BREAKING

Minggu, 17 Mei 2015

Antara Sang Pencerah dan Sang Kiai

Oleh: Zaenal Abidin Riam

            Bagi anda penggemar film, atau sekadar penikmat film, tentu tidak asing lagi dengan judul sang pencerah dan judul sang kiai, ke dua film ini termasuk kategori film yang mencerahkan, masing – masing film ini menggambarkan narasi besar dari ormas terbesar di nusantara, sang pencerah dengan ikon Muhammadiyah nya, sedangkan sang kiai dengan ikon Nahdhatul Ulama nya, bila sang pencerah selalu penulis sebutkan terlebih dahulu sebelum sang kiai, maka hal itu sama sekali tidak bermaksud melahirkan diskriminasi ucapan, penyebutan sang kiai, maka itu hanya mengacu kepada jadwal tayang, kebetulan sang pencerah lebih dulu tayang di layar lebar dari sang kiai, film ini sebenarnya berdimensi sejarah, mencoba mengajak penonton memahami peran dan kontribusi ke duanya dalam pentas kebangsaan, minimal ini merupakan salah satu garis persamaan yang bisa ditarik, kesamaan lainnya adalah keduanya fokus menggambarkan tokoh pendirinya, walaupun muncul persamaan umum, kita juga tidak menafikan perbedaan setting dalam ke dua film tersebut.

            Sang pencerah memilih memfokuskan dirinya dengan menelisik jauh ke belakang, alur cerita film dimulai dengan kelahiran Ahmad Dahlan, sang tokoh pendiri Muhammadiyah, lalu masuk ke masa kecil, Ahmad Dahlan kecil digambarkan sebagai pribadi yang sudah mempertanyakan ritual masyarakat yang dianggapnya menyimpang dari agama, sebuah kecenderungan yang kelak mempengaruhi pola pikirnya, setelah dewasa, khususnya pasca menuntut ilmu di Makkah, Ahmad Dahlan kembali dengan pikiran – pikiran modernisme islamnya, sang pencerah memang fokus menggambarkan perjuangan Ahmad Dahlan dalam menyebarkan pikiran modernisme islamnya, pada hakikatnya film ini bermaksud menawarkan modernisme islam ala Muhammadiyah, sebuah gerakan pemikiran yang akarnya bisa dilacak ke dunia intelektual arab, modernisme versi Ahmad Dahlan, berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa untuk membaharukan Umat Islam, mesti dimulai dengan penghilangan budaya yang dianggap khurafat, karena budaya inilah yang mebelenggu Umat Islam dalam kejumudun, baik pikiran terlebih prilaku, itulah mengapa sehingga gerakan Muhammadiyah juga dikategorikan sebagai gerakan pemurnian aqidah.

            Sisi berbeda ditunjukkan oleh sang kiai, film ini memilih mendeskripsikan peran sang tokoh sentral pendiri Nahdhatul Ulama, K H Hasyim Asy’ari, terkait pikiran – pikiran kontributifnya dalam perjungan kemerdekaan, dengan kata lain, sumbangsih Nahdhatul Ulama dalam menggapai kemerdekaan, film ini sampai menggambarkan pertempuran anak muda Nahdhatul Ulama di bawah bendera laskar hizbullah, adegan tersebut sebenarnya ingin menekankan bahwa Nahdhatul Ulama sejak awal merupakan bagian dari Indonesia, kecenderungan tersebut juga tertuang dalam pikiran seorang K H Hasyim Asy’ari, saat sang tokoh dimintai fatwa tentang perlunya mendukung kemerdekaan Indonesia, maka dengan tangan terbuka, pendiri salah satu ormas terbesar di nusantara ini, menyanggupinya, pemandangan sama juga terjadi saat Bung Tomo meminta resolusi jihad kepada Sang Kiai, bagian ini menunjukkan sisi fleksibilitas pemikiran K H Hasyim Asy’ari, bahkan dalam titik tertentu sikapnya cenderung kompromistis pada Jepang, hal ini ditunjukkan dengan kemauannya bekerjasama dengan Jepang dalam sisi tertentu, tentu ini bukan sikap membelot, melainkan lebih sebagai strategi memenangkan peperangan melawan penjajah, buktinya laskar hizbullah yang lahir dari sikap kompromistisnya terhadap jepang, mampu menjadi barisan pejuang tangguh yang menghadang kedatangan Belanda, sikap moderat ala K H Hasyim Asy’ari ini, tercermin sebagai sikap khas Nahdhatul Ulama hingga sekarang, bahkan ormas ini terang – terangan mengkampanyekan diri sebagai organisasi islam moderat, berada di tengah (wasathan), tidak radikal, namun juga tidak liberal.
            Dalam dimensi universal, kehadiran ke dua film ini, merupakan anti tesa dari label radikalisme yang belakangan sering distigmakan pada Umat Islam, streotip ini memang tidak muncul begitu saja, gejala ini tak lepas dari sepak terjang segelintir oknum yang membalut kekerasan dengan jubah agama, ke dua film ini ingin menegaskan bahwa Umat Islam Indonesia bukan penyokong radikalisme, Umat Islam Indonesia juga bukan entitas yang memusuhi negara, buktinya ke dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, telah terang – terangan menyatakan komitmennya bahwa NKRI telah final, kehadiran Umat Islam di Indonesia adalah mewujudkan dan terpeliharanya nilai islami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk membentuk negara islam, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah juga menjadi pionir bahwa kita bisa berislam tanpa menanggalkan keindonesiaan kita, berislam bukan berarti harus mencomot model kehidupan arab, yang perlu hidup di Indonesia adalah islamisasi, bukan arabisasi, Indonesia perlu bersyukur dengan kokohnya dua ormas islam terbesar ini, karena mereka telah menyatakan loyalitasnya di bawah panji merah putih, namun tetap memegang teguh atribut keislamannya.    


About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT