Sara, kata yang sangat populer
akhir-akhir ini, sara menegaskan larangan diskriminasi berdasarkan suku, agama,
ras, dan antargolongan.Secara konseptual tidak ada yang salah dengan kata
tersebut, diskriminasi dalam bentuk apapun memang tak ada ruang pembenarannya,
itu sudah menjadi kesepakatan umum bagi mereka yang berakal sehat, bahkan
sebelum kemunculan kata sara. Prinsip yang berupaya dihidupkan dalam konsep
sara adalah keadilan, adil dalam konteks ini bukan berarti sama rata sama rasa,
namun adil yang dimaksudkan lebih kepada memastikan hak setiap kelompok
terpenuhi tanpa mengganggu kelompok lainnya, ini merupakan makna adil yang
lebih objektif.
Masalah kemudian muncul saat istilah
sara diberlakukan dalam kehidupan nyata, batasan-batasan
sara sering kabur, bahkan liar dalam banyak kondisi. Sara pada posisi fakta
sering digunakan guna menjatuhkan kelompok lain, memangkas hak kelompok lain,
parahnya lagi semua itu dilakukan demi mencapai kepentingan jangka pendek. Tak perlu jauh berkaca,
ambil contoh dalam proses politik, isu sara sangat rawan digunakan untuk
menjatuhkan lawan politik, salah satu bentuk konkritnya, pelaku politik yang
mengidentifikasi dirinya dari kelompok minoritas, acap kali
menggunakan sara sebagai perisai sekaligus senjata menyerang rival politknya,
dan di saat yang bersamaan, kelompok mayoritas juga tak jarang menggunakan
tindakan yang sama.
Dinamika mayoritas dan minoritas
dalam konteks Indonesia, merupakan masalah tersendiri, bila salah urus,
dinamika mayoritas dan minoritas akan berujung konflik, sentimen sara sangat
gampang muncul dalam hubungan mayoritas dan minoritas. Penggunaan label sara
yang tidak tepat berpotensi menimbulkan gesekan serius, bila dikaitkan dengan
kasus terkini, pilihan terhadap kandidat tertentu dalam pilkada karena
pertimbangan agama, yang mana pilihan ini sering dinilai sara, adalah sebuah
penilaian yang tidak tepat, terlampau keliru bila menganggap pilihan individu
karena pertimbangan agama adalah bagian dari sara yang berbahaya, kita seharusnya
sadar, bahwa pemilih memiliki kebebasan menentukan pilihan berdasarkan
kecenderungannya, bila pertimbangannya adalah kecenderungan agama, maka hal itu
sah dan benar, justru yang tidak benar adalah, saat muncul upaya untuk
menggiring opini, seolah calon pemimpin bersih hanya ada di agama tertentu dan
tidak ada di agama lain, cara ini bukan saja tidak benar tapi juga rawan memicu
gesekan, terlebih bila yang disindir agama mayoritas, cara seperti ini wajib
ditinggalkan, terlampau kolot untuk kesehatan demokrasi di Indonesia.
Semua elemen masyarakat perlu
menjaga diri dari konflik berbau sara, akan tetapi harus diingat pula,
implementasi sara harus berimbang dan objektif, salah bila memberikan label
sara kepada individu atau kelompok, yang mengambil pilihan dalam arti luas,
berdasarkan kecenderungan suku, agama, ras, atau golongannya. Semestinya hal
tersebut dipandang sebagai hak yang perlu dihormati, yang patut dianggap keliru
bila agama secara benderang digunakan menindas agama lain, suku yang satu mengintimidasi
suku yang lain, ras yang satu memperlakukan lebih rendah ras yang lain,
golongan yang satu menghujat golongan yang lain. Ini baru kategori sara yang
sebenarnya, karena semuanya bisa diklasifikasikan sebagai kekerasan, baik
secara verbal maupun non verbal. berhentilah memberikanlabel sara, karena label
sara belum tentumerupakan fakta dari sara itu sendiri, label hanya buatan yang
takmungkin lepas dari kepentingan, bukan kenyataan, yang nyata adalah fakta itu
sendiri, sebab disanalah yang apa adanya terjadi.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M
Posting Komentar