Jika kita berbicara tentang gaya
berpikir rasional, kiblatnya selalu diarahkan kepada peradaban yunani, tesis
tersebut seolah menjadi keyakinan tanpa celah, yunani diposisikan sebagai
daerah pertama yang manusianya mampu mentradisikan pikiran rasional, efeknya
setiap peradaban yang datang setelahnya selalu dianggap mewarisi gaya berpikir
rasional dari peradaban yunani, pada posisi ini, peradaban islam yang muncul
jauh hari setelah peradaban yunani, juga dianggap mengadopsi gaya berpikir
rasioanal dari peradaban tersebut, bahkan lebih jauh stigma negatif tidak
jarang diarahkan pada perkembangan peradaban islam klasik, peradaban islam
klasik dengan segala pencapaian puncaknya hanya dianggap membebek pada
pemikiran yunani, disini tidak terlihat apresiasi apapun terhadap salah satu
peradaban terbesar yang pernah lahir dalam sejarah, namun benarkah sumber
primer pikiran rasional dalam peradaban islam berasal dari peradaban yunani?.
Keyakinan bahwa peradaban yunani merupakan sumber utama pikiran rasional, merupakan keyakinan yang mengandung kekeliruan, persepsi ini seolah menganggap bahwa bangsa lain yang tak bersentuhan dengannya tidak memiliki potensi pikiran rasional, dalam titik terjauh, ini juga merupakan bentuk kolonialisasi persepsi, bila dikaitkan dengan peradaban islam, sebenarnya sumber utama pikiran rasionalnya tidak berasal dari peradaban yunani, hal ini dibuktikan dengan telah tumbuh suburnya disiplin keilmuan yang membutuhkan penalaran rasional sebelum khazanah pemikiran yunani digarap serius, di antaranya fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi).
Khusus dalam bidang kalam, pemikiran
rasional ala muktazilah telah mendominasi pemikiran masyarakat kala itu,
muktazilah juga menjadi doktrin resmi Negara, bahkan model kalam ini berkembang
dalam berbagai cabang, kondisi yang sama juga terjadi pada bidang kajian fiqh,
penggunaan nalar rasional dalam proses istinbath (pendalaman hukum) telah
sering digunakan, ia menjadi tradisi dalam dunia fiqh, penalaran rasional
tersebut hadir dalam beragam bentuk, di antaranya istihsan, istishlah, qiyas
dll, para tokoh fiqh yang menggunakan nalar rasional dalam proses istinbath
adalah Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafii (767-820 M), Ibnu
Hanbal (780-855 M), penting dicatat bahwa mereka semua hidup sebelum kedatangan
filsafat yunani dalam dunia islam.
Sekarang pertanyaannya adalah dari mana sumber pemikiran rasional filosofis berasal dalam dunia islam? Menurut para peneliti yang lebih kritis, tradisi pemikiran rasional filosofis tidak berasal dari luar, melainkan berasal dari dunia islam sendiri, sumbernya adalah kitab suci al qur’an, nalar rasional filosofis terbentuk saat umat islam mencoba mendialogkan antara teks al qur’an dengan realitas sosial, sebagaimana dipahami, realitas sosial selalu berubah, dan dalam setiap perubahan tersebut selalu memunculkan masalah baru, sebagian masalah tersebut belum ada jawaban detailnya dalam al qur’an dan hadist, pada posisi ini penggunaan nalar rasional dalam melakukan penafsiran difungsikan, semasa rasulullah hidup, masalah seperti ini tidak terjadi, mengingat semua masalah langsung ditanyakan kepada rasulullah, dan jawaban rasulullah selalu dianggap final.
Kecenderungan penggunaan nalar filosofis dalam wilayah penafsiran minimal dibagi ke dalam tiga bidang, yakni 1. Penggunaan takwil, takwil digunakan untuk menangkap makna dari teks yang sedang dibahas, takwil mengharuskan penafsir untuk melakukan kontemplasi mendalam, ia dituntut keluar dari makna lahiriah sebuah teks, jelas model berpikir seperti ini melibatkan gaya berpikir filosofis, 2. Pembedaan antara istilah yang hanya mengandung satu makna dengan istilah yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak), nuansa pemecahan filosofis lebih kentara pada bagian ke dua ini, 3. Penggunaan qiyas (analogi) atas masalah yang tidak memiliki penyelesaian langsung dalm teks al qur’an dan hadist, contoh, apakah kata muslim dan mukmin dalam al qur’an juga mencakup wanita dan budak?.
Asumsi yang meyakini bahwa gaya berpikir rasional bersumber dari rahim peradaban barat, merupakan salah satu bentuk paraktek post kolonialisme, khususnya pada wilayah persepsi, asumsi ini seolah ingin meneguhkan bahwa hanya peradaban barat yang pertama kali mencapai tahap kemoderenan, tentu asumsi ini keliru, karena pada dasarnya semua peradaban terutama islam pasti mencapai tahap kemoderenan, dalam artian kemajuan puncak, umat islam tidak perlu merasa terbebani dengan utang jasa peradaban yunani, sebab fakta membuktikan nalar rasional filosofis telah mapan dalam dalam disiplin keilmuan islam tertentu sebelum khazanah pemikiran yunani merengsek ke dalam dunia islam, islam butuh didekati dengan logika rasional, tapi bukan untuk diakali.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar