Secara genre, novel Kau Bidadari Surgaku, termasuk dalam
novel religi, atau novel islami, salah satu genre novel yang belakangan mulai
populer, novel ini pada dasarnya tidak rumit, pembaca dari berbagai kalangan,
akan mudah menemukan pesan dibalik teks novel tersebut, hal ini karena
paparannya terbilang sederhana, gamblang, serta tak berbelit – belit,
penulisnya mencoba mengangkat realitas sosial di sekitar kita, kejadian yang
sering terjadi di lingkungan perkotaan, khususnya kota metropolitan, setting
cerita mengambil tiga tempat: Jakarta, Bandung dan Kroya, novel ini menyajikan
dilema kaum perempuan yang mencoba keluar dari ingkungan kerja yang telah
merusak dirinya, apa yang dialami Marwah, sang tokoh utama, juga banyak dialami
perempuan lain yang merantau ke ibukota, bahkan banyak diantara mereka yang
menjadi korban perdagangan manusia, nasib Marwah masih lebih beruntung, ia
sebatas menjadi wanita panggilan, aktifitas yang di kemudian hari ia
tinggalkan.
Minimal ada dua sisi kehidupan yang dikupas dalam novel ini: agama dan kompleksitas sosial, agama menjadi topik utama dari ke duanya, bahkan beberapa Ayat Al Qur’an menghiasi novel ini, Marwah digambarkan sebagai tokoh utama yang mencoba kembali ke jalan Islam, dalam usahanya ini, ia terlibat pertarungan sengit dengan dirinya sendiri, antara tetap menjadi wanita panggilan dengan bergelimang uang, uang itu ia butuhkan demi menjaga status keluarganya di kampung agar tetap dihormati, atau kembali menjadi muslimah taat, dengan konsekuensi kehilangan uang yang selama ini didapat secara instan, lalu memulai hidup dari nol, semua berawal saat Marwah bertemu Hamzah, laki – laki yang menginspirasinya untuk kembali ke jalan benar, sekaligus ia memendam cinta diam – diam pada lelaki tersebut, dilema yang dialami Marwah untuk kembali ke jalan lurus, merupakan sindiran terhadap realitas masyarakat terkini, bagi masyarakat, orang yang telah dilabeli negatif, cenderung dijauhi, seolah tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk insaf, situasi ini menyebabkan orang bersangkutan, menjadi semakin nyaman dalam zona kesalahan.
Minimal ada dua sisi kehidupan yang dikupas dalam novel ini: agama dan kompleksitas sosial, agama menjadi topik utama dari ke duanya, bahkan beberapa Ayat Al Qur’an menghiasi novel ini, Marwah digambarkan sebagai tokoh utama yang mencoba kembali ke jalan Islam, dalam usahanya ini, ia terlibat pertarungan sengit dengan dirinya sendiri, antara tetap menjadi wanita panggilan dengan bergelimang uang, uang itu ia butuhkan demi menjaga status keluarganya di kampung agar tetap dihormati, atau kembali menjadi muslimah taat, dengan konsekuensi kehilangan uang yang selama ini didapat secara instan, lalu memulai hidup dari nol, semua berawal saat Marwah bertemu Hamzah, laki – laki yang menginspirasinya untuk kembali ke jalan benar, sekaligus ia memendam cinta diam – diam pada lelaki tersebut, dilema yang dialami Marwah untuk kembali ke jalan lurus, merupakan sindiran terhadap realitas masyarakat terkini, bagi masyarakat, orang yang telah dilabeli negatif, cenderung dijauhi, seolah tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk insaf, situasi ini menyebabkan orang bersangkutan, menjadi semakin nyaman dalam zona kesalahan.
Dari sisi kompleksitas sosial,
novel ini menyajikan sisi kelam hidup di ibukota bagi mereka yang tidak punya
keterampilan hidup, ini pula yang melanda Marwah, dengan maksud mengangkat
kualitas hidup keluarga, ia lalu merantau ke ibukota, malangnya dirinya justru
menjadi korban penipuan dari oknum yang menjanjikannya menjadi pembantu,
situasi sulit ini, memaksa Marwah menerjunkan diri ke dalam dunia kelam,
walaupun telah diperingati sahabatnya, shinta, namun saat itu ia merasa tak
punya pilihan lain, novel ini juga menggambarkan betapa kejamnya dunia malam,
selalu ada potensi menjadi korban kejahatan lain, itu yang dialami Shinta, saat
ia harus berurusan dengan pihak berwajib karena dikaitkan kasus korupsi,
walaupun ia sekadar menemani tamunya saja, yang ternyata seorang koruptor, saat
digeledah KPK, ada ragam kompleksitas sosial yang disinggung dalam Bidadari
Surgaku, bukan hanya korupsi, tapi juga kenaikan BBM dan rumitnya kehidupan
kaum miskin, bagian ini memang tidak menjadi cerita utama, namun pesan
sosialnya tetap tersampaikan
Penulis, dalam novelnya, berupaya
menyajikan pemahaman keislaman yang moderat, terbuka terhadap perbedaan
tafsiran, juga penghargaan terhadap agama lain, penulis melihat Islam dari sisi
keberagaman, sekaligus mengkritik pemahaman Islam yang sangat literal, hal itu
tertuang saat tokoh utama menanggapi prilaku adiknya, sepertinya penyajian ini
sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan penulis, terutama latar
belakang pemahaman keislamannya yang disemai di lingkungan pesantren.
Nuansa asmara terlihat kental dalam
novel ini, nuansa asmara tersebut dibalut dalam konteks Ajaran Islam, boleh
dikata asmara menjadi bahan perbincangan dominan dalam Bidadari Surgaku,
modelnya terbilang klasik, menceritakan cinta segitiga, antara Marwah, Hamzah
dan Shafa, pilihan Hamzah terhadap Marwah, yang notabenenya keluarga kelas
atas, ditambah rekam jejak kelam Marwah di masa lalu, serta penolakannya
terhadap Shafa, yang berasal dari keluarga konglomerat, juga merupakan drama
cinta klasik, yang membuat drama cinta mereka menjadi berbeda, karena drama
cinta ini terekspresikan dalam bentuk ajaran Islam, mulai saat Hamzah memiliki
rasa terhadap Marwah, begitupun sebaliknya, Marwah yang menaruh harapan pada
Hamzah, namun Hamzah tak sekalipun menyentuh Marwah dalam mengekspresikan
cintanya, apalagi memacarinya, justru Hamzah memilih melamar Marwah setelah
merasa cukup kenal dengannya, cara ini sengaja digambarkan secara jelas, untuk
menampik anggapan bahwa pacaran merupakan cara satu – satunya menuju pelaminan,
bahkan ada beberapa kalimat kritikan terhadap konsep pacaran dalam novel ini.
Benar novel ini terlihat sederhana,
tapi beberapa bagian ceritanya tidak mudah ditebak begitu saja, pada beberapa
bagian, terdapat beberapa kejadian, yang bisa menampik prediksi mapan pembaca,
semisal diagnosa palsu yang diberikan dokter kepada Marwah, ketidaktenangan
Hamzah dalam mengambil keputusan, sehingga berujung pada penalakan istrinya,
padahal sejak awal, Hamzah digambarkan sebagai sosok tenang dan matang, hingga
meninggalnya Marwah sesaat setelah Hamzah menyadari kekeliruannya, dan juga
mencabut talaknya, semua ini terjadi pada bagian akhir cerita, jika mengikuti
prediksi mapan, maka pembaca bisa saja beranggapan bahwa puncak konflik, berada
pada tarik ulur lamaran Hamzah ke Marwah, setelah itu mereka hidup bahagia
hingga tua, namun prediksi semacam itu, tidak berlaku untuk novel ini, justru
di bagiaan setelah pernikahan, penulisnya menyajikan drama ringan yang justru
merupakan klimaks dalam novel ini, dan disinilah nilai lebih Kau Bidadari Surgaku
dari segi alur cerita.
Oleh:
ZaEnal Abidin RiAm
Peminat
Novel (jika novelnya menarik….peace…)
Posting Komentar