Ruang
kehidupan manusia sangat dinamis, perubahan terjadi dalam hitungan hari bahkan
menit. Sejak manusia resmi menempati bumi, ragam peristiwa besar telah terjadi,
baik yang konstruktif maupun yang destruktif, ragam bangsa telah timbul
tenggelam, ragam kelompok telah berkuasa dan dikuasai, bumi juga menjadi saksi
lahirnya peradaban, masa kejayaan peradaban, hingga hancurnya sebuah peradaban.
Bila kita percaya bahwa peradaban merupakan puncak pencapaian manusia, maka hal
itu sekaligus menjelaskan bahwa peradaban bukan sesuatu yang bisa dicapai
dengan mudah, juga bukan sesuatu yang bisa dihancurkan dengan mudah, ada syarat
khusus sehingga peradaban bisa lahir, dan ada syarat khusus pula sehingga
peradaban bisa luluh lantak. Tanpa syarat itu tidak mungkin peradaban bisa jaya
dan hancur.
Sebagian
manusia sering salah kaprah memandang peradaban, peradaban dilihat dalam
konteks yang terlampau materil, akibatnya materi dianggap sebagai syarat
lahirnya peradaban, pandangan ini tidak tepat, faktanya banyak komunitas yang
pernah menghuni bumi dengan kekayaan berlimpah namun tidak mampu melahirkan
peradaban tinggi. Lalu apa yang menjadi dasar bagi lahirnya peradaban? Literasi,
literasi dalam konteks ini mencakup membaca dan menulis. Tak ada peradaban yang
lahir tanpa didahului tradisi literasi, hal ini bisa dicek berdasarkan fakta
sejarah yang ada. Manusia tak mungkin mengenal adab tanpa menegenal literasi, pengenalan
manusia tentang adab yang mengantarkannya kepada peradaban.
Satu
kesalahan yang sering terjadi, manusia terkadang menggaungkan kata
peradaban,namun lupa, atau boleh jadi sengaja mengabaikan aktifitas literasi,
dianggapnya peradaban akan lahir dari sekadar propaganda, atau sekadar mengagumi
negeri yang sedang memegang kendali peradaban. Tidak, hal itu mustahil. Bila ingin
mewujudkan peradaban, maka bangunlah terlebih dahulu tradisi literasi, gerakan
kita harus berawal dari sini, dari gerakan literasi, bila benar-benar serius,
gerakan tersebut wajib dijalankan secara sistemik, tidak bisa orang per orang
saja. Perlu lahir kesadaran, bahwa mendorong gerakan literasi sebagai bagian
dari kerja peradaban, membutuhkan energi besar, butuh solidaritas yang kuat,oleh
sebab itu para pekerja literasi perlu mengorganisir kekuatan secara bersama,
atau paling tidak intens membangun komunikasi. Dalam perspektif gerakan,
komunikasi terbilang penting, fungsinya agar muncul kesepahaman bersama tentang
aksi yang dijalankan.
Disisi
lain sudah waktunya pula pemerintah tidak menjadikan literasi sebagai jargon
kosong, pemerintah harus membuat kerja yang lebih nyata, salah satunya dengan
memberikan dukungan penuh terhadap pekerja literasi, terhadap siapa saja yang
mendedikasikan hidupnya untuk gerakan literasi. Hal ini sangat mungkin,
peluangnya sangat besar, tinggal ada tidaknya kemauan pemerintah dalam hal ini,
akan tetapi sebelumnya pemerintah perlu memperbaharui cara pandangnya terhadap
gerakan literasi, jangan membingkai gerakan literasi dalam suasana yang sangat
formal, misalnya menghadirkan fasilitas lalu hanya menunggu agar orang datang
menggunakan fasilitas literasi tersebut, kasus ini sangat sering dijumpai dalam
penggunaan perpustakaan. Harus ada perspektif baru yang dihadirkan, bahwa
menyemai gerakan literasi mengaharuskan turun langsung ke masyarakat,
memberikan stimulus kepada meraka,termasuk melibatkan komponen pekerja literasi
diluar struktur pemerintahan, untuk melakukan hal ini gengsi pemerintah perlu
diturunkan sekian tingkat.
Mari
galakkan tradisi literasi,minimal mulai dari diri sendiri, membiasakan membaca
dan menulis, agar lahir karya, bisa dibayangkan, bila mayoritas manusia membaca
dan menulis, maka akan terjadi surplus produksi gagasan, semakin banyak gagasan
cemerlang, berarti semakin banyak pilihan menuju kemjuan, semakin maju suatu
masyarakat, maka berarti semakin dekat dengan peradaban, mari bangun dan
kuatkan tradisi literasi, sebab tanpa literasi, peradaban hanya menjadi ilusi.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M
Posting Komentar