Situasi kekinian memperlihatkan bahwa, pemegang posisi strategis dalam
struktur pemerintahan lebih banyak diisi kaum profesional, mereka tetap pernah
bersentuhan dengan organisasi, tapi mereka tidak besar dan matang di dalam
organisasi, kondisi ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi penggiat
organisasi, hal ini sekaligus menandakan bahwa ada bagian zaman yang berubah,
namun tak mampu dibaca secara jeli oleh penggiat organisasi, jika ingin lebih
terbuka, organisasi harus berani mengevaluasi diri, serta mengakui bahwa ada
yang salah pada pola perkaderan dan tradisi yang hidup dalam organisasi, selama
ini, sebagian besar organisasi sama sekali tidak mempersiapkan kadernya untuk
profesional padang bidang tertentu, mereka hanya dibekali dengan pemahaman
organisasi secara universal, pemahaman organisasi tetap penting, karena ia
merupakan modal dasar dalam mengelolah dinamika masyarakat, namun dalam kondisi
sekarang, hal tersebut tidak cukup, dinamika zaman menuntut individu agar
profesional dalam bidang kehidupan tertentu, hanya orang profesional yang
diyakini memiliki konsep mendalam terhadap masa depan bangsa dan umat, sehingga
jangan heran bila lingkaran profesional yang banyak digunakan pemerintah dalam
mendesain wajah Negara.
Salah satu penyebab sehingga organisasi kehilangan sensibilitas adalah
terjebak dalam romantisme sejarah masa lalu, termasuk tradisi yang hadir dalam
zaman romantik tersebut, mereka seolah merasa bahwa pola lama yang digunakan
dalam zaman romantik masih merupakan pola terbaik, akibatnya zaman kekinian
yang sudah jauh bergeser juga disikapi dengan pola lama, hasilnya sudah bisa
ditebak, keluaran organisasi hanya menjadi pemain pinggiran di republik ini,
bahkan beberapa di antara mereka terpaksa harus menghamba pada kaum
profesional, jika hanya menjadi pemain pinggiran, maka ide susah terbumikan
dalam skala luas, bahkan tidak menutup kemungkinan, mereka harus menerima nalar
kaum profesional walaupun bertentangan dengan ide dasar yang membentuknya di
organisasi, di samping itu, paktron
berlebihan pada alumni organisasinya yang kini besar di pemerintahan,
juga merupakan penyebab lain ketidakpekaan penggiat organisasi mengenali
zamannya, mereka terlalu bergantung pada alumni tersebut, bahkan alumni
dijadikan jalan pintas untuk merengsek masuk ke pemerintahan, padahal kapasitas
mereka masih jauh dari cukup, paling jauh mereka hanya bisa menjadi ban serep
dari alumni bersangkutan, bukan sebagai pemain penentu.
Pada dasarnya, kader dan pengurus organisasi telah memiliki modal besar
untuk mengelolah umat, yakni modal kepemimpinan, modal kepemimpinan ini yang
tidak dimiliki oleh professional murni, karena kepemimpinan lahir dari
pengalaman, bukan dari teori yang dibaca di atas kertas, sekarang yang
dibutuhkan adalah mematangkan modal kepemimpinan dengan aspek profesionalisme,
agar bidang kepemimpinan menjadi jelas, organisasi perlu memproyeksi kadernya
untuk profesional pada bidang jurusan yang digelutinya di kampus, tentu hal ini
mensyaratkan paradigma baru dalam memandang ranah pendidikan, pendidikan formal
tidak lagi harus diperhadapkan vis a vis dengan organisasi, tidak berarti pula
kader organisasi harus didorong untuk bernalar akademisi murni, melainkan
wacana normatf pendidikan pada jurusan masing – masing perlu diberi sentuhan
kritis, wacana pendidikan yang bersifat kritis, yang selama ini dikonsumsi
dalam organisasi, harus digunakan sebagai pisau analisa dalam membedah materi
formal di jurusan masing – masing kader, khusus bagi organisasi kemahasiswaan,
ketidakprofesionalan kader pada basis keilmuan masing – masing, menjadi
penyebab utama sehingga organisasi di kampus mulai sepi peminat, jika hal ini
tidak disikapi secar cerdas, maka bisa saja organisasi benar – benar kehilangan
daya tawar di kampus, mendorong penggiat organisasi untuk profesional pada
basis keilmuan jurusan bukan berarti menyerah pada keadaan, namun hal ini
merupakan bukti kecerdasan organisasi dalam menyikapi keadaan terkini.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar