tulisan ini juga dimuat di
http://www.suluttoday.com/negeri-janji-potret-indonesia-kontemporer/
Oleh: Zaenal Abidin Riam
Ketua HMI MPO Badko Sulambanusa (Sulawesi bagian selatan, Maluku
utara, Bali dan Nusa tenggara)
Indonesia
merupakan negeri dengan potensi alam melimpah, Indonesia juga merupakan negeri
dengan penduduk melimpah, seharusnya dengan dua potensi tersebut, Indonesia
mampu menjadi kekuatan baru dalam percaturan dunia global, namun kenyataan
becerita lain, kekayaan alam yang melimpah, justru menjadi sasaran empuk
kelompok neoliberalisme, pengelolaan kekayaan alam negeri ini, lebih banyak
didominasi pihak asing atau komunitas dalam negeri yang berafiliasi kepada
mereka, jumlah manusia yang melimpah belum dibarengi dengan kualitas melimpah,
kenyataan terakhir ini juga menjadi alasan ampuh bagi pemerintah, dalam memberikan
kesempatan kepada pihak asing untuk mengelola sumber daya alam kita,
ketidakmandirian mengelola sumber daya alam, ditambah rendahnya sumber daya
manusia yang melahirkan masalah baru, selalu menjadi fokus perhatian dalam
setiap momen kontestasi politik, para calon pemimpin selalu berebut janji
mensejahterakan rakyat, beragam jurus dipraktikkan demi menggaet simpati
pemilih, dari sisi struktur kata, janji tersebut terkesan sangat ideal.
Harapan
mungkin terbersit dari masyarakat dengan janji yang seolah sangat meyakinkan,
secara sederhana, sebuah janji berpotensi memunculkan harapan, terlebih bila
yang dijanji adalah kaum awam, akan tetapi bila berkaca pada kenyataan,
sebagian besar janji kandidat, tak lebi dari lip servicebelaka,
setelah si kandidat resmi terpilih, janji yang dulunya didengungkan secara
nyaring, tak lagi terdengar, tanda – tanda realisasinya pun tak kunjung muncul,
yang lebih memalukan, saat janji tersebut justru diingkari di tengah jalan,
contoh yang paling sering muncul, berjanji tidak menaikkan BBM, dan berjanji
mencari cara lain, namun setelah terpilih, BBM dengan entengnya dinaikkan, ini
hanya satu contoh kasus, ribuan janji lainnnya, yang juga diingkari, terpampang
rapi di langit negeri, janji bagi kontestan politik saat sementara
berkompetisi, tak lebih dari dagelan politik belaka, nuansa ini tidak hanya
terjadi dalam pertarungan kursi nomor satu negeri ini, tetapi pemilihan di
tingkat desa saja, juga memperlihatkan nuansa yang sama, sepertinya mereka
belajar banyak dari drama adu janji yang dimainkan para capres, atau dari
mantan caleg yang telah resmi menjadi penghuni rumah rakyat, ini juga merupakan
pendidikan politik dalam dimensi yang kebablasan.
Jika
dikatakan bahwa masyarakat semakin cerdas menilai janji kandidat, maka asumsi
tersebut masih perlu dibuktikan, sebab dalam kenyataannya, beberapa pemimpin
yang terpilih dari daerah tingkat bawah hingga pusat, adalah figur yang gemar
menebar janji sekaligus senang mengingkarinya, saat janji mereka terang diingkari,
maka pada saat itu muncul kebencian dari masyarakat, kebencian ini seolah
mengarahkan mereka pada kesadaran baru, bahwa janji kandidat tak bisa dipercaya
begitu saja, akan tetapi, saat tiba pemilihan selanjutnya, dan suara mereka
menjadi penentu, kebencian tersebut menjadi luluh oleh jurus politik uang atau
jurus kejam lainya, fenomena ini mengindikasikan dua hal, pertama, kesadaran
politik masyarakat memang masih rendah, kondisi ini bertalian erat dengan
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, ke dua, masyarakat sudah terjangkit
oleh sindrom apatisme akut, mereka merasa bahwa siapapun yang terpilih, tetap
tak berpengaruh pada kondisi riil kehidupan mereka, sebenarnya jika pendidikan
politik dalam artian teori dan praktik, berjalan efektif, maka ke dua hal
tersebut tidak perlu terjadi, atau minimal bisa diminimalisir.
Negeri
ini memang menyimpan seribu satu macam masalah, perlu diingat, untuk mengatasi
semua masalah tersebut, maka janji saja tidak mendatangkan dampak positif sama
sekali, bahkan janji yang dibajak dan diingkari di tengah perjalanan, justru
berpotensi menimbulkan masalah baru, masalah yang melanda bangsa ini hanya bisa
diatasi dengan kerja nyata tanpa perlu banyak mengumbar lip service,
tentu dalam setiap kompetisi politik, adu program tak bisa terhindarkan, bahkan
kempetisi dengan “menjual” program, jauh lebih bermartabat dibandingkan jurus
lain yang instan, namun perlu diingat, sekadar janji dan kompetisi program
adalah dua hal berbeda, bila kandidat menjual program, berarti ia telah
memiliki perhitungan dan rekayasa jelas untuk mewujudkan programnya, tapi bila
sekadar janji, maka boleh jadi pernyataan tersebut keluar begitu saja demi
mengalahkan kompetitornya, mungkin dibarengi perencanaan, tapi perencanaan dari
pernyataan tersebut tidak matang, terlepas dari hal itu, untuk membuktikan
bahwa pernyataan kandidat tak sekadar janji, maka yang paling berperan adalah
sejauh mana kerja nyatanya demi merealisasikan pernyataannya dahulu. Sudah
waktunya menyudahi parodi janji di atas panggung nusantara, panggung ibu
pertiwi tak dibuat untuk mementaskan janji, tetapi untuk memamerkan kinerja di
lapangan.
Posting Komentar