BREAKING

Minggu, 17 Mei 2015

Negeri Janji

tulisan ini juga dimuat di  http://www.suluttoday.com/negeri-janji-potret-indonesia-kontemporer/
Oleh: Zaenal Abidin Riam
Ketua HMI MPO Badko Sulambanusa (Sulawesi bagian selatan, Maluku utara, Bali dan Nusa tenggara)

            Indonesia merupakan negeri dengan potensi alam melimpah, Indonesia juga merupakan negeri dengan penduduk melimpah, seharusnya dengan dua potensi tersebut, Indonesia mampu menjadi kekuatan baru dalam percaturan dunia global, namun kenyataan becerita lain, kekayaan alam yang melimpah, justru menjadi sasaran empuk kelompok neoliberalisme, pengelolaan kekayaan alam negeri ini, lebih banyak didominasi pihak asing atau komunitas dalam negeri yang berafiliasi kepada mereka, jumlah manusia yang melimpah belum dibarengi dengan kualitas melimpah, kenyataan terakhir ini juga menjadi alasan ampuh bagi pemerintah, dalam memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk mengelola sumber daya alam kita, ketidakmandirian mengelola sumber daya alam, ditambah rendahnya sumber daya manusia yang melahirkan masalah baru, selalu menjadi fokus perhatian dalam setiap momen kontestasi politik, para calon pemimpin selalu berebut janji mensejahterakan rakyat, beragam jurus dipraktikkan demi menggaet simpati pemilih, dari sisi struktur kata, janji tersebut terkesan sangat ideal.

            Harapan mungkin terbersit dari masyarakat dengan janji yang seolah sangat meyakinkan, secara sederhana, sebuah janji berpotensi memunculkan harapan, terlebih bila yang dijanji adalah kaum awam, akan tetapi bila berkaca pada kenyataan, sebagian besar janji kandidat, tak lebi dari lip servicebelaka, setelah si kandidat resmi terpilih, janji yang dulunya didengungkan secara nyaring, tak lagi terdengar, tanda – tanda realisasinya pun tak kunjung muncul, yang lebih memalukan, saat janji tersebut justru diingkari di tengah jalan, contoh yang paling sering muncul, berjanji tidak menaikkan BBM, dan berjanji mencari cara lain, namun setelah terpilih, BBM dengan entengnya dinaikkan, ini hanya satu contoh kasus, ribuan janji lainnnya, yang juga diingkari, terpampang rapi di langit negeri, janji bagi kontestan politik saat sementara berkompetisi, tak lebih dari dagelan politik belaka, nuansa ini tidak hanya terjadi dalam pertarungan kursi nomor satu negeri ini, tetapi pemilihan di tingkat desa saja, juga memperlihatkan nuansa yang sama, sepertinya mereka belajar banyak dari drama adu janji yang dimainkan para capres, atau dari mantan caleg yang telah resmi menjadi penghuni rumah rakyat, ini juga merupakan pendidikan politik dalam dimensi yang kebablasan.

            Jika dikatakan bahwa masyarakat semakin cerdas menilai janji kandidat, maka asumsi tersebut masih perlu dibuktikan, sebab dalam kenyataannya, beberapa pemimpin yang terpilih dari daerah tingkat bawah hingga pusat, adalah figur yang gemar menebar janji sekaligus senang mengingkarinya, saat janji mereka terang diingkari, maka pada saat itu muncul kebencian dari masyarakat, kebencian ini seolah mengarahkan mereka pada kesadaran baru, bahwa janji kandidat tak bisa dipercaya begitu saja, akan tetapi, saat tiba pemilihan selanjutnya, dan suara mereka menjadi penentu, kebencian tersebut menjadi luluh oleh jurus politik uang atau jurus kejam lainya, fenomena ini mengindikasikan dua hal, pertama, kesadaran politik masyarakat memang masih rendah, kondisi ini bertalian erat dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, ke dua, masyarakat sudah terjangkit oleh sindrom apatisme akut, mereka merasa bahwa siapapun yang terpilih, tetap tak berpengaruh pada kondisi riil kehidupan mereka, sebenarnya jika pendidikan politik dalam artian teori dan praktik, berjalan efektif, maka ke dua hal tersebut tidak perlu terjadi, atau minimal bisa diminimalisir.
            Negeri ini memang menyimpan seribu satu macam masalah, perlu diingat, untuk mengatasi semua masalah tersebut, maka janji saja tidak mendatangkan dampak positif sama sekali, bahkan janji yang dibajak dan diingkari di tengah perjalanan, justru berpotensi menimbulkan masalah baru, masalah yang melanda bangsa ini hanya bisa diatasi dengan kerja nyata tanpa perlu banyak mengumbar lip service, tentu dalam setiap kompetisi politik, adu program tak bisa terhindarkan, bahkan kempetisi dengan “menjual” program, jauh lebih bermartabat dibandingkan jurus lain yang instan, namun perlu diingat, sekadar janji dan kompetisi program adalah dua hal berbeda, bila kandidat menjual program, berarti ia telah memiliki perhitungan dan rekayasa jelas untuk mewujudkan programnya, tapi bila sekadar janji, maka boleh jadi pernyataan tersebut keluar begitu saja demi mengalahkan kompetitornya, mungkin dibarengi perencanaan, tapi perencanaan dari pernyataan tersebut tidak matang, terlepas dari hal itu, untuk membuktikan bahwa pernyataan kandidat tak sekadar janji, maka yang paling berperan adalah sejauh mana kerja nyatanya demi merealisasikan pernyataannya dahulu. Sudah waktunya menyudahi parodi janji di atas panggung nusantara, panggung ibu pertiwi tak dibuat untuk mementaskan janji, tetapi untuk memamerkan kinerja di lapangan.


About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT