BREAKING

Minggu, 17 Mei 2015

Jejaring Sosial Sebagai Pembanding Media Mainstream

Beberapa tahun belakangan ini, jejaring sosial (social network), menjadi tren baru di Indonesia, tren ini tidak hanya melanda orang dewasa, anak – anak usia SMP, bahkan SD, juga turut menggandrunginya, mulai orang awam, hingga pejabat, ramai –ramai membuat akun media sosial, sebagai tren baru, media sosial bukan tidak mendatangkan efek negatif bagi masyarakat, khususnya bila ditinjau dari sisi ikatan emosional dan psikologi, terlepas dari efek negatif yang ditimbulkannya, disini kita akan melihat sisi lain dari jejaring sosial, sisi positifnya, pada dasarnya jejaring sosial termasuk jenis media, hal ini karena media sosial, memberikan kesempatan bagi siapa saja, untuk mempublikasikan informasi, sekaligus juga mengkonsumsi informasi darinya, di media sosial, seseorang dapat bertindak sebagai penyiar informal, sekaligus pengkonsumsi berita dari penyiar lain, kehadiran media sosial mendobrak kemapanan dunia berita, jika selama ini informasi dalam bentuk berita, hanya bisa dikonsumsi dari media mainstream, baik cetak maupun elektronik, maka dengan kehadiran media sosial, nuansa itu tak lagi mutlak berlaku, di media mainstream, berita tak mungkin lepas dari polesan kepentingan, sehingga berita tersebut hanya mewakili kelompok tertentu, namun tidak halnya di media sosial, di media sosial, setiap orang mampu mempublikasikan informasi apa adanya, sesuai sudut pandangnya, pada posisi ini, media sosial, mampu bertindak sebagai pembanding berita bagi media mainstream.

Jika dianalisa secara lebih kritis, pemberitaan di media mainstream, juga terkadang terpengaruh dengan perbincangan hangat, antara sesama pelaku  maya, di jejaring sosial, walupun hal itu hanya berlaku untuk momen tertentu, efektifnya pertukaran informasi di jejaring sosial, juga disadari oleh pelaku media mainstream, salah satu buktinya, sekarang ini, hampir semua media mainstream, memiliki akun sosial, berita yang tidak sempat tayang di TV, atau tidak sempat naik cetak di Koran, ditampilkan di akun sosial mereka, memang ada juga berita yang telah tampil di layar kaca, atau sudah terpampang di surat kabar, namun ditampilkan kembali di akun sosialnya, hal ini khususnya berlaku pada isu – isu yang dianggap sangat hangat,, sebab informasi yang diusung media mainstream, sangat susah lepas dari kepentingan, maka sudah barang tentu bila kita sering menjumpai, perbedaan isi berita, antara yang muncul di jejaring sosial, dengan yang muncul di media mainstream, termasuk bila objek beritanya sama, secara sederhana, kecenderungan masyarakat Indonesia mempublikasikan pandangannya, atau fakta yang didapatnya, di media sosial, memberikan ruang bagi munculnya pandangan alternatif, terhadap sebuah masalah yang disorot secara bersamaan, orang kemudian tidak serta - merta mempercayai pemberitaan media mainstream, namun mereka tidak juga serta - merta menolaknya, minimal orang akan melakukan perbandingan dengan informasi di jejaring sosial, yang mana informasi tersebut, juga sangat bebas diperdebatkan di dalamnya, perdebatan terhadap sebuah informasi, mampu membuka ruang bagi semakin beragamnya perspektif.
           
Di jejaring sosial, semua orang dapat menjadi pewarta berita, tanpa harus mendalami ilmu jurnalistik, atau mengambil jurusan jurnalistik di perguruan tinggi, atau terlebih dahulu menjadi reporter, semua itu tak berlaku dalam dunia jejaring sosial, di sisi lain, sebuah kejadian di pelosok negeri, dapat langsung ditampilkan pada saat itu juga, tanpa harus menghubungi wartawan, atau terlebih dahulu melapor ke aparat pemerintah guna disampaikan ke atas, kejadian muncul, beritanya bisa langsung muncul pula, ini pula yang menyebabkan beberapa pemangku kebijakan membuat akun sosial pribadinya, bahkan hal ini juga dilakukan oleh mantan presidan SBY, tujuannya sederhana, demi mendobrak kemapanan sistem birokrasi yang rumit dan bertele - tele, dikatakan rumit dan bertele – tele karena, sebuah masalah yang terjadi di daerah tertentu, dan masalah tersebut berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah, penyampaian informasinya, masih harus melalui beberapa tahapan sebelum sampai ke pengambil kebijakan, atau ke pimpinan tertinggi, proses ini bisa memakan waktu, berhari – hari, sedangkan di media sosial, masalah tersebut sudah ramai diperbincangkan, bahkan boleh jadi sang pemimpin tertinggi, telah dikritik di media sosial, sebab ia dianggap lamban merespon masalah.
 
Dengan berfungsinya jejaring sosial, sebagai pembanding berita bagi media mainstream, maka bukan berarti, orang – orang bisa serta – merta, menerima informasi yang muncul di dalamnya, peluang manipulasi informasi tetap terbuka dilakukan di dunia jejaring sosial, oleh sebab itu, para pelaku jejaring sosial, hendaknya tetap perlu, terlebih dahulu, memferivikasi kebenaran informasi tersebut, sebelum memutuskan mempercayai atau tidak, nalar kritis terhadap media harus tetap diaktifkan, tidak terkecuali kepada media yang dianggap, mampu bertindak sebagai media alternatif, sepertinya tren jejaring sosial, tetap akan bertahan selama beberapa waktu ke depan, hal ini akan terjadi saat masyarakat, merasa belum menjumpai ranah lain, yang bisa mereka jadikan sebagai pembanding terhadap berita di media mainstream, menjamurnya media sosial, memang tidak langsung menghapus pengarus pemberitaan media mainstream, namun paling tidak, orang – orang tidak lagi sepenuhnya bergantung pada media mainstream untuk urusan informasi, sebagai sebuah produk zaman, jejaring sosial pasti punya dua potensi, merusak atau memperbaiki, semoga pilihan kita jatuh pada yang ke dua, namun hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan sikap kita, karena sikap yang berbicara dalam kenyataan, bukan teori.
 
Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT