Sejak terjadinya reformasi 1998,
pandangan terhadap wajah bangsa semakin nyaring terdengar, sangat kritis bahkan
terkadang sarkastik, kritik tersebut mencakup semua aspek berbangsa dan
bernegara, pada dasarnya, kritik tersebut berlandas pada niat memperbaiki
bangsa, dan hal tersebut perlu diapresiasi, walaupun tidak semua bisa
dilaksanakan, sebab setiap kritik tetap perlu filterisasi, yang tidak berbobot
tidak dapat dijadikan acuan guna membangun bangsa ke depan, akan tetapi, ada
kecenderungan umum terhadap konten kritik tersebut, yakni hampir semua kritik
bernada pesimis terhadap nasib bangsa Indonesia ke depan, lahir persepsi bahwa
semua yang berasal dari sistem berbangsa langsung dianggap keliru, tanpa
melalui pertimbangan matang, ini juga bukan model sikap yang tepat dalam
memandang sistem, semestinya kita objektif, jika baik maka perlu diapresiasi,
termasuk yang berasal dari sistem berbangsa itu sendiri, cara pandang “asal
menyalahkan sistem” menyebabkan kritik tidak proporsional.
Sikap positif terhadap bangsa perlu dibangun, sikap positif ini penting demi memupuk optimisme, sebab hanya dengan sikap optimis kita mampu berbuat banyak terhadap bangsa ini, optimisme bukan menegasikan kritik, optimisme tetap mengharuskan adanya kritik terhadap bangsa, apalagi dalam sistem demokrasi kerakyatan, kritik merupakan sesuatu yang imanen dalam kehidupan berbangsa, hanya saja kritik tersebut wajib dibangun secara proporsional, tidak serta merta menghakimi produk sistem, bila produk sistem hanya butuh disempurnakan, maka kritik hadir untuk menyempurnakannya, jika produk sistem memang harus diganti, maka kritik hadir untuk menggantinya dengan sesuatu yang pantas, jika produk sistem memang sudah baik, maka regulasi tersebut perlu didukung pelaksanaannya, pada kondisi ini sikap kita terhadap bangsa terlihat lebih bertanggungjawab.
Sikap pesimisme perlu dihindari, atau paling tidak diminimalisir dari waktu ke waktu, urgensinya adalah menghindarkan bangsa Indonesia dari karakter fatalistik, menyerah pada keadaan, mental fatalistik akan terbangun karena kita merasa tidak ada lagi ruang untuk memperbaiki bangsa ini, atau ruang itu tetap ada, namun peluangnya sangat sedikit, jika bukan mustahil, tetap disadari bahwa kondisi bangsa Indonesia memang sedang ditimpa dengan berbagai macam huru – hara, tetapi ingat pula, di belahan lain bangsa ini, terdapat kejadian – kejadian yang menggembirakan, dalam banyak kasus media secara tidak sadar juga berkontribusi dalam memupuk sikap pesimisme terhadap bangsa, sebagian besar media, khususnya media mainstream, hanya memblow up petaka – petaka yang terjadi di bangsa ini, akhirnya publik merasa seolah – olah bangsa ini hanya dipenuhi kekacauan, sedangkan pencapaian membanggakan, baik dari pemerintah atau komunitas tertentu sangat jarang diekspos.
Bangsa ini memang dipenuhi ragam masalah, dan tak satupun bangsa di dunia yang tidak dipenuhi ragam masalah, masalah tersebut hadir agar kita berpikir menemukan solusinya, dari sini tindakan harus terbangun, tindakan secara ideal hadir demi menuntaskan masalah, tentu tidak semua masalah langsung teratasi, sebagian di antaranya butuh proses tersendiri, sebaliknya, jika semua pandangan kita terhadap bangsa indonesia bernada pesimis, maka yang terbentuk hanya sikap pesimis pula, sikap seperti ini tidak akan membuat wajah bangsa menjadi lebih baik, ia hanya akan menularkan virus kepasrahan kepada rakyat Indonesia, modal utama dalam membangun bangsa adalah keyakinan, ketika kita kehilangan keyakinan terhadap keyakinan itu sendiri, maka sebenarnya kita telah mengubur bangsa ini.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar