Ahad 2 Desember
menjadi hari bersejarah, jutaan manusia berkumpul di Monumen Nasional, simbol
kedigdayaan ibukota negara. Jauh sebelum acara ini digelar berbagai upaya
penghambatan dilakukan, baik dengan memainkan opini di media seolah aksi ini
berbahaya, maupun dengan menyuruh kelompok tertentu bersuara seolah mereka siap
pasang badan menghalangi massa Reuni 212. Tetapi kehendak langit berkata lain,
semua upaya itu gagal total.
Berkumpulnya
jutaan manusia di Monas, bahkan meluap hingga
berbagai jalan di sekitar Monas adalah bukti nyata bahwa nurani umat tidak bisa
dibungkam. Apakah Reuni 212 hanya milik umat Islam, ternyata tidak, faktanya
tidak sedikit non muslim yang melibatkan diri dalam reuni kali ini, bahkan
beberapa etnis Tionghoa juga hadir. Sebab sifatnya yang lintas batas, Sehingga
tidak berlebihan bila Reuni 212 disebut "reuni kemanusiaan".
Banyak pihak
tersentak dengan membludaknya peserta reuni, jumlahnya tiga kali lipat dari
reuni pertama, saya yang tiba di lokasi sekita jam 3 malam (dalam rangka
meliput aksi ini) sudah harus berdesakan untuk bisa masuk ke pintu Monas,
bagaimana yang datang pukul 06.00 pagi ke atas, perjuangan mereka pasti lebih
berat untuk menembus pintu masuk Monas.
Apa yang
menyebabkan jutaan manusia bisa berkumpul secara spontan di Monas, apa karena
janji materi atau kekuasaan, nyatanya mereka datang pakai duit pribadi, lalu
apa? Perubahan, perubahan??? ya perubahan, sepak terjang rezim yang seenak hati
memperlakukan umat dan para pengkritiknya menyebabkan dengan mudahnya jutaan
manusia berkumpul membelakangi istana sekaligus tidak berharap kedatangan
pemilik istana.
Penulis: Zaenal Abidin Riam, Koordinator Presidium Demokrasiana Institute