Kebutuhan manusia akan aspek sosial
menyebabkan dirinya memiliki kecenderungan untuk berkelompok, hidup berkelompok
diperlukan guna memenuhi kebutuhan bersama dan individu yang tak isa dikerjakan
secara solo, kerja kelompok dan kerja individu merupakan dua hal yang tak bisa
terpisahkan, bahkan ke duanya berlangsung pada waktu bersamaan, hasil kerja
dalam kelompok selalu melahirkan pragmatik (manfaat) bagi individu yang berada
di dalamnya, pada tingkatan yang sedikit lebih canggih kelompok akan melahirkan
institusi (lembaga), kehadiran institusi dibutuhkan demi menjamin agar kelompok
berikut elemennya tetap bekerja dalam koridor profesional dalam rangka mencapai
visi bersama pada sebuah kelompok, institusi pada dasarnya merupakan instrumen
masyarakat modern yang dijalankan secara birokratis rasional.
Tingkat
kemapanan dan kelabilan sebuah lembaga sangat dipengaruhi oleh kompetensi
subjek yang menjadi nyawa bagi lembaga tersebut, jika subjek yang tergabung di
dalamnya tidak memiliki kualitas mumpuni, maka lembaga akan berjalan layaknya
mobil mogok, sebaliknya apabila lembaga dikelola oleh orang dengan kualitas di
atas rata – rata, maka mobil tersebut akan melaju di jalan tol dengan kecepatan
penuh, tapi yang lebih parah adalah ketika lembaga dibajak oleh orang – orang
yang sakit secara pikiran dan tindakan maka mobilnya justru akan terjatuh
kedalam jurang. Dari beragam kompetensi yang mesti dimiliki subjek sebagai
pengelola lembaga, maka kemampuan komunikasi merupakan prasyarat utama yang
wajib terpenuhi, komunikasi merupakan jejaring yang menentukan kokoh atau
tidaknya solidaritas kelembagaan.
Hampir
semua masalah kelembagaan berasal dari gaya komunikasi yang tidak efektif,
banyak pula masalah yang seharusnya tidak perlu muncul disebabkan model
komunikasi yang asal – asalan, problem kecil juga bisa langsung berubah menjadi
bola salju raksasa hanya karena tidak dikomunikasikan secara matang, mengingat
begitu pentingnya peran komunikasi dalam sebuah lembaga sehingga sudah
sewajarnya bila ia diposisikan sebagai bagian utama yang berperan penting
membentuk wajah lembaga, ruang komunikasi yang pincang memungkinkan lembaga
berjalan tertatih – tatih, dalam situasi ini lembaga tak mampu mencapai visi
idealnya, ia lebih banyak disibukkan untuk mengurusi masalah remeh – temeh yang
seharusnya sudah rampung sejak hari kemarin. Jika kita menginginkan komunikasi
berjalan lancar dalam institusi, maka kemampuan menyeleksi aparatus (pengurus)
lembaga merupakan keahlian yang seharusnya dimiliki, urusan ini merupakan
tanggungjawab dari pemimpin tertinggi dalam sebuah lembaga sebab dirinyalah
yang memiliki otoritas membentuk tim kepengurusan, alternatif lain adalah dalam
menyeleksi aparatus pemimpin bisa dibantu oleh tokoh yang memiliki kharisma
tinggi dengan rekam jejak bersih, sistem perekrutan aparatus lembaga dengan
melibatkan tokoh kharismatik pernah dipraktikkan di zaman Kerajaan Gowa, dalam
konteks ini terjadi penyaringan ganda, jika kita menganggap hal ini kurang
realistis untuk diberlakukan dalam konteks zaman modern, maka kita bisa
melibatkan kader atau civil society untuk berperan serta dalam penyaringan
aparatus kelembagaan, namun syaratnya para kader lembaga atau civil society
dalam konteks Negara harus memiliki pemahaman dan kesadaran aktif tentang
mereka yang layak menjadi aparatus lembaga, mekanisme seleksi semacam ini
diharapkan mampu menjaring pengurus lembaga yang piawai menjalankan fungsi
komunikasi kelembagaan.Kebekuan komunikasi kelembagaan bisa terjadi karena 5 faktor utama. Pertama, subjek lembaga tidak mampu memisahkan domain privat dan domain lembaga, terkadang perseteruan dalam domain privat dibawa masuk ke dalam domain lembaga, buntutnya komunikasi menjadi terganggu. Ke Dua, dialektika kritik tidak dikelola secara profesional, kritik dalam sebuah lembaga merupakan hal lumrah, kritik bisa saja berlangsung dalam nuansa pedas, tidak ada yang salah dengan hal itu, akan tetapi bila saling serang kritik secara tidak sadar atau sadar menyebabkan pelaku lembaga mengabaikan tugas kelembagaan tertentu hanya karena lawan kritiknya berada pada tupoksi kerja yang sama, maka pada saat itulah komunikasi akan berjalan renggang, faktor ke dua ini sangat sering terjadi. Ke Tiga, pemimpin tertinggi dalam sebuah lembaga tidak mampu berkomunikasi secara supel, komunikasinya cenderung kaku dan mengukur segala sesuatunya berdasarkan standar karakter dirinya, pemimpin seperti ini hanya akan menyibukkan dirinya dengan urusan – urusan yang semestinya tidak perlu lagi diurusi sebagai imbas dari komunikasi yang sangat beku. Ke Empat, tidak hadirnya sosok yang memiliki kemampuan komunikasi luwes dalam lembaga, kebekuan komunikasi pemimpin sebenarnya bisa diatasi jika dalam lembaga tersebut terdapat aparatus tertentu yang selalu mampu mencairkan komunikasi di antara sesama pengurus. Ke Lima, tidak tumbuhnya nalar kedewasaan dalam memandang dan bersikap, apabila para pengurus masih terjebak dalam nalar yang kekanak – kanakan, maka bisa dipastikan gaya komunikasi dan hasil kerjanya juga bersifat kekanak – kanakan.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar