Sejak menjelang kemerdekaan,
perdebatan tentang format negara ideal telah meruncing, tokoh perjuangan
kemerdekaan di masa itu tak menemui kata sepakat, setiap pihak melontarkan
argumentasi demi membenarkan klaimnya, perdebatan ini terus berlangsung
menjelang detik-detik proklamasi, untungnya di masa genting tersebut dicapai
sebuah kompromi, kompromi ini sesungguhnya bersifat sementara, sekadar
memuluskan jalan deklarasi NKRI. Sebab sifatnya yang sementara, maka sudah
diprediksi perdebatan tersebut kembali memanas pasca proklamasi, pihak yang
merasa aspirasinya belum terpenuhi terus melakukan tuntutan, dalam kondisi
seperti ini,ruang diskursus yang adil dan objektif seharusnya kembali dibuka
oleh penguasa di masa itu, namun sayang ruang tersebut tak pernah benar-benar
dibuka secara serius.
Dalam konteks dasar negara,
perdebatan tak ada lagi, semua kelompok sepakat bahwa pancasila adalah pilihan
tepat, namun lain halnya dengan isi sila dalam pancasila, khususnya sila
pertama, kalimat dan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya, yang
seharusnya ada setelah kalimat ketuhanan yang maha esa, namun dihilangkan
secara sepihak, memicu perdebatan yang
tidak selesai hingga kini, walaupun tidak bisa dinafikan kelompok islam tertentu
di Indonesia tak lagi mempermasalahkan hal tersebut, namun kelompok islam yang
lain, baik yang berada dalam lingkaran islam politik, maupun yang berada
diluaranya, terus mempertanyakan penghilangan sepihak tujuh kata dalam sila
pertama pancasila, mereka terus berjuang agar tujuh kata itu dikembalikan pada
sila pertama, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan perjuangan ini, terlebih
bila ditempuh melalui jalur konstitusional, yang salah ketika perjuangan mereka
dihalangi dengan alasan yang tidak logis, terlebih ketika motifnya lebih pada
pembungkaman.
UUD yang belaku hari ini juga
mengandung masalah serius, tafsir yang semakin liberal terhadap UUD berpotensi
membunuh karakter UUD itu sendiri, UUD seolah menjadi bebas tafsir, setiap
penguasa melakukan tafsir berdasarkan kepentingan dan selera kekuasaannya, tak
bisa dipungkiri, pasca jatuhnya Soekarno, tafsir UUD menjadi semakin lepas,
tafsir tersebut sarat nuansa liberalistik, hal itu berlangsung hingga kini.
Oleh sebab itu tuntutan agar kembali kepada UUD 1945, yang belakangan ramai
disuarakan, terlihat sangat logis. Mata kita telah melihat, betapa mengerikan
efeknya ketika UUD dasar ditafsir dengan corak liberalistik, yang terjadi
justru UUD menjadi alat legitimasi kepentingan neoliberalisme, perampasan
sumber daya alam, pengelolaan ekonomi yang tidak benar-benar berpihak kepada
rakyat, konstruksi SDM yang semakin liberal, semuanya dikemas dengan regulasi
yang diklaim sebagai tafsiran lebih lanjut dari UUD, memang sangat miris, namun
itulah faktanya.
Wajar bila Soekarno menganggap
Indonesia adalah negara yang belum selesai, walaupun dalam realitasnya,
Soekarno juga terlibat dalam kegaduhan yang menyebabkan negara jauh dari kata
selesai, Indonesia adalah sebuah negara yang masih terus berproses menuju “kemenjadiannya”
Indonesia hari ini belumlah Indonesia yang diimpikan bersama para pendiri
bangsa, Indonesia hari ini lebih banyak menyimpang dari jalannya, jalan yang
seharusnya dilalui menuju Indonesia yang sebenarnya, Indonesia hari ini lebih
banyak disibukkan dengan kegaduhan politik jangka pendek, kegaduhan yang sangat
tidak substantif, pihak yang terlibat gaduh sesungguhnya menyadari kesia-siaan
dari kegaduhan tersebut, mereka sebenarnya sadar bahwa kegaduhan tersebut hanya
merupakan ajang pertarungan supremasi kepentingan.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M
Posting Komentar