Ramadhan
baru saja berlalu, umat islam menjalankan puasa selama sebulan penuh, lalu
ditutup dengan perayaan Idul Fitri, momen yang dianggap sebagai perayaan
kemenangan, kemenangan terhadap diri sendiri dan di luar diri. Bagi umat islam
puasa merupakan salah satu ibadah utama, ajang untuk melatih diri, dan
sebagaimana lazimnya, setiap latihan pasti menyisakan predikat lulus dan tidak
lulus, yang paling tahu lulus dan tidak lulusnya seseorang dalam menjalani
latihan adalah dirinya sendiri dan Tuhannya, kelulusan itulah yang dirayakan
dalam momen idul fitri, lulus berarti merasa menang.
Pada dasarnya tidak semua orang yang merayakan
Idul Fitri adalah manusia pemenang, yang kalahpun merayakan momen tersebut,
disini letak pentingnya mengevaluasi perasaan menang kita, mungkinkah kita
benar-benar menang atau tidak, caranya sangat sederhana, cukup mengevaluasi
ibadah kita selama ramadhan, total atau tidak. Pemenang sejati dari ramadhan
tidak akan pernah merasa menang, justru sebaliknya, mereka akan selalu merasa
kalah, mereka akan selalu merasa ibadahnya jauh dari maksimal selam ramadhan,
walupun di mata orang lain ibadahnya dianggap sudah sangat maksimal. Jadi
sebaiknya berhati-hatilah dengan perasaan menang di hari idul fitri, boleh jadi
itu pertanda kekalahan yang nyata.
Perasaan menang di hari fitri perlu dievaluasi
kembali, lebih jauh kita patut bertanya, apa yang kita menangkan ? pertanyaan
ini menjadi urgen khususnya saat dikaitkan dengan substansi tujuan puasa, yakni
latihan mengendalikan hawa nafsu secara utuh, bila kita membuka cara pandang
secara lebih luas, maka akan dijumpai realitas bahwa nafsu masih menjadi
pemenang setelah ramadhan, buktinya kemiskinan masih merajalela, keserakahan
terhadap kekuasaan masih kuat, ketidakadilan masih nyata, serta jenis
pemandangan pahit lainnya, bukankah semua pemandangan tersebut merupakan
konsekuensi dari berkuasanya nafsu. Hasrat menumpuk harta secara berlebihan
sambil mematikan rasa kepedulian terhadap sesama melahirkan kemiskinan, ambisi
kekuasaan yang tidak terkontrol melahirkan keserakahan terhadap kekuasaan,
menempatkan kepentingan di atas apapun menyebabkan lahirnya ketidakadilan.
Pemahaman terhadap kontrol hawa nafsu perlu
diperluas, bukan hanya kontrol terhadap nafsu pribadi, tetapi juga kontrol
terhadap nafsu orang lain, mengontrol nafsu pribadi lebih identik dengan
menyelamatkan diri sendiri walaupun tidak sepenuhnya benar, membiarkan nafsu
orang lain tak terkontrol padahal kita bisa melakukannya berarti membuka
peluang lahirnya kemungkaran, sungguh tidak etis membiarkan kemungkaran
bersolek ria selama ramadhan, mereka yang mampu mengontrol nafsunya dan
membantu orang lain mengontrol nafsunya, boleh disebut sebagai pemenang di hari
fitri, namun orang seperti ini sudah pasti tidak akan merasa dirinya menang,
justru mereka selalu merasa kalah.
Idul Fitri seharusnya dilihat sebagai momen
ekspresi syukur, yang berpuasa maksimal bersyukur mampu melakukannya, sedangkan
yang belum mampu berpuasa maksimal juga bersyukur setidaknya masih dipertemukan
dengan Idul Fitri, bagi mereka idul fitri menjadi momen evaluasi diri dari
ketidakmaksimalan puasanya. Jadi levelnya diturunkan satu tingkat, bukan lagi
soal kemenangan, sebab sepertinya kemenangan bukan maqam manusia awam, tetapi
kesyukuran, syukur lebih bisa dijangkau oleh manusia awam.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar