Islam merupakan sebuah agama yang penganutnya tersebar di setiap benua, islam
sebagai agama formal telah berusia abad, sejak Nabiullah Muhammad SAW diutus
sebagai rasul, di saat itu pula Islam resmi disiarkan ke penjuru dunia,
walaupun bermula di padang pasir arab yang tandus, kini persebaran penganut
Islam tersebar luas di muka bumi, sebagai sebuah agama, Islam memiliki pedoman
agama tersendiri, jumhur ulama menyepakati bahwa minimal Al Qur’an dan Hadist
yang bertindak sebagai pedoman umat islam, Al Quran pada sisi lain bertindak
sebagai kitab hukum, segala sesuatu masalah paling awal harus dikembalikan pada
Kitabullah, jika tidak dijumpai penjelasan detail (hanya penjelasan umum yang
ada dalam al qur’an terkait masalah tertentu) di dalamnya, maka umat islam
diarahkan mengacu kepada Hadist, pada posisi ini hadist bertindak sebagai
sumber hukum ke dua dalam Islam, sebagai sebuah teks yang lebih banyak
memberikan penjelasan umum, tentu perbedaan penafsiran terhadap Al Quran sangat
terbuka, semasa Rasulullah hidup, perbedaan ini selalu bisa ditutupi, setiap
perbedaan pandangan, jawabannya pasti dikembalikan kepada Rasulullah,
penjelasan tersebut termuat dalam hadist, umat islam pada masa itu selalu menerima
jawaban Rasulullah.
Keadaan mulai berubah saat Nabiullah telah wafat, perbedaan pandangan mulai
terlihat jelas ke permukaan, namun saat itu para sahabat sangat bijaksana
menyikapi perbedaan tersebut, tidak pernah ada tradisi mengkafirkan, kebiasaan
seperti ini minimal berlanjut ke masa islam klasik, walaupun memang tingkat
kematangannya tidak seperti di masa sahabat, memasuki abad islam pertengahan,
suasana tersebut tidak lagi terjadi, malah yang muncul sebaliknya, pengkafiran
terhadap golongan tertentu marak terjadi, label sesat begitu mudah
dilekatkan pada aliran pemahaman lain, puncaknya, anggapan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup, dikokohkan sebagai sebuah dogma, hanya ijtihad sahabat yang
dianggap benar, sehingga semua masalah harus dicari jawabannya pada ijtihad
sahabat, sudah barang tentu pandangan ini keliru, umat islam hidup dalam ruang
dinamis, masalah terus berkembang seiring usia zaman, bagaimanapun ijtihad
sahabat selalu dibatasi oleh zamannya, mereka bukan manusia yang mengetahui
semua masalah yang akan terjadi di masa mendatang, sehingga mengharapkan
jawaban utuh dari semua masalah yang muncul belakangan, kepada ijtihad sahabat,
adalah pilihan yang sangat tidak bijaksana, dengan konsekuensi apapun ruang
ijtihad wajib dibuka.
Hadirnya ijtihad tentu sangat membuka ruang perbedaan tafsir, apakah perbedaan
tafsir merupakan parasit bagi umat islam? Jelas bukan, perbedaan tafsir justru
membuka cakrawala berpikir kita, di samping itu, pemahaman terhadap Al Quran
dan Hadist tidak mungkin diseragamkan secara detail, lalu apakah semua orang
bisa menafsir Kitabullah seenak hatinya? Tentu juga tidak, ada standar yang
menjadi code of conduct,, namun
standar tersebut bukan bermaksud menyeragamkan hasilnya, proses penafsiran
pasti melahirkan hasil penafsiran yang berbeda pula, termasuk ketika penafsiran
tersebut menggunakan metode yang sama, mengenai siapa yang paling benar, hanya
Allah yang tahu, selama penafsiran tersebut tidak terang bertentangan dengan
dasar aqidah islam, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, yang perlu
dibangun adalah sifat saling menghargai di antara perbedaan tafsir tersebut,
yang aneh, dalam kehidupan sehari – hari, sering muncul orang dengan pemahaman
islam pas – pasan, namun sangat senang memvonis sesat penganut islam lainnya,
orang seperti ini, seharusnya belajar pada ulama besar dalam sejarah Islam,
walaupun mereka berbeda pandangan dalam masalah keislaman tertentu, namun
mereka tetap saling menghargai, disinilah letak kebenaran, bahwa semakin
seseorang menyelami khazanah ilmu islam, maka dia akan semakin bijak dalam
menyikapi perbedaan.
Merupakan sebuah persepsi keliru, ketika memandang perbedaan sebagai potensi
perpecahan, perbedaan yang bisa dipertanggungjawabkan, justru berpotensi
mendewasakan kita dalam berislam, memandang perbedaan sebagai akar perpecahan
merupakan cerminan sikap yang tidak ksatria, watak ini lebih menunjukkan sifat
mengkambinghitamkan penyebab masalah, akar masalah dari perpecahan bukan
perbedaan, namun akar masalahnya terletak pada sikap kekanak – kanakan dalam
menghadapi perbedaan, mudahnya menjatuhkan vonis sesat kepada kelompok lain,
yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya, merupakan cerminan sikap kekanak –
kanakan dalam berislam, jadi untuk menghindari perpecahan, maka sikap ini yang
perlu dirubah, perlu didewasakan, caranya lewat dialog, agar setiap golongan
memahami dasar pandangan golongan lain, dalam banyak kasus, vonis sesat yang
dijatuhkan kepada kelompok tertentu, lebih diakibatkan minimnya pemahaman
tentang dasar pandangan kelompok tersebut, hal ini semakin diperparah dengan
keengganan membuka dialog, dialog seolah dianggap sebagai ancaman bagi
keyakinan islam ala golongannya, selama ada kedewasaan sikap dalam memandang
perbedaan, ditambah kemauan berdialog, maka perbedaan pasti bisa ditempatkan
secara proporsional, mengucapkannya memang mudah, namun mengaplikasikannya yang
susah, iya kan?
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar