Setiap
organisasi memiliki dua aspek dalam melakukan kerja kelembagaannya yakni aspek
struktural dan aspek kultural, aspek struktural biasanya terlihat lebih kaku
karena ia terkait dengan aturan formal organisasi yang dituangkan secara
tertulis sedangkan aspek kultural seringkali lebih Nampak fleksibel. Jika
sebuah organisasi ingin mencapai tahap kemajuan, maka perhatian pada ke dua
aspek tersebut tidak boleh diabaikan, mengabaikan salah satu di antaranya
merupakan tindakan keliru. Dalam realitasnya, sebuah organisasi terkadang lebih
menekankan regulasi tertulis, ranah tradisi yang dihasilkan dari konvensi lisan
sebagai bentuk penafsiran lanjutan dari regulasi tertulis justru dianggap tidak
memiliki peran sentral, persepsi seperti ini penting dikritisi dengan cermat,
benar bahwa bentuk tradisi organisasi bisa bergeser dari satu waktu ke waktu
lain namun pergeseran tersebut mesti disertai dengan sistem penjelas yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks HMI MPO, para kader tidak
bisa menutup mata dari pergesern tradisi yang sementara berlangsung, pergeseran
tradisi tersebut khususnya terkait dengan ranah perkaderan, banyak hal
yang dulunya dijunjung tinggi bahkan
dalam titik tertentu disakralkan tetapi kini justru dianggap profan dan diganti
dalam bentuk tradisi lain, tak pelak hal ini mengundang debat di antara sesama
kader dan alumni, ada yang melihat dalam domain positif namun tak sedikit pula
yang melihatnya dalam domain negatif. Desakralisasi dan pergantian bentuk
tradisi merupakan hal lumrah dalam sebuah lembaga mengingat tradisi selalu
terkait dengan ruang sosial manusia yang bersifat cair, akan tetapi perlu
diingat bahwa pergeseran persepsi dan sikap dalam memandang tradisi mesti disertai
dengan argumentasi yang bisa dijelaskan kepada semua pihak. Jika dikaitkan
dengan pergeseran tradisi perkaderan yang berlangsung dalam tubuh hijau hitam,
maka bisa diberi penilaian awal bahwa dalam banyak hal perubahan tradisi
perkaderan tidak memiliki landasan penjelas yang valid.
Ketidakmampuan para kader dalam merumuskan sistem penjelas utuh terkait
pergeseran tradisi perkaderan yang mereka lakukan disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pergeseran tersebut tidak dilandasi atas pemahaman utuh terhadap
tradisi lama yang mereka tinggalkan, secara ideal upaya meninggalkan tradisi
lama merupakan sebuah kritik terhadap tradisi tersebut yang dianggap tidak
mampu lagi menyapa realitas zaman, hal tersebut mengindikasikan bahwa generasi
yang hadir dalam kelompok tersebut harus terlebih dahulu melakukan pemeriksaan
menyeluruh terhadap semua aspek dalam tradisi lama demi mengidentifikasi bagian
yang dianggap tidak layak lagi dianut dan diaplikasiakan, apabila tahapan di
atas tidak dilalui maka pergeseran tradisi cenderung berpola “asal berubah”,
bukan berpola kritis. Ke dua, pergantian menuju tradisi baru tidak berasal dari
kesepahaman bersama di antara sesama kader, kondisi ini terjadi karena
dialektika tradisi dalam ruang perkaderan tidak diarahkan, dibimbing dan
direkayasa oleh lembaga, ia terjadi secara aksidental, akibatnya pahaman
tentang tradisi baru dalam benak kader berbeda antara satu dan yang lain tanpa
ada standar yang bisa menjadi panduan bersama bagi tradisi tersebut. Ke tiga,
pengabaian terhadap tradisi lama dalam dunia perkaderan lebih dilandasi oleh
sikap reaksioner dalam merespon kondisi zaman yang berubah super cepat, ada
semacam keterkejutan dan kegagapan dalam memandang kehadiran organisasi dalam
dunia empirik, lahirlah pendirian bahwa organisasi dengan segala perangkatnya
harus melakukan perubahan diri secara super cepat pula karena jika tidak maka
ia akan digilas oleh zaman, pada dasarnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan
dari fenomena masyarakat kontemporer yang serba tergesa – gesa dalam merespon
sesuatu akibat hujan informasi yang membanjiri otak mereka, konsekuensi sikap
seperti ini bagi para kader adalah lahirnya penilaian yang terlalu dini dalam
memandang organisasi dengan segala perangkatnya termasuk tradisi yang hidup di
dalamnya, celakanya karena hasil dari sebuah penilaian yang diproses secara
instan lebih sering bernuansa negatif terhadap objek penilaian. Ke empat,
pergeseran tradisi lebih bermotif “ikut – ikutan”, maksudnya bahwa para kader
merubah tradisi perkaderan hanya karena melihat organisasi lain sedang beramai
– ramai merubah tradisi perkaderannya, singkatnya perubahan tradisi sedang
menjadi sebuah trend, pada posisi ini ibaratnya kita hanya memeriksa tubuh
orang lain namun hasil pemeriksaan tersebut justru diterapkan kepada tubuh
kita, tentu diagnosa problem organisasi dengan model seperti ini tidak
menghasilkan hal yang dibutuhkan, melakukan komparasi diri dengan organisasi
lain bukanlah tindakan keliru namun para kader seharusnya mampu memahami bahwa
setiap organisasi memiliki sudut pandang berbeda dalam merespon realitas.
Perubahan
tradisi perkaderan dalam lingkup HMI MPO bukan sesuatu yang mesti diharamkan
karena ia merupakan hukum alam organisasi, akan tetapi yang perlu diingat
adalah setiap perubahan tradisi mesti dilakukan secara cermat agar sikap
tersebut mampu dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada semua pihak,
pergeseran tradisi semestinya didahului oleh proses dialektika internal
organisasi yang diolah secara matang agar tidak menyimpang dari visi
kelembagaan, tanpa bermaksud memapankan status quo, jika para kader hijau hitam
belum mampu melahirka tradisi yang lebih unggul dari yang telah ada sebelumnya
maka berpegang pada tradisi lama merupakan tindakan yang lebih bijak.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar