Mesjid mendadak penuh. Jamaah salat subuh yang biasanya hanya bisa dihitung
jari dan kebanyakan dari mereka hanya orangtua, kini tiba-tiba
membeludak. Terlebih lagi jamaah salat isyanya. Bahkan mesjid ukuran
kecil terkadang tidak mampu menampung jamaah sehingga sebagian dari
mereka terpaksa harus salat di luar masjid.
Apakah gerangan
yang terjadi? Tentunya bukan karena pengaruh 17 Agustus. Namun seperti
tahun sebelumnya hal ini lebih disebabkan oleh pengaruh Ramadhan yang
begitu dahsyat, umat Islam seakan terhanyut ke dalam arus kegembiraan
menyambut Ramadhan.
Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orangtua turut menikmati rasa eufhoria tersendiri. Bahkan eufhoria
tersebut juga memasuki ranah komersil, hampir semua tempat perbelanjaan
mulai dari toko pakaian, makanan sampai warnet sekalipun memberikan
penawaran khusus kepada pelanggannya selama bulan Ramadhan.
Melihat fenomena ini, kita seolah bisa menarik kesimpulan dini bahwa
seusai Ramadhan akan terjadi perubahan besar dalam diri umat, benarkah
begitu? Jawabannya tergantung persepsi kita berdasarkan sajian realitas
yang selama ini terhampar di hadapan umat.
Secara ideal, Ramadhan
memang seharusnya disambut dengan penuh sukacita karena ia adalah momen
yang bisa melahirkan pribadi manusia rabbani sehingga untuk sampai pada
cita ideal Ramadhan, maka ada beberapa benang kusut yang mesti diurai
kembali. Ini agar pemahaman dan tingkah laku umat tidak bablas dalam
mendeskripsikan Ramadhan.
Apakah yang seharusnya dimaksud dengan
bergembira menyambut bulan Ramadhan? Apakah kegembiraan tersebut bisa
diukur dengan membeludaknya jumlah jamaah atau penawaran spesial yang
diberikan oleh beberapa tempat perbelanjaan? Secara sepintas mungkin
jawabannya “iya”, akan tetapi jika kita memandang dari kacamata esensi
Ramadhan, maka jawaban paling bijak adalah ‘tidak’.
Kenapa harus
“tidak”? berdasarkan kerangka tauhid, ekspresi gembira dalam menyambut
kedatangan Ramadhan tidak bisa diukur melalui ekspresi seperti yang
dicontohkan di atas. Sebab ekspresi semacam itu lebih cenderung
mengedepankan penampakan material. Padahal bulan Ramadhan merupakan
salah satu momen yang berfungsi meminimalisir penampakan material
tersebut dan lebih mengedepankan nilai – nilai batiniah yang tetap
memiliki relevansi dengan kesalehan sosial.
Bergembira dalam
menyambut Ramadhan lebih tepat dipahami sebagai perasaan sukacita yang
dialami oleh seorang hamba karena merasa dirinya akan memasuki sebuah
periode waktu dan ruang dengan nilai plus tersendiri yang cocok
dijadikan sebagai ajang refleksi sebagai bekal untuk menjalani hidup
pada kurun waktu sesudahnya.
Esensi Ramadhan
Dalam Al
Qur’an sendiri esensi perintah Ramadhan dapat diklasifikasikan ke dalam
dua bagian. Pertama yang berkaitan dengan wilayah kemanusiaan yakni
kesalehan sosial dan yang ke dua bertalian erat dengan aspek metafisik
yakni hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu salah satu
prasyarat bagi pengikut Muhammad yang ingin menjalankan ibadah puasa
secara holistik adalah dengan memperhatikan secara seksama kedua aspek
tadi.
Melalaikan salah satunya hanya akan menjadikan kita
menjalankan ibadah puasa tanpa ruh ramadhan atau dalam bahasa penulis
“puasa sepotong – sepotong”. Salah satu contoh yang sering ditarik
sebagai interpretasi makna puasa adalah agar pelaku puasa mampu
merasakan kondisi kelaparan yang dialami oleh kaum fakir miskin.
Pertanyaannya adalah mengapa harus rasa lapar si miskin yang dijadikan
pelajaran bagi pelaku puasa.
Kenapa bukan jenis penderitaan yang
lain? Bukankah penderitaan yang dialami kaum fakir miskin bukan hanya
rasa lapar yang didorong oleh ketidakmampuan mereka dalam memenuhi
kebutuhan hidup akan tetapi bisa juga mewujud ke dalam ketidakmampuan
mereka dalam mendapatkan tempat tinggal yang layak atau biaya kesehatan
yang terlampau mahal, sehingga mereka tidak mampu mengakses kesehatan
yang layak sebab ruang pengobatan telah tertutup rapat bagi mereka.
Dalam
pembacaan penulis, “kelaparan’ merupakan gejala paling akut dari
fenomena kemiskinan. Ia merupakan pertanda bahwa seseorang yang sudah
tidak mampu lagi mengais makanan untuk hidupnya telah berada dalam
kondisi ‘miskin” yang sebenarnya.
Sebab secara material makanan
merupakan kebutuhan paling pokok yang harus ditunaikan oleh setiap
individu. Dalam ungkapan lain kita bisa berujar “makan merupakan
penyangga terakhir yang memisahkan manusia dari kematian.” tidak dapat
dipungkiri bahwa ketidakmampuan untuk mengakses kesehatan atau berada
dalam suasana tuna wisma juga merupakan indikator kemiskinan. Akan
tetapi sekalipun keduanya tidak terpenuhi namun individu bersangkutan
masih memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup.
Relevansi
puasa dan kesalehan sosial seharusnya mampu menyadarkan kita akan makna
sakral di balik puasa sehingga seorang Muslim tidak lagi menjalankan
puasa sebatas ritual belaka. Karena jika ia hanya dimaknai sebagai
sebuah ritual belaka, maka niscaya manusia akan mengalami kegersangan
batin dalam menjalankan ibadah puasa.
Keasyikan Intelektual
Kemampuan
untuk mengaplikasikan esensi puasa yang terkait dengan sisi kemanusiaan
tidak boleh hanya berhenti pada sebatas “tahu,” melainkan ia harus
mencapai tingkatan “paham” dan berlanjut pada tingkatan “perenungan”.
Jika seorang pelaku puasa ramadhan hanya sampai pada tingkatan “tahu”
dan gagal mencapai bukit “paham” apalagi perenungan, maka akan sangat
dikhawatirkan pengetahuan yang dimilikinya hanya sebatas menjadi
keasyikan intelektual belaka.
Hal itu disebabkan adanya motif
tertentu yang ingin dicapai semisal ingin dikatakan sebagai orang yang
paham agama layaknya seorang politikus yang paham bahwa korupsi itu
merupakan tindakan krimanal ekstrim dan karena kepandaiannya dalam
menjelaskan perkara korupsi sehingga ia sering mendapatkan undangan
wawancara dari beberapa stasiun TV.
Namun anehnya karena beberapa
bulan kemudian ia justru mendekam di balik jeruji besi karena terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi. Ia ibarat memakan
sendiri jeruk yang pernah sangat tidak disukainya.
Pada hakikatnya
esensi puasa dari perspektif kemanusiaan tidak hanya terbatas untuk
merasakan penderitaan kaum fakir miskin, akan tetapi lebih dari itu ia
juga berfungsi untuk melatih mental manusia dalam berjuang pada saat
sulit. Ini sebagaimana diketahui bahwa seluruh ruang kehidupan manusia
merupakan arena perjuangan, dan perjuangan sebagai bagian dari jihad
tidak selamanya dilakoni dalam kondisi mudah. Justru dalam kondisi
tertentu ia mesti dilalui dalam suasana sulit.
Dalam kondisi semacam
ini, maka mental memiliki andil besar dalam menentukan akhir dari sebuah
perjuangan. Tidak jarang kita melihat orang yang menyerah di tengah
perjuangan atau lebih parah lagi mereka yang sudah terlebih dahulu ciut
sebelum berjuang disebabkan mental mereka yang sangat rapuh. Dalam
rangka menguatkan mental tersebut, puasa kemudian dijadikan sebagai
salah satu ajang untuk menguatkan mental, tentunya mental jihad tersebut
akan lahir dari pribadi yang memang menjalankan puasa sebagaimana puasa
harus dijalankan.
Ruang Spritual
Jika ditilik dari segi esensi
puasa lewat hubungan antara seorang hamba dan khaliknya, maka mesti
diakui bahwa ruang tersebut sangat bersifat personal, ia bersifat
personal karena lebih terkait dengan wilayah spiritualitas manusia
dibandingkan area religiusitasnya. Olehnya itu sangat sukar bagi kita
untuk membedah dan membuat standar khusus dalam ruang spiritualitas
tersebut.
Sebab sifatnya yang sangat personal, maka yang paling
paham tentang apa yang harus ia lakukan dan apa yang telah ia capai
dalam hubungan antara dirinya dan Tuhannya adalah si hamba sendiri,.
Adapun yang lain hanya bisa mengira – ngira saja. Ruang spiritualitas
seseorang merupakan benang kusut yang sangat sukar diurai.
Ini
karena ia lebih terkait dengan pemahaman dan mazhab berpikir seseorang
tentang ajaran Islam ideal di matanya sehingga bila kita ingin membuat
standar ideal terkait spiritualitas bahwa spiritualitas yang ideal
adalah harus “begini begitu”, maka akan sangat dimungkinkan standar
pemahaman keislaman kitalah yang secara tidak sadar kita coba paksakan
kepada orang lain.
Dalam hal ini kita tidak bisa lebih
menitikberatkan penilaian kepada aspek jasmani dari sebuah ibadah tetapi
penilaian kita mesti bisa sampai pada “nilai” yang berada dibalik
bangunan material ibadah tersebut.
Upaya reorientasi pemahaman makna
Ramadhan sudah sepatutnya menjadi sebuah hal urgen. Pelaku puasa tidak
hanya dituntut untuk menghadirkan Ramadhan dalam sebulan saja. Namun
mereka dituntut agar mampu menghadirkan Ramadhan dalam setiap bulan.
Caranya, norma materil dari sebuah ibadah tidak lagi menjadi hal
prinsipil.
Akan tetapi transformasi nilai ibadah ke dalam kehidupan
yang menjadi prioritas nomor wahid, maka di luar Ramadhan orang tetap
peduli pada si miskin sebagai manifestasi zakat yang dikeluarkan di
akhir ramadhan, panca indera tetap dipuasakan di luar Ramadhan sebagai
perpanjangan tangan dari shaum. Makna baru tidak lagi dipusatkan pada
pembelian pakaian baru karena hal itu berarti hanya membarukan jasmani
sementara rohani tetap dibiarkan menua dan kusam namun lebih jauh justru
hati dan akal lebih urgen untuk mendapatkan sentuhan kebaruan.
Seharusnya
kita tidak perlu bergembira jika selama ini puasa kita tidak mampu
bertindak sebagai mesin perubah. Sebab pada dasarnya kita tetap belum
mampu melakukan rekonstruksi paradigma puasa, yang terjadi justru
sebaliknya, kita asyik melanjutkan tatanan norma lama yang secara
inheren dibangun dan terus dilanggengkan sehingga manusia terperangkap
pada cara pandang dan tindakan bengkok. Hasilnya adalah kondisi umat
antara sebelum dan sesudah Ramadhan bagai pinang dibelah dua (tidak
muncul perubahan).
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar