Berbagai
fenomena menarik menjadi penghias diawal tahun 2010,tentunya fenomena
tersebut tetap memiliki dua sisi, menguntungkan bagi kelompok manusia
tertentu dan merugikan bagi yang lain, tergantung di pihak mana dan
kepentingan apa yang kita milki. Pada dasrnya tulisan ini tidak
berpretensi membahas semua fenomena yang dianggap menarik melainkan ia
lebih dititikberatkan pada fenomena terkait demokrasi dalam skala makro
untuk sebuah negara dan terlepas apakah ia merupakan rangkaian peristiwa
yang masih dijalani atau telah menghasilkan babak baru sebagai buah
dari peristiwa tersebut.
Paling tidak sebagai lembaran
pembuka di tahun 2010, ada dua peristiwa fenomenal yang memiliki kaitan
langsunag dengan roda demokrasi yang berjalan, uniknya karena kedua
peristiwa tersebut terjadi di Benua Asia, tempat dimana ibu pertiwi
berdiam. Gonjang-ganjing politik di Thailand dan penggulingan presiden
Kirgistan beserta kabinetnya oleh kekuatan massa rakyat merupakan dua
contoh menarik, sebagai penegas bahwa people power masih menjadi kekuatan
utama dalam menetukan nasib sebuah Negara.
Sebagai bahan
refleksi, kekuatan rakyat tidak hanya mewujud di Thailand dan Kirgistan,
akan tetapi negara-negara lain, semisal Philipina dan Indonesia, juga
pernah dilanda gelombang people power yang mampu meruntuhkan diktator
dan penjajah negara, begitupun dengan belahan dunia lain (Afrika,
Amerika, Eropa) kekuatan rakyat juga pernah menunjukka tajinya di semua
benua tersebut. Ada sebuah kepercayaan baru sekaligus telah menjadi
doktrin bagi orang-orang tertentu, yang berasumsi bahwa kekuatan rakyat
(people power) tidak akan mungkin lagi muncul di Indonesia melihat
perangkat pendukungnya tidak lagi tersedia, sehingga sangat mustahil
mengharapkan perubahan cepat (revolusi) akan terjadi, melainkan hanya
perubahan secara lambat atau mungkin devolusi sama sekali. Asumsi
di atas kiranya perlu dipahami sebagai bentukan dari sistem yang terancang
secara apik oleh aparat negara yang memang tidak pernah rela melihat
perubahan terjadi, ketidaksukaan aparatus negara bukanlah tanpa sebab,
tetapi pandangan mereka didasarkan pada persoalam resiko, kelihatannya
sebagian besar warga negara mafhum bahwa kejahatan yang terjadi di
Indonesia merupakan upaya tersistematis dari sekelompok aparat
pemerintah yang rela mencengkeram dan memecah negara demi kepentingan.
segelintir individu .Tetap ada kemungkinan jika sekelompok kecil aparat
Negara tidak melakukan hal tersebut, akan tetapi mereka juga tidak punya
keberanian untuk mengungkap kasus terseburt ke permukaan, sehingga jadilah
ia pemelihara kejahatan tersistematis.
Perasaan takut bisa diakibatkan
oleh faktor buatan yang sengaja dipentaskan aparat negara kotor, dengan
cara mengepung dari berbagai arah si “whistle blower” bahkan berusaha
untuk mematikan peluitnya, layaknya Susno Duadji yang punya Itikad
mencuci Lumpur hitam di tubuh Polri, namun kaki baru bergerak selangkah, segala jenis rantai telah disiapkan guna mengikat kaki si peniup peluit, agar tidak melangkah jauh, dan menyeret orang-orang yang sepatutnya
diseret ke balik jeruji besi. Inilah yang biasa disebut dengan asas
saling menjaga diantara sesama perusak bangsa. Akumulasi dari berbagai
carut-marut yang belakangan ini muncul bisa menjadi tempat lepas landas
bagi people power, akan tetapi sangat disayangkan karena tak setupun
skandal yang terkawal hingga tuntas. Perlu dipertegas bahwa pengalihan
dari satu isu ke isu lain tidak bisa dilepas dari campur tangan
pemerintah, yang selalu menggelindingkan bola panas bila bola panas
sebelumnya dianggap mulai mengancam kedudukannya. Pertarungan yang
terjadi dalam ruang pemerintahan merupakan sebuah drama politik antara
penguasa dan oposisi sebagai pemain, kedua pihak selalu berebut
kekuasaan satu sama lain, oposisi selalu menyerang penguasa karena
kebijakannya dianggap tidak berpihak ke rakyat ,sementara penguasa
senantiasa pasang badan demi membela kebijakannya, pada dasarnya
kedua belah pihak masing-masing memiliki kepentingan dalam perkara
kekuasaan. Penguasa, karena ia adalah pemegang kontrol terhadap negara, maka segala upaya akan mereka lakukan untuk meredam arus perubahan.
Contoh konkritnya ketiaka pemerintah menaikkan harga BBM, maka untuk
meredam amarah rakyat, maka penguasa lalu memberikan BLT (Bantuan
Langsung Tunai) atau memformat BLT dalam bentuk biaya siswa di perguruan
tinggi, agar mahasiswa yang selalu menjadi inspirator perubahan tidak
lagi bersenandung menyanyikan liri-lirik perubahan.
Pemerintah boleh
saja tersenyum puas dengan hasil keringatnya, karena kelihatannya
masyarakat kita tergolong masyarakat apatis dimana kultur budaya diam
menjadi salah satu penandanya, bahkan pemerintah tidak hanya telah
mendiamkan masyarakat, tetapi juga berhasil mencekoki pikiran mereka
untuk meredakan perlawanan opini terhadap oknum gerakan yang sebenarnya
ingin membela masyarakat sendiri. Secara sosiopolitik, prilaku masyarakat
kita juga harus dilihat sebagai prilaku menyimpang, hal ini disebabkan mereka
pernah berada didalam cengkeraman rezim otoriter yang memang sengaja
memproduk budaya bisu. Sehingga dari sisi psikologi, watak diam yang
sudah terbentuk dalam masyarakat kita, sangat gampang dibangkitkan
kembali, hanya memberikan stimulus berupa adigium bahwa “warga
negara yang baik selalu patuh terhadap perintah pemerintah”. Kata
“patuh” selalu direkayasa sedemikian rupa agar ‘patuh” selalu dimengerti
sebagai kepatuhan pasif bukan ‘kepatuhan aktif” model kepatuhan yang
selalu membungkuk dihadapan pemerintah, tanpa memperdulikan benar atau
salahnya tindakan dari aparatus negara, bukan menjadikan kebenaran
sebagai satu-satunya tendensi mutlak dalam menentukan sikap.
Sepanjang
tahun 2009 terdapat dua buah kasus yang oleh sebagian pengamat politik
dinilai sebagai pertanda bahwa arus balik sejarah demokrasi sedang
melanda Indonesia, arus balik sejarah yang dimaksudkan adalah
meningkatnya tingkat partisipasi rakyat dalam mengawal sebuah isu besar, yang dianggap berpotensi memberangus kelangsungan demokrasi di
Indonesia. Sebuah kasus besar yang dimakasudkan yakni kasus Bank Century
dan kasus penangkapan yang dilakukan terhadap 2 orang petinggi KPK,
Chandara M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang kemudian popular dengan
sebutan Cicak VS Buaya akibat model anekdot dari kepala Bareskrim Mabes
Polri (ketika itu masih dijabat oleh Komisaris Jenderal Susno Duadji).
Secara kasat mata kita memang tidak bisa menafikan jika kedua kasus
tersebut mendapat perhatian intens dari lapisan masyarakat, tidak hanya
di kota tetapi juga di desa-desa. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, perhatian masyarakat tidak hanya terbatas di depan TV atau radio, atau
sebatas meng up date nya lewat koran, masyarakat dalam jumlah
ratusan bahkan ribuan ternyata melakukan serangkaian penggalangan
dukungan dengan memanfaatkan dunia face book, untuk kemudian melakukan
demonstrasi bersama di lapangan sebagai salah satu bentuk usaha mereka
dalam mengawal kasus bank century dan kasus Cicak VS Buaya, aksi
tersebut tidak hanya terpusat di jantung ibukota, melainkan menembus
ke beberapa daerah termasuk Makassar yang sering dikenal sebagai kota
demo.
Dalam tahapan tartentu dukungan masyarakat tersebut
dianggap mampu mencapai keberhasilan, dan ia telah mampu menjelma menjadi
sebuah kekuatan baru di luar wilayah hukum formal yang menyebabkan MA
menerbitkan surat perintah pemberhentian penyelidikan terhadap Chandra M
Hamzah dan Bibit Samad Rianto, alasannya karena mempertimbangkan aspek sosiologis
masyarakat (walaupun belakangan gugatan pra peradilan dari Anggodo
dikabulkan oleh pengadilan yang memaksa kedua petinggi KPK harus
berurusan kembali dengan masalah hukum). Adapun kasus Bank Century
(century gate) yang semenjak awal bergulirnya hingga menggelinding bak
bola salju, bergulir kesana-kemari hingga menjadi sulit diperkirakan
ke arah mana ia akan bermuara, bahkan sampai sekarangpun muaranya belum
jelas, berawal dari laporan nasabah Century yang merasa dirugikan ke DPR
lalu disikapi oleh beberapa kader partai yang sebagian besar bukan dari
fraksi besar di DPR, diantara sekian fraksi di DPR hanya sebagaian
kecil fraksi saja yang sejak awal konsisten ingin mengajukan hak angket, sementara fraksi besar lainnya masih cenderung menutup diri. Tetapi
setelah lobi dimainkan, mendadak fraksi besar yang tadinya menolak
inisiatif hak angket tiba-tiba menerima , dari sini keraguan dari
beberapa pihak sudah mulai muncul jika terdapat potensi besar “century
gate” akan dimodifikasi menjadi sebuah kasus yang sangat politis, bahkan
substansi keadilan untuk rakyat bisa saja hilang dalam pengguliran kasus
tersebut akibat tertawan oleh kepentinfgan politik elit. Untuk kedua
kalinya sebuah kasus di tahun 2009 yang tadinya tidak menarik perhatian,
tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah isu besar, dan orang-orang menjadi tertarik untuk membincangkannya , bahkan orang yang sama sekali tidak
punya hubungan dengan skandal Century, juga tiba-tiba tertarik untuk
membincangkannya ,entah angin apa yang lagi berhembus. Parade jalanan
dalam bentuk mimbar bebas kembali menjadi pemandangan yang lumrah ,
berbagai slogan mulai dari yang paling halus sampai yang paling kasar
turut diteriakkan, demikian pula foto beberapa petinggi Negara mulai dari SBY,
Boediono, hingga Sri Mulyani turut dipertontongkan dalam bentuk yang
sangat jelek.
Semua politisi senayan seakan mengencangkan ikat pinggang
untuk memulai perlombaan mawas diri ,karena merasa rakyat yang selama ini
tertidur lelap telah terbangun, dan selalu siap mengawasi mereka. Hal
ini terindikasi dari berbagai sidang yang diadakan oleh Pansus, yang selalu disiarkan langsung oleh berbagai media elektronik, sampai
terkenal sebuah guyonan “anggota Pansus telah menjadi selebriti baru”.
Kondisi tersebut Juga kerap dijadikan alasan utama oleh para legislator
senayan agar seakan-akan terlihat bahwa kasus tersebut tidak bisa lagi
ditutupi, rakyatlah yang menjadi wasit utamanya. Kondisi yang
sama juga terjadi pada kasus Prita Mulya Sari, seorang pasien rumah
sakit Omny International yang kemudian harus mendekam dibalik jeruji
besi, hanya karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat facebook.
Uniknya, untuk kasus Prita sempat diadakan konser amal sebagai bentuk
penggalangan dana dalam mendukung Prita.
Ketiga macam kasus di atas oleh sebagian pengamat politik dinilai sebagai pertanda munculnya kembali kekuatan rakyat layaknya 1998, ketika gerakan mahasiswa bersama rakyat berhasil melengserkan rezim otoriter Soeharto. Menurut pandangan penulis, ketiga momentum di atas tidak bisa serta merta dianggap sebagai indikator munculnya “people power” sebab ada beberap bagian yang butuh diamati secara lebih seksama. Pertama, dari segi isu, apakah isu yang diusung mampu menyentuh semua kalangan atau hanya sebagian lapis masyarakat kita yang merasa tersentuh dan berkepentingan dengan isu tersebut, kata “berkepentingan” menjadi urgen untuk dicantumkan disini, sebab orang hanya akan bergerak ke ranah tertentu jika ia merasa punya kepentingan disana, namun jika tidak, maka telah dapat ditebak bahwa ia hanya akan bersifat pasif terhadap sebuah isu (baca:masalah) atau paling tidak isu tersebut hanya akan menjadi guyonan politik belaka, yang sering diperbincangkan di warkop atau di kedai layaknya perbincangan sehari-hari yang sifatnya sambil lalu (sekedar untuk mengisi waktu senggang karena perbincangan terkait politik tidak lagi merupakan sebuah hal tabu dalam masyarakat kita). Dari sisi ini, penting kiranya bagi kita untuk merncermati apakah kasus Bibit Chandra dan Century Gate mampu menjadi magnet yang bisa menarik semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama peduli dan melakukan sebuah gerakan perubahan (gerakan ini tidak hars dalam bentuk aksi demonstrasi tetapi bisa dalam bentuk lain). Menurut pembacaan penulis kasus Bibit Chandra dan Century Gate masih terjebak pada tataran kelas menengah hingga elit, maka kemudian yang peduli dan paham dengan isu tersebut hanya mereka yang berasal dari kelas menengah dan elit, sehingga mereka saja yang merasa butuh untuk bertindak terhadap kedua permasalahan di atas. Padahal dalam sistem piramida masyarakat ala Ali Syariati , kelas menengah dan elit adalah strata masyarakat dengan persentase penghuni lebih sedikit dibandingkan dengan kelas terbawah yang dihuni oleh masyarakat grass root, idealnya untuk melakukan sebuah perubahan yang berdampak besar, maka lapisan masyarakat bawah tidak boleh dilupakan dengan menjadikan mereka sebagai pemain cadangan, justru seharusnya mereka menjadi pemain utama dalam mengawali gerak perubahan, sebab tinta sejarah telah mencatat tak satupun perubahan besar yang terjadi di dunia tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat kelas bawah, yang paling terkini adalah kasus tergulingnya presiden Kirgistan akibat tuduhan korupsi berat yang kembali melibatkan peran masyarakat kelas bawah.
Ketiga macam kasus di atas oleh sebagian pengamat politik dinilai sebagai pertanda munculnya kembali kekuatan rakyat layaknya 1998, ketika gerakan mahasiswa bersama rakyat berhasil melengserkan rezim otoriter Soeharto. Menurut pandangan penulis, ketiga momentum di atas tidak bisa serta merta dianggap sebagai indikator munculnya “people power” sebab ada beberap bagian yang butuh diamati secara lebih seksama. Pertama, dari segi isu, apakah isu yang diusung mampu menyentuh semua kalangan atau hanya sebagian lapis masyarakat kita yang merasa tersentuh dan berkepentingan dengan isu tersebut, kata “berkepentingan” menjadi urgen untuk dicantumkan disini, sebab orang hanya akan bergerak ke ranah tertentu jika ia merasa punya kepentingan disana, namun jika tidak, maka telah dapat ditebak bahwa ia hanya akan bersifat pasif terhadap sebuah isu (baca:masalah) atau paling tidak isu tersebut hanya akan menjadi guyonan politik belaka, yang sering diperbincangkan di warkop atau di kedai layaknya perbincangan sehari-hari yang sifatnya sambil lalu (sekedar untuk mengisi waktu senggang karena perbincangan terkait politik tidak lagi merupakan sebuah hal tabu dalam masyarakat kita). Dari sisi ini, penting kiranya bagi kita untuk merncermati apakah kasus Bibit Chandra dan Century Gate mampu menjadi magnet yang bisa menarik semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama peduli dan melakukan sebuah gerakan perubahan (gerakan ini tidak hars dalam bentuk aksi demonstrasi tetapi bisa dalam bentuk lain). Menurut pembacaan penulis kasus Bibit Chandra dan Century Gate masih terjebak pada tataran kelas menengah hingga elit, maka kemudian yang peduli dan paham dengan isu tersebut hanya mereka yang berasal dari kelas menengah dan elit, sehingga mereka saja yang merasa butuh untuk bertindak terhadap kedua permasalahan di atas. Padahal dalam sistem piramida masyarakat ala Ali Syariati , kelas menengah dan elit adalah strata masyarakat dengan persentase penghuni lebih sedikit dibandingkan dengan kelas terbawah yang dihuni oleh masyarakat grass root, idealnya untuk melakukan sebuah perubahan yang berdampak besar, maka lapisan masyarakat bawah tidak boleh dilupakan dengan menjadikan mereka sebagai pemain cadangan, justru seharusnya mereka menjadi pemain utama dalam mengawali gerak perubahan, sebab tinta sejarah telah mencatat tak satupun perubahan besar yang terjadi di dunia tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat kelas bawah, yang paling terkini adalah kasus tergulingnya presiden Kirgistan akibat tuduhan korupsi berat yang kembali melibatkan peran masyarakat kelas bawah.
Kita bisa
mengatakan perubahan akan mendekati kemustahilan jika masyarakat bawah
tidak mengambil ruang partisipatif didalamnya. Revolusi Islam Iran,
revolusi Prancis yang membuka jalan ke arah renaissance, tidak akan
terjadi tanpa melibatkan lapisan masyarakat kelas bawah, bahkan untuk
konteks revcolusi Prancis, gerakan kearah revolusi justru diawali oleh
kelas masyarakat bawah, yang sebagian besar berasal dari buruh
perempuan Prancis yang bekerja di pabrik-pabrik industri. Kedua apaka
isu tersebut bisa bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama hingga
semua prasyarat perubahan tersedia, atau ia tak lebih dari berita biasa
yang berumur pendek, dan akan segera tergantikan oleh isu lain yang
dianggap lebih layak untuk diperbincangkan, dari sudut ini kita
perlu menganalisis beberap penyebab timbul tenggelamnya sebuah isu. Pertama kita perlu mencermati proses permainan isu, sebab dari proses
ini dapat ditarik benang merah kenapa sebuah isu muncul dan
menenggelamkan isu sebelumnya, perlu dipahami jika pemerintah
seringkali berada dibalik skema pengalihan issu. Hal itu dilakukan
terutama ketika isu yang beredar luas di masyarakat dianggap mulai
mengancam eksistensi kekuasaannya. Model pengalihan isu menjadi sangat
rawan ketika sebuah grand issue sudah memasuki ranah politik, maka dengan
segera ia akan dikomodifikasi untuk keperluan politik jangka pendek,
untuk masalah ini kihta bisa berkaca pada kasus Century ( ketika Golkar
mulai mengkompori kasus century dengan turut menjadikan wakil presiden
RI, Boediono dan menteri keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebagai sasaran
target, maka partai Demokrat yang notabenenya partai pendukung utama
pemerintah melempar isu penggelampangan pajak dengan menarget ketua
umum Golkar, Abu Rizal Bakrie sebagai sasaran tembak, jurus ini terbukti
ampuh meredam kasus century). Seharusnya dalam situasi ini media
kemudian mampu untuk fokus kepada sebuah isu yang dianggap bisa
menjadi grand issue menuju perubahan, bukan justru ikut terbawa arus
dengan isu yang dilempar oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting
karena mayoritas tanggapan masyarakat Indonesia kepada sebuah issu, masih
dipengaruhi oleh pembacaan mereka terhadap berita yang berkembang di
media. Berdasarkan indikator kedua di atas, kasus Century dan Cicak VS
Buaya terbukti tidak tahan uji terhadap isu baru yang muncul, walaupun untuk kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad
Rianto kembali booming karena memasuki babak baru akibat diakabulkannya
gugatan pra peradilan Anggodo, namun dapat diprediksi isu tersebut
hanya akan bertahan seumur jagung. Sebuah isu akan
bertindak sebagai lokomotif perubahan jika ia bisa menyapa dan
menggerakkan semua lapisan masyarakat, serta taham uji terhadap isu yang
sengaja ditiupkan untuk meredamnya agar ia mampu memicu bara bagi
munculnya people power.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar