Bahasa merupakan salah satu unsur
fundamental dalam kehidupan manusia, ia merupakan medium dalam menyampaikan
gagasan,ide, maksud kepada individu lain saat proses komunikasi berlangsung.
Patut diakui bahasa tidak mungkin dihilangkan dari kehidupan manusia sebab pada
dasarnya manusia adalah makhluk yang berbahasa, bahasa dalam konteks ini bukan
hanya bersifat verbal namun juga bersifat non verbal. Jika dielaborasi lebih
jauh maka persentuhan manusia dengan makhluk selain dirinya juga menggunakan
bahasa sebagai medianya semisal dengan hewan dan tumbuhan, lebih dari itu,
interaksi manusia dengan alam ghaib juga menggunakan bahasa sebagai perantara
maksud walaupun bagian terakhir ini cenderung sukar diterima dalam ranah
akademik.
Sebagai sebuah media penyampai
maksud maka, bahasa pada dasarnya bersifat normal tetapi kenormalan bahasa akan
hilang tatkala subjek menggunakannya, ketidaknormalan (abnormalitas) bahasa
tidak harus selalu dimaknai dalam konteks negatif, ia juga bisa positif,
abnormalitas yang melanda bahasa sangat dipengaruhi oleh interest (kepentingan) yang melatarbelakangi pengguna bahasa, pada
tataran ini retorika penting diketengahkan, retorika sebagai seni dalam
berbahasa merupakan aspek yang memoles bahasa sehingga bahasa cenderung
menarik, jika bahasa menarik maka publik akan lebih tertarik untuk menerima
poin yang terkandung dalam sebuah ungkapan bahasa, setali dengan bahasa,
retorika juga tidak harus selalu dipersepsi dalam kerangka negatif karena ia
juga bisa bermakna positif, maksud baik yang disampaikan secara datar terkadang
tidak bisa meyakinkan seseorang.
Pada level tertentu relasi antara
retorika dan bahasa sering berwajah negatif, hal ini terjadi saat retorika
digunakan untuk memoles bahasa demi mengabsahkan klaim tertentu yang sebenarnya
tidak tepat, disini akan lahir ilusi kenyataan, memoles bahasa lewat retorika
juga terkadang ditempuh dengan metode substitusi (penggantian) terhadap kata
atau istilah tertentu dalam sebuah bahasa, hal ini dilakukan demi mengibuli
publik dari fakta sesungguhnya, contoh sederhana kata “penggusuran” diganti
menjadi “penertiban” dengan motif agar semua orang mengaminkan tindakan keliru
tersebut, dalam kasus kriminal kita melihat kehebatan para pelaku korupsi dalam
memberikan sentuhan retoris terhadap bahasa yang ia gunakan saat terlibat dalam
transaksi hitam, misalnya jenis standar suap menggunakan istilah “apel malang”
untuk mengenali jumlah suap yang dimaksudkan, hal ini mereka lakukan demi
mengelabuhi lembaga pengawas korupsi.
Pusaran kekuasaan juga tidak luput
dari permainan bahasa dengan retorika sebagai make up pilihan, telah sering
kita mendengar lewat media cetak dan elektronik dimana pemerintah mengumumkan
klaim peningkatan kesejahteraan yang dicapai dalam periode pemerintahannya,
secara dasariah ini pun merupakan permainan retorika demi membangun citra
sebagai pemimpin sukses, pernyataan tersebut layak dkritisi lebih jauh sebab
klaim kesejahteraan hanya menggunakan standar ekonomi makro yang hanya bisa
dirasakan secara riil oleh kelompok masyarakat elit negeri ini sehingga
sebenarnya yang sejahtera hanya segelintir masyarakat elit sedangkan masyarakat
lapis bawah yang jumlahnya jauh lebih besar tetap hidup”begitu begitu saja” .
Relasi individu awam dalam kehidupan
sehari – hari juga tak luput dari permainan retorika, retorika dalam konteks
masyarakat awam seringkali digunakan untuk mengaburkan kebohongan tertentu,
tidak usah terlalu jauh mengambil contoh, seorang mahasiswa saat berkomunikasi dengan
orang tuannya terkadang memoles bahasa demi mendapatkan dana tambahan yang
bentuk riil kegiatannya tidak ada atau sekadar menghindari pertanyaan tertentu
saat pertanyaan tersebut menyudutkannya, kalau ingin lebih terbuka maka dalam
titik tertentu masyarakat dengan tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah
lebih terjaga dari penyalahgunaan retorika wlaupun hal itu masih bisa
diperdebatkan.
Secara substansi retorika sebagai
seni kebahasaan tidak harus dianggap sebagai biang keladi dalam mengaburkan
fakta yang diungkapkan lewat bahasa, retorikapun mampu memberi andil positif dalam
menyampaikan pesan kebenaran, yang dibutuhkan adalah kesadaran si subjek dalam
mengelolah retorika secara proporsional, retorika tidak bisa dihilangkan dari
dunia kebahasaan, retorikalah yang menjadikan bahasa muncul dalam beragam wajah
sehingga manusia sebagai pengguna bahasa mampu menuangkan potensi seninya dalam
bahasa.
Zaenal
Abidin Riam
Penggerak
Komunitas Pena Literasi/Kader HMI MPO UIN Alauddin
Posting Komentar