BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Neo-tradisionalisme dan Post-Tradisionalisme Islam : Dua Aliran Dari Satu Sungai


Kegagalan tradisionalisme islam dalam menjawab berbagai pertanyaan krusial seputar masalah bumi dan langit tak pelak lagi telah memicu munculnya varian pemikiran baru yang mencoba membelah diri dari tubuh tradisionalisme. Varian tersebut yakni neo tradisionalisme islam disatu sisi dan dan post-tradisionalisme islam disisi lain, keduanya dikatakan membelah diri sebab sekalipun telah mengambil bentuk lain namun tradisi masih bersemai dalam kedua aliran tersebut.
          
Neo-tradisionalisme merupakan bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba membangun kesadaran akan pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan. Tetapi tidak seperti tradisionalisme ia justru melihat bahwa kegagalan tradisionalisme terletak pada cara penyajiannya yang menyuguhkan tradisi dengan cara dan metode kalsik sehingga alih – alih mendapat respon positif dari manusia modern tradisionalisme justru diapresiasi pesimistik serta selalu dikaitkan dengan nuansa keterbelakangan. 

Berangkat dari fakta itu, neo-tradisionalisme memilih menyajikan tradisi dalam bahasa kemoderenan. Sebagaimana pandangan Sayyed Hosein Nasr sebagai pentolan neo-tardisionalisme “penting memahami manusia modern beserta pengetahuan modern yang membentuknya agar tetap akrab dengan agama dan akar – akar tradisi bahkan menjadikan islam sebagai world view untuk memberi makna kehidupan ditengah dunia yang kehilangan orientasinya”, statement tersebut menandaskan bahwa neo-tradisionalisme sangat yakin jika tradisi yang dibahasakan secara kontemporer akan mampu bertindak sebagai solusi kemanusiaan, kemunduran islam disebabkan karena mereka alergi dengan tradisinya sendiri, tradisi sufisme merupakan bahan perbincangan tersendiri dalam ruang neo-tradisionalisme semisal prinsip kemanunggalan manusia dan alam ala sufisme dijadikan sebagai pandangan alternatif terhadap logika subjek objek (manusia versus alam) dalam mainstream kerangka modernitas yang terbukti membawa dampak kerusakan massif serta mengganggu harmonisasi kehidupan. Penting dicatat bahwa sekalipun neo-tradisionalisme menyajikan islam tradisional dalam bahasa kontemporer namun mereka tidak sampai pada tahap dekonstruksi terlebih rekonstruksi walau tetap melakukan evaluasi kritis.
          
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya alam pemikiran islam bersedia mengakui lahirnya varian pemikiran baru dari rahim tradisionalisme namun tidak bisa diidentifikasi sebagai tradisionalisme maupun neo-tradisionalisme, kelak varian pemikiran itu melabeli diri dengan sebutan post-tradisionalisme islam. Sepintas istilah tersebut terlihat ganjil sebab sekalipun mengaku menjadikan tradisi sebagai basisnya namun penggunaan kata post “melampui” terkesan mencampakkan tradisi itu sendiri, akan tetapi terlepas dari kontroversi diatas post-tradisionalisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam gelanggang pemikiran islam, kita tidak mungkin menafikan sumbangan pemikiran sekaliber Muhammad arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Abed al Jabiri hingga Gusdur untuk konteks keindonesiaan. 

Post-tradisionalisme yang biasa juga disingkat dengan sebutan”postra” selalu identik dengan transformasi tradisi secara meloncat yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya. Arkoun dalam bukunya “naqd al islam” menjelaskan bahwa kemunculan post-tradisionalisme islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya, penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam konteks fiqih, teologi dan tasawwuf), cara pandang tertentu atas epistemologi abad pertengahan terhadap alam semesta.

Secara metodologis masih terjadi pertentangan dalam menilai ada atau tidaknya metode berpikir tersendiri bagi kaum post-tradisional, yang berkeyakinan tidak berargumentasi bahwa postra tidak berpretensi membangun metodologi tapi lebih pada pemberian bingkai kritisisme dalam memandang bangunan ortodoksi keagamaan sedangkan yang berkeyakinan bahwa post-tradisionalisme memiliki metodologi menganggap bahwa kecenderungan para pemikir post-tradisional dalam mendekonstruksi lalu merekonstruksi berbagai bentuk pola dan struktur terhadap kemapanan dengan otokritik terhadap teks – teks ajaran agama merupakan metodologi tersendiri bagi post-tardisionalis. metodologi ini lalu dijabarkan dalam berbagai bentuk teknis oleh para pemikirnya (pembacaan ulang terhadap tradisi oleh Hassan Hanfi, reorientasi nalar islam oleh Abed al Jabiri, membaca al qur’an lewat bingkai hermeunetika ala Nasr Hamid Abu Zayd). Gaya dekonstruksi pemikir postra merupakan hasil persinggungan dengan postmo (post-modernisme). Sampai sekarang masih tetap terjadi perdebatan terkait batas kerangka epistemologi dari post-tradisionalisme islam. Menurut pandangan penulis, kontribusi post-tradisionalisme islam masih diharapkan selama beberapa generasi kedepan dalam rangka membentuk tradisi yang lebih mampu bergaul dengan semangat zaman sedangkan neo-tradisionalisme akan memilki sumbangsih terhadap pengarahan orientasi kemanusiaan yang cenderung salah arah dibawah panji modernitas.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT