Pergeseran
waktu secara ekstrim telah melahirkan dinamika sosial yang sangat
kompleks, seringkali dinamika sosial beriringan dengan gejolak sosial
dalam suhu panas. Sepanjang sejarah pergolakan manusia dengan habitus,
lahir berbagai macam respon manusia dalam menyikapi fenomena sosial
hidupnya. Rusia telah mengeksperimenkan revolusi bolshevik sebagai
bentuk respon massif terhadap kekaisaran Tzar yang sibuk mensejahterakan
lingkaran kaisar dan memperlebar jarak dari rakyat, karena kecongkakan
raja Lois maka rakyat Prancis berbondong – bondong menyerbu penjara
bastille dan istana raja lalu mengakhiri kekuasaan raja di tiang
pancung, Soeharto yang terlena kekuasaan sehingga menjalankan prinsip
otoritarianisme akhirnya harus merelakan kekuasaannya dijungkalkan oleh
gerakan mahasiswa bersama rakyat. Serangkaian respon tersebut muncul
sebagai reaksi penyelenggara pemerintahan yang sudah enggan mendengar
dan memperhatikan suara perih rakyatnya.
Dalam kerangka ideal,
rentetan kejadian besar yang menampilkan diri di panggung realitas
publik dan berhasil mengotak–atik kemapanan struktur hingga
menjungkalkan para penguasa tiran, seharusnya mampu menjadi pelajaran
tersendiri bagi penyelenggara pemerintahan dalam mengemban amanah
rakyat, namun nafsu kekuasaan pada level tertentu mampu mendikte
aparatus negara sehingga alih–alih menyimak keluh kesah masyarakatnya, mereka justru sibuk menyusun taktik baru demi memapankan kekuasaan,
aparatus negara kemudian menciptakan beragam mitos pengabdian terhadap
negara dalam konsep desain yang telah mereka rancang menurut
kepentingannya, media kritis dibredel (atau paling tidak melemahkan
media tersebut lalu membangun raksasa media yang selalu siap menyanjung pemerintah), setiap kritik dari rakyat senantiasa
diasosiasikan dengan tindakan subversif yang mengancam kestabilan negara, sebab kunci utama dalam memapankan kekuasaan adalah lewat penumbuhan
mitos kesakralan terhadap penguasa, akibatnya penyelenggara negara yang
berubah menjadi penyelenggara kekuasaan dipersepsi seakan-akan sebagai
manusia suci yang tidak layak tersentuh oleh kritik apapun. Pada titik
ini, negara dibawah kendali penguasa terlihat sukses menjaga stabilitas
kekuasaan, kalaupun ada riak–riak maka itu hanya terjadi dalam lingkup
yang kecil dan tidak bertahan lama, aparatus negara selalu
bersikap sigap untuk meredam setiap protes secara lembut atau keras.
Dengan dalih untuk memapankan kekuasaan, maka kelompok lingkaran sistem
tidak segan memperlihatkan penanganan yang brutal, kejam, dan
sadis dalam membereskan apa yang mereka sebut sebagai pembangkang,
tujuannya tak lain adalah untuk memberikan efek jera kepada masyarakat
lain agar tidak melakukan tindakan perlawanan terhadap rezim. Sepertinya
diktator penguasa memang tidak pernah berguru kepada pendahulu–pendahulu para diktator, yang dengan segala cara berusaha mati–matian
mempertahankan singgasana kekuasaannya, namun akhirnya runtuh juga oleh
gelombang kemarahan rakyat, sehingga mereka masih berkeyakinan bahwa
tindakan represif merupakan cara paling ampuh untuk melibas setiap
kritik, padahal tanpa mereka sadari ( atau berusaha untuk tidak
menyadarinya) perlakuan represif bukannya efektif membungkam protes, justru tindakan tersebut hanya akan melahirkan akumulasi kekecewaan,
kejengkelan, kebencian dan kemarahan yang setiap waktu semakin
menggumpal hingga mencapai stadium tertentu dimana ia tidak lagi mampu
dihentikan dengan model tekanan apapun, termasuk tekanan senjata, sebab
dalam situasi ini bukan lagi senjata yang menodong kemarahan, akan tetapi
kemarahan itulah yang berbalik menodong dan menundukkan senjata, lalu
mengarahkan kepada sang diktator agar ia lengser dari kekuasaannya.
Dinamika
politik timur tengah yang akhir–akhir ini kian memanas merupakan
pertanda paling up to date jika penyelenggara pemerintahan, yang kemudian
menjelma menjadi penyelenggara kekuasaan, tidak pernah mampu
mempermanenkan jejaring kekuasaannya dengan cara apapun juga.
Terjungkalnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir dan
tergulingnya presiden Tunisia lewat perlawanan revolusi yang dilancarkan
rakyat kedua negara, seakan menyentakkan kesadaran kita dari tidur
panjang yang selama ini kita lalui, bahwa revolusi bukan sekedar kata
utopis yang hanya bisa eksis di alam mimpi, namun ia juga bisa
merealitaskan diri dalam dunia masyarakat post industrial (jika pembaca
sepakat menggunakan terma ini), bahkan revolusi Tunisia dan Mesir
ternyata mampu menebarkan virus ke negara Timur Tengah, Afrika sampai
Asia, sehingga Bahrain, Yaman, Libya, Vietnam Juga turut bergejolak, walaupun untuk Vietnam masih dalam skala yang sangat kecil serta belum
terlalu terekspresikan oleh media, namun yang penting untuk dicatat
adalah, gejolak yang terjadi di negara–negara tersebut tidak terlepas
dari keberhasilan revolusi Tunisia dan Mesir. Dalam sudut pandang lain, kita tetap perlu kritis dalam mengkonsumsi pemberitaan media yang
cenderung bias, karena berita yang mereka publikasikan ke audiens, merupakan
info jiplakan dari media lain yang memiliki tendensi pilitik kuat
terhadap barat, semisal berita tentang kondisi Bahrain yang
disalahtafsirkan sebagai ketidaksukaan komunitas sunni terhadap syiah, padahal dalam kondisi yang sebenarnya, aksi demonstrasi besar–besaran
tersebut dilatarbelakangi oleh kebencian rakyat terhadap penguasa
Bahrain, bukan tendensi mazhab sebagaimana yang selama ini decekoki
ke dalam pikiran kita.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar