BREAKING

Minggu, 12 Mei 2013

Pers Kampus Kian Kembang Kempis



Dalam sistem kehidupan kampus modern, pers kampus telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan kampus, secara posisi kelembagaan pers kampus sebenarnya merupakan wadah yang bertindak sebagai penyambung lidah mahasiswa, corong aspirasi yang senantiasa mengekspresikan suara ketertindasan yang dialami oleh warga kampus, sehingga tidak heran jika dalam sejarah perjalanannya, pers kampus terkadang mengambil posisi vis a vis dengan aparat birokrasi sebagai kosekuensi logis yang mereka tanggung dalam memperjuangkan idealisme pers, tentunya kita tetap tidak mungkin menutup mata bahwa di sisi lain pers kampus juga terkadang dimanfaatkan birokrasi dalam memuluskan kepentingannya dengan menghantam balik pers kampus yang pro terhadap mahasiswa.

Gambaran mengenai pers kampus yang idealis dan anti pragmatis merupakan potret pers kampus yang bisa dijumpai di era reformasi, tidak dapat dipungkiri kelihaian dan kepiawaian pers kampus kala itu dalam menebar angin perubahan kepada warga kampus, telah menjadi faktor X bagi tumbuhnya benih reformasi 98, selepas reformasi pers kampus masih mampu unjuk gigi dalam mengawal agenda reformasi di lingkungan kampus, akan tetapi sejalan dengan perputaran waktu pers kampus seakan mengalami masa suram dalam dialektikanya.
            
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pers kampus yang dulunya pernah menjadi pengontrol kebijakan birokrasi, justru mengalami titik balik kesejarahan, mata kita justru disuguhi sajian realitas yang berbanding terbalik dengan masa – masa sebelumnya. Bagi pers kampus tertentu, sikap idealisme yang semestinya dijaga justru mulai dipersepsi sebagai emas murni yang bisa dijual kesana – kemari, baju perisai kebanggan itu telah dijual lalu diganti dengan kostum pragmatisme karena dianggap lebih memikat dan dapat mendatangkan keuntungan materil dalam jumlah besar, tidak perlu heran dengan beberapa pers kampus yang dulunya sangat garang terhadap birokrasi namun sekarang telah mulai jinak dan membungkukkan badan dihadapan birokrasi, bahkan dalam kasus tertentu mereka rela berkompromi demi kepentingan sesaat, jeritan mahasiswa teraniaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab untuk mereka perjuangkan seakan tidak terdengar lagi, kalau dulu pers kampus dianggap sebagai representasi corong mahasiswa maka sekarang ia justru terkadang dijuluki sebagai peng “iya” setia birokrasi.

Penulis tidak bermaksud menafikan eksistensi pers kampus tertentu yang masih setia memegang ikrar untuk bertindak sebagai corong aspirasi mahasiswa, hanya saja imunitas mereka dalam menghadapi tekanan birokrasi juga terlihat mengalami kemunduran, ia tidak lagi terlihat layaknya baja yang tak bisa ditembus namun ia lebih terlihat sebagai kertas karton yang mudah disobek, lihat saja beberapa bukti ketika pers kampus meyuarakan tuntutan yang seratus persen bertentangan denagan kemauan birokrasi, awalnya mereka terlihat sangat percaya diri dengan aspirasi yang mereka bawakan namun sikap percaya diri tersebut bisa langsung memudar ketika ancaman dan tindakan represi birokrasi mulai menerpa. Memang tetap ada sebagian kecil pers kampus yang tetap eksis dibawah hujan ancaman dan tindakan represif tersebut, hanya saja jumlahnya terus berkurang dari hari ke hari, belum lagi terdapat beberapa lembaga pers mahasiswa yang hanya sibuk mempublikasikan kegiatan – kegiatan mahasiswa yang lebih bernuansa hedonistik (hura – hura belaka)  namun sama sekali tidak berkaitan dengan pembangunan karakter gerakan yang sepatutnya mewarnai dinamika kampus kita, menurut hemat penulis lembaga pers kemahasiswaan semacam ini seharusnya malu melabeli diri sebagai lembaga pers mahasiswa, ia lebih cocok dilabeli sebagai tabloid gosip belaka.
            
di Masa mendatang, seharusnya pers kampus mampu menampilkan diri sebagai corong aspirasi yang selalu menyuarakan suara kritis di lingkungan kampus, tentunya komitmen idealisme menjadi sebuah harga yang tak tertawar, demi menjaga persemaian idealisme maka dibutuhkan pembenahan internal tertentu, misalnya perekrutan calon anggota yang harus seideal mungkin. Hendaknya anggota yang direkrut tidak hanya diberi pelatihan profesionalisme kewartawanan (meliput, mewawancarai, mencari narasumber dll) akan tetapi para calon anggota seharusnya ditanamkan nilai doktrin idealisme ke dalam diri mereka, hal ini sangat penting mengingat masa awal bergelut di dunia pers merupakan momen krusial yang akan mempengaruhi dirinya dalam pembentukan karakter sebagai seorang jurnalis, singkat kata “bila sedari awal ia dilatih untuk aportunis maka ia juga berpeluang menjadi wartawan aportunis namun jika sejak awal ia dibekali dengan nilai idealisme kewartawanan maka maka ia juga lebih berpeluang untuk menjadi wartawan idealis”, selain itu mereka seharusnya memiliki kecerdasan yang cukup dalam menjalankan tugas jurnalismenya mengingat jurnalis (khususnya yang bertugas di lapangan) adalah orang yang bertanggungjawab atas sebuah realitas, jika hanya denga kecerdasan pas – pasan maka mereka tidak memiliki analisis tajam dalam memandanng sebuah peristiwa sehingga realitas yang dilaporkan hanya realitas semu karena dirinya hanya mampu melihat aspek permukaan terhadap sebuah peristiwa, ia tidak sampai melihat sumber utama dari sebuah masalah dan bagian yang diliput hanyalah bagian yang dianggap paling menarik saja walaupun bagian tersebut bukan merupakan substansi utama kejadian, hal seperti ini berpotensi membohongi publik, bagian editing juga memainkan peran utama dalam proses pemberitaan. Ingat pers kampus harus menjadi pengusung suara kebenaran bukan justru menjadi alat propaganda birokrasi.         

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT