Dari sudut pandang sejarah, puisi
merupakan karya sastra tertua di dunia, awalnya puisi lahir dalam bentuk
mantra, pada posisi ini, puisi sangat bernuansa mitos, ia masih bercampur
dengan suasana keghaiban, seiring dengan perkembangan zaman, puisi pun
mengalami dinamisasi, ia terus berubah bentuk menjadi semakin maju, bentuk pusi
tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial generasi yang hadir dalam
setiap zaman berbeda, mereka selalu berupaya mengekspresikan rasa dan emosi
berdasar pada realitas keseharian, puisi pada dasaranya merupakan bahasa
universal, ia merupakan cara menuturkan ekspresi dalam bentuk lain, isi puisi
selalu lentur, suatu teks puisi akan melahirkan bergam makna dari generasi
berbeda, jika dikaitkan dengan hidup keseharian, puisi sering menjadi wadah
ekspresi perlawanan, hal tersebut terutama terjadi saat kerang bersuara
dikungkung.
Bahasa puisi yang tidak hadir dalam wujud literal, menjadi ruang bebas tersendiri untuk menghadrkan kritikan terhadap suasana yang begitu tertutup, dengan menghadirkan kritikan dalam bentuk puisi, maka si pengkritik dapat sewaktu – waktu menghindar dari tuduhan rezim, banyak dalih yang bisa digunakan, salah satunya adalah dalih seni, atau dalih makna dalam bentuk lain, sejarah mencatat, ketika sebuuah negara dikendalikan oleh rezim otoriter, lalu si rezim memaksakan kehendaknya kepada rakyat, dan menuntut rakyat untuk tunduk penuh kepada mereka, atau menjadikan dirinya seolah pemilik kebenaran yang tak bisa disentuh, termasuk terlarang dikritik, maka dalam situasi ini puisi sering menjadi alat pelarian, di dalam puisi, individu yang tidak puas pada kenyataan, menyuarakan kritikannya dalam bahasa yang sarat makna, bahkan tidak jarang puisi mereka beralih menjadi sebuah lagu yang digandrungi oleh generasi muda kala itu.
Jika kita berkaca pada kenyataan yang lebih luas, kehadiran ekspresi perlawanan dalam puisi tidak hanya hadir saat kerang kebebasan berpendapat ditutup, dalam sebuah negara dengan jaminan kebebasan berpendapat, ekspresi perlawanan tetap mewarnai beragam puisi yang tercipta saat itu, bahkan bentuknya sering lebih tajam dan berani, malah komunitas gerakan perlawanan yang dulunya tidak akrab dengan puisi juga mulai menjadikan puisi sebagai wadah penyebar ide – ide perlawanan yang mereka bangun, sepertinya mereka sampai pada sebuah kesadaran untuk membahasakan ekspresi perlawanan dalam jangka panjang, maksudnya bahwa mereka sadar bila pemikiran perlawanan yang mereka bangun harus bekerja dalam jangka panjang, olehnya itu harus dipilih sebuah medium yang bahasanya mampu bertahan pada beberapa generasi setelahnya, dan puisi merupakan salah satu medium tersebut.
Pada hakikatnya puisi tak sekadar
ekspresi seni yang hadir di ruang hampa (paling tidak menurut pemahaman penulis
yang sangat awam), ia juga bukan sekadar ekspresi generasi cinta monyet, yang
sering menjadikan puisi sebagai sarana gombal lawan jenis, setiap teks, bahkan
setiap kata dalam puisi selalu memiliki latar belakang pembentukan diri, dalam
suasana apa ia terbentuk? Apa yang melatarbelakanginya terbentuk? Puisi adalah
salah satu refleksi sosial dalam bentuk sindiran saat bahasa essai tak lagi
dipedulikan, berpuisi bukan berarti membangun angan atau khayalan, justru
berpuisi merupakan usaha untuk membahasakan kenyataan dalam bentuk lain, bahasa
puisi yang terkadang sangat satir, menyebabkan puisi sukar berdamai dengan
kekuasaan, bahkan ia lebih sering mengambil posisi sebagai tukang kritik
kekuasaan, ini pula yang menyebabkan pelaku sastra yang menekuni puisi tidak
jarang diintimidasi penguasa, memang kita tidak memungkiri ada juga puisi yang
selalu menyanjung penguasa, yakni puisi yang lahir dari orang yang rasa dan
pikirannya telah dibeli oleh penguasa, dalam sisi tertentu, berpuisi adalah
melawan dengan rasa, karena perlawanan tanpa rasa hanya melahirkan perubahan
hampa harmoni.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar