BREAKING

Sabtu, 19 Oktober 2013

Antara Qurban dan Pengorbanan


 
Sebuah peristiwa bersejarah dalam dunia Islam kembali mengambil momentnya tepat pada 10 zulhijjah, peristiwa penting yang sarat dengan nuansa sosial ini telah menjadi tradisi imanen dalam diri setiap muslim bahkan kedatangannya selalu dinanti khususnya bagi mereka yang ingin menunaikan Rukun Islam ke V di Tanah Haram. Idul adha menjadi semakin menarik karena tradisi qurban yang mengiringinya dimana umat Islam beramai-  ramai menyembelih hewan qurban untuk dibagikan kepada yang berhak, secara substansi nilai yang ingin ditransformasikan dari ritual qurban adalah kesiapan untuk berkorban dalam bentuk apapun, statement tersebut menemui benang merah jika ritual qurban dikaitkan dengan nafak tilas sejarah Nabi Ibrahim sebagai pelaksana awal ritual qurban, perintah untuk menyembelih Ismail merupakan sebuah simbol bahwa pengorbanan memang merupakan salah satu poin penting dalam lintasan sejarah peradaban Islam. 

Para sahabat nabi sendiri telah terilhami oleh semangat qurban dalam setiap perjuangan yang mereka lakukan, semangat qurban juga terbumikan dalam dada waliullah ketika mereka menyebarkan agama Islam di Tanah Sulawesi, harapan tersebut seharusnya juga membahasakan diri dalam fakta sosial dunia modern agar ia mampu menjadi alat counter terhadap mainstream sosial yang kian hari semakin menampakkan ciri – ciri individualistiknya. Ada beberapa syarat sehingga nilai qurban tidak hanya bersemayam di atas menara gading (Menghindari patahan antara ritual dan realitas). Kita sering menjumpai dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang tidak jarang mengandung animo sangat besar dari penganutnya justru terjadi begitu saja tanpa meninggalkan rekam jejak dalam sanubari para pelakunya, lebih tragis lagi terkadang ritual keagamaan dibajak oleh pelakunya demi meningkatkan status sosial, ibadah qurban merupakan salah satu di antaranya.  

Secara imparsial pelaksanaan qurban sarat dengan nuansa sosial, tinjauan filosofis historis dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami masalah ini. Nabi Ibrahim sebagai bapak agama samawi merupakan insan pertama yang mendapat perintah berqurban, beliau diperhadapkan pada sebuah pilihan sulit antara mengorbankan anak tercinta atau tetap membiarkan sang anak hangat di dalam dekapannya, ternyata pilihannya jatuh pada opsi yang pertama, ketika ditransformasikan ke dalam dunia sosial maka hal itu pertanda bahwa pengorbanan dalam menegakkan nilai kebenaran dalam ruang muamalah terkadang mengharuskan kita untuk merelakan hal paling berharga dalam diri kita termasuk nyawa, adapun kesiapan Ismail dapat dibaca sebagai kesiapan seorang generasi muda dalam menyerahkan hidup sebagai tumbal kebenaran, isyarat di atas akan semakin menemukan ruangnya ketika diperhadapkan dengan realitas manusia modern dimana manusia seakan berkompetisi memperlebar dinding ruang privat mereka sehingga ekspresi amaliah di ruang publik menjadi semakin terkikis. 

Anomali ruang publik menjadi realitas baru yang segera dimaklumkan masyarakat, dalam kondisi seperti ini (anomali ruang publik) manusia terkadang tidak mampu lagi mengidentifikasi secara jelas limit antara ruang privat (private space) dan ruang publik (public space), hal itu lalu berdampak kepada tindakan mereka yang cenderung mementingkan diri sendiri karena menganggap bagian tersebut adalah ruang privatnya, sudah barang tentu fenomena tersebut berpotensi mengubur nilai pengorbanan yang merupakan salah satu pesan yang ingin dieksplorasi melalui ibadah qurban. Adapun kerelaan seorang Sarah dalam melepaskan putera semata wayangnya untuk dikorbankan dapat dipahami sebagai kesiapan orang tua khususnya ibu dalam merstui anak untuk turun ke medan laga demi mengibarkan panji kebenaran, mungkin kita bertanya, kenapa sikap seorang ibu ditonjolkan dalam panggung peristiwa ini? 

Secara common sense perempuan dengan naluri keibuannya seringkali (tidak mutlak) lebih kuat memberikan cinta kasih kepada anaknya , hanya saja cinta kasih seorang ibu terkadang menjadi penghambat bagi anak untuk bertindak sesuai dengan perannya sebagai generasi pejuang kebenaran dikarenakan sang ibu khawatir jika si anak akan terluka atau terancam keselamatan dirinya ketika ia harus bergumul dengan arus kemunafikan yang sudah menancap kuat dalam ruh masyarakat, situasinya bisa menjadi lebih kompleks tatkala ia merupakan anak tunggal sebagaimana dalam kasus Hajar dan Ismail, tidak dapat dipungkiri kultur semacam ini masih terkadang terpelihara dengan baik dalam institusi keluarga tertentu tanpa disadari bahwa kultur tersebut berpotensi mencegah munculnya calon arsitek revolusi sosial, bagi seorang ibu yang mampu melepaskan diri dari belenggu tersebut maka sesungguhnya dialah ibu pilihan yang dari rahimnya akan lahir ismail baru.  

Penulis: Zaenal Abidin Riam


About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT