sekaligus menjadikan hidup punya orientasi. Namun pada sisi lai kita bisa bertanya demikian bahwa apakah panduan harus datang dalam bentuk ideologi atau yang lain?

Sepintas pertanyaan ini terkesan kurang urgen. Hilangnya rasa urgensi terhadap pertanyaan ini akan semakin terasa tatkala individu telah memutlakkan bahwa panduan hidup hanya bisa datang dalam bentuk ideologi.

Dalam titik tertentu persepsi seperti itu penting untuk dibaca kembali. Diskursus ideologi merupakan dialektika wacana yang sangat dinamis, cair bahkan ramai diwarnai dengan “sengketa” pemikiran.

Pada hakikatnya, secara terma tidak terdapat keseragaman dalam mendeskripsikan ideologi. Beragam pemaknaan ideologi, terutama berkutat pada aspek garis demarkasi wilayah ideologi.

Sekedar komparasi sederhana, satu sisi ideologi terkadang dibatasi pada aspek panduan hidup yang lahir dari hasil olah akal manusia. Namun disisi lain pula, kelompok tertentu juga terkadang berpersepsi bahwa panduan hidupyang bersifat transenden (ilahiah) juga merupakan ideologi.

Pada kenyataanya, dari komparasi tersebut tidak semua sepakat dengan pandangan terakhir-yakni sesuatu pandangan hidup transenden adalah ideologi. Ketidaksepakatan tersebut biasanya bersumber dari argumentasi bahwa ketika aspek Ilahiah dikategorikan sebagai ideologi maka hal itu justru akan mendesakralisasi kesucian Tuhan. Yang mana Tuhan menjadi elan vital dalam sebuah ajaran.

Perbedaan tafsir dalam memaknai ideologi, dengan demikian bisa menjadi landasan keyakinan bahwa panduan hidup bisa saja datang dalam bentuk lain. Bilamana kita sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut, maka bukan berarti perdebatan tentang urgensi ideolog telah selesai.

Sejatinya masih ada lembaran lain yang mesti dibaca dan diurai. Perdebatan tersebut merambah struktur dalam ideologi. Dialektika pada struktur internal ideologi terbilang lebih kompleks dari sekedar berbicara tentang defenisinya.Terdapat medan diskursus lebih luas yang mesti dielaborasi secara kreatif.

Ideologi sebagai sebuah pandangan selalu memuat tentang regulasi “benar” dan “salah”. Biasanya antara ideologi yang satu dan ideologi yang lain sering berbeda dalam menetapkan standar tersebut.
Perbedaan standar tersebut kemudian melahirkan produk kesalahan dan kebenaran yang berbeda pula. Produk kebenaran didaulat sebagai keunggulan bagi ideologi tertentu. Berbagai macam dalih dan argumentasi disusun untuk menguatkan posisi kebenaran tersebut.

Pada posisi ini, kebenaran versi ideologi tertentu secara sadar atau tidak sering digunakan untuk menilai ideologi di luar dirinya. Penilaian tersebut tidak sedikit melahirkan penilaian yang bias bahkan dalam titik terjauh yang terjadi adalah nuansa penghakiman.

Kita tahu bersama bahwa sangat besar peluang untuk menyalahkan ideology tertentu ketika diterawang berdasarkan ideologi yang berbeda darinya. Dengan demikian, pada dasarnya semua ideologi punya potensi untuk mentasbihkan diri sebagai yang paling benar.

Hal tersebut terjadi karena setiap ideologi memiliki standar tertentu dalam memandang realitas. pandangan terhadap realitas kemudian melahirkan persepsi, ketika persepsi dikuatkan dengan berbagai macam dalil argumentasi maka pada saat itu persepsi telah berubah menjadi sebentuk prinsip hidup.

Bagi manusia tertentu prinsip hidup yang berasal dari rahim ideologi yang diyakininya dianggap sebagai hal sakral bahkan mungkin akan dimutlakkan. Apatahlagi ketika prinsip tersebut berjumpa dengan prinsip lain yang berasal dari ideologi lain.

Pada posisi seperti ini maka biasanya akan melahirkan dialektika. Pada dialektik tersebut sangat disayangkan jika yang terjadi lahir dalam bentuk “konflik fisik”. Dalam dimensi yang lain dialektika semetinya lahir dalam bentuk konflik tidak harus dimaknai negatif. Khususnya bila konflik lahir dalam bentuk pertarungan pemikiran.

Sebab konflik pemikiran dalam titik tertentu akan melahirkan dinamika pemikiran produktif. Disana akan lahir beragam ide dan kekayaan intelektual. Dari pertarungan yang terjadi, tidak mustahil pula ide itu akan menyatu dan membentuk ideologi baru.

Pada sisi lain, Ideologi yang terlibat konflik pemikiran, nuansa negatif akan muncul jika dalam konflik ideologi dialektika pemikiran tidak berjalan secara produktif atau penganut ideologi menutup ruang. Lalu memilih melakukan penghakiman secara fisik, dalam situasi ini bentrokan fisik tak akan terhindarkan bahkan bisa memicu perang terbuka.

Benturan ideologi dapat dihindari, caranya adalah membangun dialog ideologi. Hal yang didialogkan terutama menyangkut perbedaan pandangan dalam berbagai hal prinsipil. Dialog tersebut yang mesti lahir adalah prinsip keterbukaan, bukan prinsip eksklusivisme ekstrim.

Dialog ideologi dimaksudkan untuk membangun saling pengertian diantara berbagai ideologi sehingga ideologi tertentu tidak semena-mena dalam menjustifikasi ideologi lain. Penting dicatat bahwa dialog ideologi tidak diarahkan untuk melakukan penyeragaman ideologi.

Sebab kita mesti tetap bijak untuk mengakui keragaman pandangan yang ada. Disini pula perlu untuk dipertegas bahwa dialog ideologi akan sekedar menjadi catatan kata tatkala egoisme ideologi hadir dalam bentuk berlebihan (ekstrim). Egoisme ideologi secara ekstrim akan menutup ruang dialog ideologi karena ia akan melahirkan rasa kebenaran dalam dirinya sendiri

Posisi ideologi memang terkadang terkesan dilematis bagi sebagain manusia, tidak mustahil terdapat individu yang merasa frustasi dengan ideologi dan memilih untuk mencampakkannya.

Pencampakan ideologi tidak otomatis merupakan pencampakan yang utuh, bisa saja si subjek merasa mencampakkan ideologi namun secara tak sadar ia beralih ke panduan lain yang sebenarnya juga merupakan sebuah ideologi.

Terlepas apakah ideologi mesti dirangkul atau dicampakkan maka, pencampakan ideologi tidak mampu membunuh ideologi itu sendiri karena salah satu tempat bersemayam ideologi adalah pikiran manusia.

Jadi sekalipun terdapat usaha struktural untuk mencampakkan ideologi maka ideologi akan tetap hidup, paling tidak ia hidup dalam pikiran penganutnya walaupun tidak menemui ruang aktualisasi dalam ranah empirik. Ideologi tak bisa dibunuh karena ia memiliki tempat yang tak bisa disentuh oleh tangan kasar.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT