Belakangan ini dunia pemikiran Islam
memang tidak terdengar hiruk – pikuk, saling debat pemikiran terdengar senyap,
beberapa pemikir seolah berjalan di lorongnya masing – masing, mereka
menghindari konfrontasi pemikiran antara satu sama lain sehingga tidak heran
bila ruang pemikiran Islam menjadi kurang dinamis. Jika kita merefleksi ke
belakang maka, ruang pemikiran Islam pernah mengalami dinamisasi yang menarik,
berbagai pemikir datang silih berganti dengan pikirannya masing – masing,
walaupun perdebatan di antara pemikir Islam sering saling menyudutkan bahkan
saling menjatuhkan antara satu sama lain namun perdebatan di antara mereka
tetap melahirkan khazanah intelektual yang mewarnai zamannya bahkan membentuk
dasar formasi berpikir yang berpengaruh pada beberapa generasi sesudahnya, di
antara salah satu episode perdebatan sengit itu adalah perdebatan fenomel
antara al Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Perdebatan antara al Ghazali dan Ibnu
Rusyd lebih sering diposisikan sebagai perdebatan antara ahli syariat dan ahli
filsafat, antara kecenderungan syariat di satu sisi dan kecenderungan filsafat
di sisi lain, sebenarnya pemetaan antara al Ghazali dan Ibnu Rusyd dengan model
seperti di atas tidaklah tepat, sekalipun al Ghazali menyerang beberapa aspek
pemikiran filsafat namun ia sendiri pernah mendalami filsafat, kekecewaan al
ghazali terhadap filsafat terjadi saat dirinya mencoba melakukan pencarian
terhadap kebenaran hakiki melalui jalur filsafat, kebenaran hakiki yang
dicarinya tidak ditemukan, situasi tersebut menyebabkan al Ghazali berada dalam
kondisi kegamangan, di sisi lain kecenderungan beberapa filsuf kala itu yang
secara agak ekstrim menjadikan filsafat sebagai metode pencarian kebenaran
paling sempurna dan cenderung mengabaikan syariat turut mengkristalkan
pandangan negatif al Ghazali terhadap filsafat.
Jika diurai secara detail maka ada
dua puluh poin yang menjadi titik sentral gugatan al Ghazali terhadap filsafat,
gugatan tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul Tahaffuh al Falasifah,
sebaliknya Ibnu Rusyd dengan cerdas mampu melakukan tanggapan balik bahkan
membantah argument al Ghazali pada dua puluh titik gugatan tersebut, argumen
bantahan Ibnu Rusyd dituangkan dalam sebuah buku berjudul Tahaffuh at Tahaffuh.
Ada sisi lain yang menarik diamati dari perdebatan di antara ke dua tokoh besar
ini, sekalipun polemik ke duanya bersifat saling menegasikan namun pada sisi
lain kita bisa melihat bahwa debat pemikiran antara dua tokoh besar tersebut
merupakan simbol dinamisasi pemikiran Islam yang kala itu mulai redup, bantahan
Ibnu Rusyd terhadap al Ghazali menghidupkan kembali animo para pencari ilmu
untuk mempelajari filsafat setelah sebelumnya mereka lebih banyak dipengaruhi
oleh ahli syariat yang memandang filsafat dalam domain negatif serta
menganjurkan para pencari ilmu untuk menjauhinya.
Bagi sebagian pecinta filsafat, al Ghazali
diposisikan sebagai tertuduh karena serangannya terhadap pemikiran para filsuf
menjadikan filsafat dalam dunia Islam mengalami kemunduran, pandangan mereka
tidak jauh berbeda dengan pecinta syariat yang juga memposisikan filsafat
sebgai yang tertuduh karena beberapa aspek pemikiran yang berkembang di
dalamnya dianggap merusak aqidah Islam, pandangan di antara ke dua kutub
tersebut masing – masing memiliki kelemahan. Secara pribadi, al Ghazali tidak
pernah mengharamkan filsafat sebab ia sendiri pernah bergelut di dalamnya,
label haram yang dilekatkan pada filsafat berasal dari pengikut setia al Ghazali
yang tidak berlaku proporsional dalam memposisikan dan meletakkan pandangan
gurunya, pandangan dari pengikut al Ghazali menjadi semakin tidak proporsional
karena banyak di antara mereka yang tidak mengetahui bahwa al Ghazali pernah
menggeluti pemikiran filsafat, bahkan dalam suatau riwayat dijelaskan bahwa
menjelang akhir hayatnya, al Ghazali kemudian menyadari bahwa banyak
bantahannya terhadap filsafat yang tidak tepat, ia mengakui bahwa filsafat bisa
dijadikan sebagai salah satu metode untuk sampai kepada kebenaran hakiki,
sayang bantahan al Ghazali terhadap filsafat lebih terekspos dibanding
pengakuan atas kekeliruan pandangannya terhadap filsafat.
Pada dasarnya pembelaan terhadap
filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd dari serangan al ghazali menjaga energi
intelektual dalam lanskap pemikiran Islam, serangan balik pemikiran Ibnu Rusyd kepada
al Ghazali juga mengindikasikan bahwa proses dialektika pemikiran masih
berlangsung dalam gelanggang pemikiran Islam, pemikiran akan mengalami kebekuan
apabila proses dialektika tidak lagi hadir dalam sebuah ruang pemikiran, ketika
proses dialektika hadir maka masih terbuka ruang bagi munculnya benih pemikiran
baru. Kemandegan filsafat dalam dunia Islam tidak sepenuhnya harus dilimpahkan
kepada al Ghazali sebagai biang keladi, seharusnya yang perlu dipersalahkan
dalam konteks ini adalah para pengikut al Ghazali termasuk generasi sesudahnya
yang secara membabibuta melakukan proses sakralisasi berlebihan terhadap
pandangan al Ghazali tanpa memperhatikan konteks dimana al Ghazali mengeluarkan
pandangannya, seharusnya mereka penting pula membaca bantahan Ibnu Rusyd terhadap
al Ghazali sehingga lahir pandangan yang lebih berimbang, bukan pandangan yang
cenderung menghakimi pihak tertentu.
Zaenal Abidin
Riam
Penggiat
Komunitas Lingkar Peradaban / penulis juga berkecimpung di Komunitas Pena
Literasi
Posting Komentar