Mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat turut berkontribusi
terhadap berbagai perubahan, dalam lanskap Indonesia kejatuhan rezim
Soekarno dan Soeharto sangat dipengaruhi oleh gerakan mahasiswa sehingga
wajar jika sampai hari ini mahasiswa masih setia melabeli diri sebagai
agen perubahan. Label tersebut menjadi pijakan mahasiswa dalam merespon
berbagai isu perubahan, perubahan sebagai cita ideal mahasiswa
membutuhkan metode, sering terjadi perbedaan pandangan dalam mempersepsi
metode paling tepat menuju perubahan, dalam konteks ini kita bisa
memahami relasi antara mahasiswa dan partai politik. Apakah partai
politik bisa digunakan sebagai salah satu media perubahan?, sebab hal
paling fundamen yang perlu dipertahankan dalam gerakan mahasiswa adalah
independensi, apakah independensi mampu dipertahankan dalam relasi
dengan partai politik?.
Sebagai kaum kritis, mahasiswa
termasuk kalangan yang berpandangan pesimistik terhadap partai politik.
Pandangan tersebut tidak muncul begitu saja tetapi merupakan hasil
refleksi atas kinerja partai politik yang dianggap mengecewakan,
realitas parpol yang sarat dengan nuansa pragmatisme bukan merupakan
lahan persemaian idealisme sehingga wajar jika orang idealis yang masuk
ke dalam partai politik cenderung dipertanyakan idealismenya ketika ia
telah berada dalam lingkaran parpol. Dalam kasus ini kita bisa berkaca
terhadap beberapa mantan aktivis mahasiswa yang kemudian masuk kedalam
pusaran parpol, maka secara otomatis akan muncul krisis kepercayaan dari
aktivis gerakan mahasiswa terhadap dirinya. Menurut perspektif penulis,
mahasiswa seharusnya menjaga jarak dari parpol mana pun semasa ia masih
tercatat sebagai mahasiswa karena ia dipercaya sebagai golongan tengah
yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan apapun sehingga mampu
mengomunikasikan kebutuhan masyarakat lapis bawah yang cenderung
tertindas dengan masyarakat elit termasuk pemerintah dan pemilik modal
yang sering bersifat represif terhadap grass root. Independensi
merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar dalam ranah gerakan
kemahasiswaan, jika ia ternodai sedikit saja oleh kepentingan tertentu,
maka akan terbuka ruang bagi keberpihakan setengah hati terhadap
masyarakat karena motif kepentingan yang melatarbelakanginya.
Ekspansi partai politik yang semakin massif sampai masuk ke lingkungan
kampus telah menyebabkan timbulnya paradoks antara berbagai organ
gerakan di kampus. Paradoks tersebut muncul disebabkan oganisasi
kemahasiswaan yang memiliki afiliasi politik tersembunyi terhadap partai
politik cenderung gagal menampilkan sifat independensi yang
sesungguhnya, mereka hanya bisa bersuara sepanjang isu tersebut tidak
menyentuh kepentingan afiliasi politiknya, namun ketika isu tersebut
dianggap mulai merugikan afiliasi politiknya, maka mereka akan bertindak
sebagai penonton belaka. Disisi lain hal ini menjadi sebab
ketidaksenangan sekaligus kerugian bagi organisasi mahasiswa yang masih
konsisten mempertahankan independensi gerakan sebab dalam kondisi
tersebut partai politik memiliki kekuatan non struktural untuk
mengintervensi organisasi mahasiswa yang memiliki afiliasi terselubung
terhadap parpol bersangkutan sehingga heroisme mahasiswa sebagai pembela
kaum lemah dan terpinggirkan menjadi terciderai.
Lalu
bagaimana dengan kondisi saat mahasiswa tidak lagi aktif di kampus?
Apakah mereka masih harus menjaga jarak dari partai politik? .
Menyandang gelar mantan mahasiswa tidak berarti ia tidak perlu lagi
peduli terhadap gerakan perubahan hanya saja ia mesti memikirkan metode
gerakan lain, hanya ada dua piihan yakni gerakan kultural dan gerakan
struktural. Bagi penulis, setiap perubahan mesti memilki pijakan
kultural yang kuat walaupun model gerakan ini membutuhkan waktu yang
sangat panjang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya, namun jika
diolah denga matang, maka ia berpotensi merubah total tatanan
masyarakat karena masyarakat yang tercerahkan akan bergerak sendiri
menuju perubahan walaupun tanpa ada perintah. Pandangan semacam itu sama
sekali tidak bermaksud menutup rapat peluang ke arah gerakan
struktural hanya saja ada syarat yang mesti dipenuhi, yakni mantan
aktivis kampus seharusnya tidak usah berpikir untuk masuk ke dalam
partai besar tetapi lebih baik berpikir mendirikan partai sendiri yang
semua pengurusnya terdiri dari mantan aktivis kampus sehingga idealisme
lebih terjaga dan lebih leluasa berjuang untuk rakyat dibandingkan
berjuang untuk golongannya. Intinya bahwa mahasiswa yang masih aktif
dalam gerakan kampus mesti menjaga diri dari parpol demi independensi
gerakan, namun ketika mereka telah selesai di kampus maka terbuka ruang
untuk memilih antara melanjutkan gerakan kultur atau masuk kedalam
struktur lewat jalur partai politik sepanjang idealisme tidak
tergadaikan walaupun hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat susah.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar