"Jangan
macam-macam sama si anu, dia itu keturunan darah biru, punya tanah
luas, orang tuanya merupakan kepala desa di kampung sini"
Uraian
beberapa kalimat tersebut adalah salah satu bentuk pengekspresian
kekaguman terhadap orang-orang terpandang di desa-desa, bahkan dalam
kondisi-kondisi tertentu bentuk penghormatan itu menerobos
dinding-dinding konsensus positif bersama, sebagai contoh anak karaeng (dalam tradisi Makassar) ketika melakukan prilaku menyimpang maka seringkali tidak ada masyarakat
yang berani menuntutnya, berbeda ketika pelanggarannya dilakukan oleh
orang awam maka seketika itu pula antrian penuntut akan sergera
mencecernya.
Semua kondisi ini tidak terlepas dari hirarki strata
sosial mereka yang masih dijunjung tinggi sebagai salah satu ciri dari
kehidupan feodalistik. Namun penulis merasa lebih senang mengkategorikan
semua fenomena di atas sebagai sebuah fenomena baku yang sudah mulai
terlampaui. Menurut pembacaan saya, di desa telah berkembang kultur
kehidupan baru dan sedikit demi sedikit kultur baru ini mulai menggeser
budaya lama yang telah berurat berakar selama beberapa generasi, akan
tetapi jika diteliti secara radikal perubahan tersebut tidak terjadi
secara sim sala bim, melainkan terjadi secara perlahan dan memakan waktu
cukup lama, selain itu variasi-variasi kultur tidak tersubtitusi secara
bersamaan, namun berganti satu per satu bahkan proses tersebut masih
terjadi hingga sekarang. Jenis pergantiannya dapat diklasifikasikan
kedalam dua bentuk, yaitu berganti secara parsial dan berganti secara
imparsial. Jenis budaya yang keseluruhan sisinya tidak berganti kemudian
digelari budaya belang-belang atau pop culture ( percampuran antara
budaya asli dan budaya luar namun kehilangan substansi aslinya).
Dalam
analisis cultural studies, fenomena seperti ini terjadi sebab teknik
pencangkokan budaya yanga dilakukan adalah teknik hibridasi, suatu
model pencangkokan budaya yang hanya mengadopsi normanya saja sementara
substansi dari budaya tersebut diabaikan, padahal norma budaya selalu
dibatasi oleh ruang dan waktu tempat ia hidup, kondisi lingkungan
suatu masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk norma dari
masyarakat bersangkutan. Patut diingat pula bahwa kondisi lingkungan
antara masyarakat satu dan masyarakat lain berbeda-beda, sehingga sangat
wajar jika norma budaya bervariasi walaupun pada hakikatnya substansi
tetap sama.
Sebagaimana pemaparan awal tadi, bahwa pada awalnya
orang yang dianggap terpandang adalah apabila ia keturunan darah biru,
punya tanah luas, dan salah satu kerabatnya adalah pejabat kampung
(RT,RW, atau kepala desa) namun untuk konteks kekinian, orang yang
dianggap terpandang bukan lagi menurut kriteria di atas, akan tetapi lebih
didasarkan pada pencitraan langsung dihadapan mata seseorang. Sebagai contoh sederhana, kaum muda/mudi akan mempersepsi sesamanya sebagai
orang hebat atau kaya ketika ia memakai pakaian yang dianggap gaul lagi
trend, mereka tidak lagi peduli apakah ortunya raja tanah, apakah dia
keturunan darah biru.
Sama halnya ketika ada orang yang
mengendarai motor keluaran terbaru, atau mengemudikan mobil dengan plat
warna hitam, maka dengan sekonyong-konyong orang akan menganggap ia
sebagai individu yang strata sosialnya berada di tingkat atas, padahal
boleh jadi mulai dari pakaian, motor, dan mobil tadi hanya merupakan
pinjaman dari orang lain bukan milik pribadinya, serta mungkin saja ia
hanya orang biasa, bahkan terlalu biasa, alias miskin, namun ia piawai
dalam mencitrakan diri maka saat itu jadilah ia OKB, di sisi lain gaya
baru ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kontak mata seseorang
dengan beragam tampilan yang ia sakasikan dengan mata telanjang di dunia
maya dan elektronik khususnya TV, sebab tidak dapat dipungkiri jadwal acara hiburan
yang semakin padat pada setiap stasiun TV, memberikan kesan tertentu
kapada pemirsanya. Realitas tersebut semakin diperparah dengan mutu
hiburan yang sangat jauh dibawah standar, cenderung memitoskan budaya
pop, dan meminggirksan budaya lokal. Dalam analisis althusserian (mengacu pada pemikiran Lois Althusser), fakta
semacam itu telah berhasil mengkonstruk kesadaran baru yang kemudian
oleh pemujanya dipersepsi sebagai sebuah ideologi dalam memandang fakta
keduniaan, sehingga implikasi negatifnya adalah terbentuknya beragam
ideologi kecil sebagai sub ideologi mapan yang sangat materialistik
karena dipenuhi dengan bumbu-bumbu hedonisme.
Ideologi kecil dalam
perspektif althusserian lalu menjelma dan membahasakan diri di ruang
publik masyarakat desa, dalam bentuk prilaku yang terkesan individual
serta selalu mengharap imbalan dalam melakukan sebuah tindakan, sebagai
contoh jika dulu orang hanya memakai asas saling membantu tanpa ada
motif balasan materi dalam melakukan panen padi, maka sekarang orang
sudah enggan untuk melakukan hal serupa kecuali dengan imbalan materi, karena menganggap membantu tanpa ada balas jasa tak lebih dari sebuah
pekerjaan sia-sia dan memborosan waktu belaka.
Dalam konteks
seperti ini maka hampir dapat dipastikan bila budaya gotong royong akan
segera menemui ajal kematiannya, lalu generasi masyarakat desa yang
datang belakangan hanya bisa bertutur tentang indahnya budaya gotong
royong yang dahulu kala pernah menjadi tren pergaulan di lingkungannya, sementara dirinya sendiri sama sekali tidak merasa terusik ketika
berprilaku individual, maka jadilah gotong royong sebagai romantisme
sejarah belaka. Jika diamati dengan pisau analisis yang lebih tajam, mak satu lagi fakta akan terungkap, bahwa tumbuh suburnya image
game (permainan citra) di kampung, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
globalisasi dan lahirnya global village ,dalam kajian sosiologi
kontemporer, masyarakat modern sering disebut sebagai masyarakat kode
(mayarakat tanda) hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan kuat
dalam komunitasnya untuk selalu melakukan usaha pencitraan diri demi
mendapatkan sebuah cap stempel kekayaan, keterkenalan dan cap stempel
hedonisme lainnya.
Bagi masyarakat modern yang terperangkap dalam kanal globalisasi, mencitrakan diri dalam realitas kehidupan
tidak hanya wajib dipraktekkan dalam salah satu lini kehidupan, akan
tetapi ia harus kita terapkan dalam segala aspek kehidupan, maka
terbentuklah sebuah tatanan masyarakat yang bagi penulis sendiri lebih
tepat digelari sebgai "masyarakat fatamorgana" yang senantiasa berusaha
menonjolkan ke-aku-annya, padahal apa yang berusaha untuk ditonjolkan
tak lebih dari fakta-fakta palsu yang dipaksakan seolah asli.
Gempuran
arus globalisasi yang begitu dahsyat, bahkan sampai menerobos
ruang-ruang terdalam dari kehidupan manusia, tak pelak lagi turut memicu
percepatan metamorfosis gaya hidup, termasuk gaya hidup di kampung,
kondisi percepatan ini semakain dikompori dengan ketidakpahaman mereka
dalam mempersepsi globalisasi secara utuh, dimana hal itu setali tiga
uang dengan tingkat pendidikan masyarakat pedesaan yang masih tergolong
rendah, sehingga efek negatifnya adalah ketidakmampuan mereka dalam
memainkan nalar kritis guna menelanjangi sisi-sisi bejat globalisasi.
Sebab bagi masyarakat pedesaan, globalisasi tak ubahnya dewa penyelamat
yang mampu menaikkan strata sosial mereka, sehingga setiap orang harus
mengikut kepada fatwa kaum globalis, kalau tidak, maka siap-siap saja
menyandang gelar otoda (orang tempo doloe) selain itu kita juga tidak
bisa berharap banyak pada generasi tunas bangsa di kampung, hampir
setiap hari sekolah, otak mereka selalu dicekoki dengan diktum-diktum
keagungan globalisasi oleh para guru, namun situasi semacam ini
sebenarnya tidak hanya tervisualisasikan dikampung, tetapi juga
tergambar jelas di kota-kota, bahkan prakteknya terkadang lebih massif.
Dalam
kondisi tragis ini, nilai-nilai kearifan local (local wisdom) tidak
lagi berfungsi secara efektif sebagai filter penyaring guna mencegah
terjadinya degradasi moral, karena bagaimanapun juga, merupakan sebuah
keharusan untuk mengakui secara objektif, bahwa perubahan kultur yang terjadi pada masyarakat pedesaan, juga turut berimplikasi
kepada penurunan kualitas moral masyarakatnya ,dan hal sangat
memprihatinkan bagi penulis adalah, adanya kecenderungan tertentu pada
diri anak muda desa untuk mencap teman-temannya yang masih setia
mempertahankan nilai-nilai local wisdom, dengan label anak muda kampungan
atau tidak modern, padahal di tempat kelahirannya sendiri, era modern
telah mulai ditinggalkan oleh penggemar fanatiknya. Mereka sudah mulai
bergerak kepada suatu tahap kehidupan baru yakni era post-moderenitas, sekalaipun istilah post-moderen masih dalam kerangka tarik ulur antara
pembela dan penentang gigihnya, akan tetapi penulis menganggap pembahasan
mendetail terkai post-moderen tidak pas disisipkan dihadapan pembaca
sekarang.
Pada tahap tertentu, sajian realitas pencitraan diri
yang lagi trend di kampung-kampung, tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari fenomena lapis elit pemerintahan yang juga senang melakukan
tindakan sama demi menutupi kebobrokannya. Padahal dalam
pandangan masyarakat desa, lapis elit pemerintahan masih dianggap
sebagai panutan yang mesti dicontoh, termasuk panutan dalam hal
kesalahan, karena pada hakikatnya masyarakat desa bukanlah komunitas
yang 100% buta politik, namun dalam hal-hal tertentu sebagai akibat dari
keterbukaan informasi yang semakin meluas, maka dengan sendirinya
masyarakat juga mengetahui kebobrokan-kebobrokan tertentu dari elit
pemerintahan, yang berusaha mati-matian ditutupi lewat jalur pencitraan
diri, sehingga elit pemerintahan kita hanya mampu bertindak sebagai
panutan dalam hal kesalahan, yang kemudian melahirkan kemiskinan karakter
dalam kultur masyarakat kita.
Rasanya tidak bijaksana ketika
seorang intelegensia hanya mampu memaparkan masalah kepada khayalak
ramai, tanpa bisa memberikan problem solving guna keluar dari lingkaran
kesesatan, begitupun dengan artikel dihadapan pembaca, ketika ia tidak
bisa memberikan tawaran solusi maka penulis jugalah yang harus
bertanggungjawab di kemudian hari (tapi perlu diingat bahwa penulis
hanyalah budak tuhan, bukan nabi maksum).
Menurut hemat saya,
inilah saat tepat bagi generasi muda desa yang belajar di kota, dan memang
merasa tercerahkan, untuk melakukan social enggeneering di kampungnya
masing-masing, golongan ini memilki pisau analisis yang tajam
sehingga bisa menganalisa secara cermat perubahan kondisi di kampung, apalagi dengan melihat tingkat persentase organisasi ekstra kampus yang
notabenenya berbasis pencerahan, dimana tingkat persentase anggotanaya
kebanyakan berasal dari daerah, penulis sama sekali tidak punya niat
untuk mengabaikan peran organisasi intra kampus dalam memproduksi
insan-insan tercerahkan, namun sebagaimana telah menjadi rahasia umum, organisasi intra kampus seringkali dijadikan ladang pertarungan
untuk mencari keuntungan pragmatis dan kekuasaan belaka.
Perekayasaan
sosial di desa yang nantinya harus dimotori oleh kaum muda terdidik, bisa diawali dengan pembuatan simpul kekuatan diantara sesama kaum muda
dengan terlebih dahulu melakukan silaturrahim gagasan diantra kaum muda
sendiri, karena sebagaimana jamak dipahami bahwa kaum muda yang pernah
menelan asam garam dunia ekstra kampus, memilki platform pemikiran
tersendiri yang berbeda satu sama lain, dari segi sisi positif perbedaaa
gagasan seharusnya tidak dianggap sebagai batu sandungan, akan tetapi ia
seharusnya dilihat sebagai kekayaan khazanah gagasan yang sangat
potensial untuk dipraktikkan pada tataran riil.
Silaturrahim
gagasan juga bukan dimaksudkan untuk meyeragamkan pandangan sampai pada
tahap paling detail, namun paling tidak dari proses ini, simpul kekuatan
kaum muda mampu mencapai kemiripan pandangan pada tataran nilai dan
tindakan universal. Langkah selanjutnya yang mesti diperhatikan yakni
kemampuan kita untuk merangkul masyarakat setempat, guna bersama-sama
berjuang ke arah perubahan, khusussnya kelompok pemuda desa, langkah ini
tidak bermaksud untuk menspesialkan kelompok tertentu dari kelompok lain, tetapi hal terpenting yang wajib dipahami bersama adalah setiap
perubahan selalu membutuhkan semangat dan emosi, dan setiap perubahan
juga membutuhkan pengawalan untuk menjaga agar perubahan yang telah
terjadi nantinya, tidak kembali mengalami kemunduran, lalu akhirnya
terperosok kedalam kubangan kejumudan, namun tetap harus ditekankan bahwa, upaya merangkul segenap lapisan masyrakat baik tua maupun
muda, marupakan bentuk keharusan yang mesti dilakukan, karena mereka semua
memiliki fungsi dalam instrumen perubahan, jangan sampai kalangan
pemuda desa yang pernah mengenyam pendidikan di universitas, kembali
terjebak pada ruang eksklusifisme gerakan, dengan menjadikan komunitas
mereka sebagai menara gading perubahan yang tidak pernah bersentuhan
dengan masyarakat. Untuk melakukan sebuah perubahan
maka stake holder yang dibutuhkan, bukan hanya mahasiswa, melainkan semua
golongan masyarakat, adapun kaum muda tercerahkan berfungsi untuk
menyemai benih perubahan dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat, agar mereka mampu memahami realitas yang sesungguhnya lalu keluar dari
kebungkaman yang selama ini mendikte mereka.
Akan tetapi, dalam
perspektif penulis, ada satu problem pengganjal yang seakan telah
terprakondisikan sehingga proyek pencerahan di kampung yang seyogyanya
di motori oleh kaum muda yang kuliah didaerah perkotaan, belum berjalan
secara maksimal hingga sekarang, problem itu adalah kecenderungan bagi
sebagian tunas harapan daerah untuk menetap di kota sehabis
menyelesaikan studi, bukannya pulang ke daerahnya guna melakukan rekayasa
sosial, tinggal dan menetap sesuai maksud penulis adalah mereka yang
menetap di kota dan tidak memperhatikan lagi kondisi kampungnya, lain
halnya dengan mereka yang menetap di kota namun tetap memperhatikan
kondisi daerahnya yang jauh, serta tetap melakukan usaha konkrit guna
merekayasa kondisi daerah menuju masyarakat mutamaddin.
Asumsi ini
selain dipengaruhi oleh faktor prestise, sebagaimana masyarakat desa
sering menganggap jika orang yang tinggal di kota lebih tinggi prestasi
sosialnya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa, juga
dipengaruhi oleh pandangan bahwa perubahan selamanya berasal dari atas
ke bawah, kota digambarkan sebagai simbol atas sementara desa
dilukiskan sebagai simbol bawah, mereka jarang berpikir bahwa potensi
masyarat bawah sangat tepat untuk dijadikan sebagai starting point dalam
mengawali sebuah perubahan.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar