Reformasi yang pecah pada 1998
memberikan harapan besar bagi rakyat Indonesia, momen ini disambut sebagai
momen kemenangan demokrasi, setelah 32 tahun otoritarianisme berkuasa dengan
memanipulasi demokrasi, kehadiran reformasi dianggap sebagai berkah guna mewujudkan
demokrasi subtantif, optimisme sangat menguat di masa itu. Seiring dengan
berjalannya waktu, optimisme tentang harapan terwujudnya demokrasi hakiki diuji
oleh kenyataan, faktanya mewujudkan demokrasi subtantif tak semudah
membayangkannya, ternyata optimisme saja tak cukup, juga dibutuhkan manusia
yang memiliki integritas yang tinggi terhadap demokrasi, manusia yang tidak
tergoda memanfaatkan demokrasi untuk melancarkan petualangan hitam demi
kepentingan kelompok dan kroninya, manusia seperti ini yang cukup langka di
tengah semakin bertambahnya usia demokrasi Indonesia.
Masyarakat Indonesia berharap
dengan semakin bertambahnya usia demokrasi maka demokrasi akan semakin
mengalami kemajuan, akan tetapi harapan tersebut sepertinya lebih dekat dengan
angan belaka. Semakin kesini demokrasi kita bukannya mengalami kemajuan
berarti, perjalanan demokrasi kita menjadi sangat lambat, bahkan cenderung
stagnan, macet di tengah jalan. Lebih jauh demokrasi terjerumus ke dalam
prilaku yang dikutuknya, yakni otoritarianisme, metamorfosis kelahiran
otoritarianisme biasanya mengambil dua bentuk. Pertama pembatasan terhadap
kebebasan secara perlahan, dalih yang biasa dipakai adalah konteks kebebasan
yang berlaku saat itu dianggap berlebihan, sehingga perlu dibatasi oleh aturan
yang mengikat, hal ini akan menjadi masalah tatkala tafsir batasan kebebasan
ditentukan oleh penguasa, tafsir batasan kebebasan menurut penguasa sangat
rawan mengikuti kepentingan kekuasaan. kebebasan yang dibatasi secara perlahan
lambat laun akan memberangus kebebasan seluruhnya, disinilah otoritarianisme
mengukuhkan diri. Kita percaya bahwa kebebasan memang tidak boleh tanpa
batasan, namun ketika penafsir batasan kebebasan adalah penguasa maka hal itu
akan menjadi masalah serius.
Kedua, otoritarianisme juga
biasa lahir dengan melakukan pembatasan kebebasan secara total, cara yang kedua
ini terbilang ekstrim, model ini biasanya terwujud saat diktator memimpin
sebuah negara, atau saat junta militer melakukan kudeta lalu mempermanenkan
kekuasaannya. Model kedua ini sangat gampang dirasakan dan disadari oleh
masyarakat, namun mereka akan sangat kesulitan untuk keluar dari belenggu
otoritarianisme model ini, bila berkaca kepada fakta sejarah, model
otoritarianisme semacam ini biasanya bisa terawat hingga puluhan tahun.
Terlepas dari hal itu, baik model otoririanisme yang pertama maupun model
otoritarianisme yang kedua sama-sama membunuh demokrasi, mustahil demokrasi
berjalan beriringan dengan otoritarianisme.
Dalam konteks penguasa di
Indonesia hari ini, ada kesan kuat model otoritarianisme jenis pertama sedang
dijalankan, indikatornya bisa kita lihat dengan lahirnya ragam regulasi yang
perlahan tapi pasti memangkas kebebasan, yang paling vulgar adalah Perppu
Ormas. Dalih yang digunakan terbilang klasik, penguasa meminjam dalih demokrasi
untuk membunuh demokrasi itu sendiri, penegasan tentang keutuhan pancasila
hingga ke tataran praktis sebagai dalih mengeluarkan Perppu Ormas, merupakan
contoh nyata peminjaman dalih demokrasi guna membunuh demokrasi itu sendiri.
Penguasa terjebak dalam dimensi irasional, celakanya tidak sedikit pengusung
kebebasan berpendapat di masa lalu yang turut terjebak dalam dimensi irasional
ini, mereka beramai-rami memberikan dukungan penuh kepada pemerintah dalam
kasus Perppu Ormas. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi kita bukan hanya
macet, tapi juga berjalan mundur, dan lebih dekat kepada otoritarianisme.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar