Dalam konteks
pemerintahan modern, Hak Asasi Manusia merupakan produk demokrasi, lebih jauh
HAM dianggap sebagai pilar demokrasi, demokrasi yang sehat tidak akan mungkin
terbangun tanpa disertai penegakan HAM secara konsisten. Khusus untuk konteks
Indonesia wacana penegakan HAM digaungkan dengan sangat keras pasca reformasi,
sebagai sebuah wacana HAM sesungguhnya sudah ada sebelum reformasi, namun
penegakannya masih sangat setengah hati, bahkan tidak jarang HAM ditafsirkan
secara tunggal oleh penguasa, akibatnya HAM menjadi tersandera oleh kekuasaan,
hal tersebut terjadi bukan hanya di era orde baru tetapi juga di era orde lama.
Secara formal
diskursus HAM dalam konteks modern, pertama kali menguat di dunia barat, hal
tersebut sebagai hasil dari zaman pencerahan, seiring perkembangannya,
khususnya saat negara-negara di dunia timur mampu memerdekakan diri, maka
diskursus tentang HAM juga mulai tumbuh subur di wilayah itu, pergolakan negara
terjajah di timur sesungguhnya merupakan respon kesadaran tentang pentingnya semua
bangsa di dunia untuk mendapatkan hak asasinya sebagai manusia untuk merdeka,
lepas dari belenggu barat. Masa kolonialisme barat terhadap dunia timur
merupakan kontradiksi penegakan HAM yang paling nyata, di masa itu masyarakat
barat sudah menggaungkan HAM, tetapi negaranya sendiri masih aktif melakukan
proses penjajahan terhadap dunia timur, merampas Hak Asasi Manusia masyarakat
dunia timur, sebuah episode sejarah yang sungguh kelam.
Jika mengamati
dinamika pandangan terhadap HAM di Indonesia, maka penggiat HAM paling tidak
bisa dipetakan ke dalam dua kutub besar, kutub pertama memahami HAM dalam
kerangka teori universalisme sedangkan kutub kedua mehami HAM dalam kerangka
teori partikularisme. Teori universalisme memandang bahwa varian bentuk HAM di seluruh
dunia selalu sama, karena HAM merupakan hak asasi paling dasar yang harus
dimiliki oleh semua manusia, sehingga varian bentuknya tidak mengenal batas
negara. Konsekuensi pandangan ini dalam bentuk teknis meniscayakan prilaku yang
di dunia barat yang dihidupkan atas nama HAM, misalnya LGBT, pergaulan bebas
dll juga harus diberikan ruang dalam konteks kebangsaan kita atas nama HAM.
Sedangkan teori partikularisme dalam kaitannya dengan HAM memandang bahwa
varian bentuk HAM bersifat terbatas, bergantung pada nilai dan budaya yang
hidup dalam sebuah negara, teori ini memandang bahwa HAM harus berdialog dan
berdamai dengan nilai dan budaya yang telah menjadi identitas sebuah bangsa,
dalam bentuk teknis konsekuensi pandangan ini adalah prilaku atas nama HAM di
dunia barat, misalnya LGBT dan pergaulan bebas tidak harus diterima dalam
konteks Indonesia, bahkan perlu ditolak karena bertentangan dengan nilai dan
budaya yang telah menjadi identitas bangsa.
Kegaduhan yang
terjadi di ruang publik, khususnya perdebatan terkait boleh tidaknya sebuah
prilaku dilegalkan atas nama HAM, sesungguhnya merupakan turunan perdebatan
antara kedua teori di atas (universalisme dan partikularisme). Secara spesifik
dalam ruang kebangsaan kita, perlu ada penegasan bahwa partikularisme lebih
pantas diadopsi sebagai perspektif dalam memandang HAM, sudut pandang yang
lahir dari teori ini lebih ramah terhadap nilai dan budaya yang telah menjadi
identitas bangsa kita, di sisi lain teori ini juga tidak mengandung kesan
pemaksaan terhadap perspektif kebangsaan kita. Bagi sebuah bangsa yang
terpenting adalah identitas, identitas bukan sekadar pembeda bagi sebuah
bangsa, lebih dari itu, identitas merupakan wadah untuk merawat ingatan akan
kebesaran sebuah bangsa, lalu mereproduksinya menjadi kekuatan utama bagi
bangsa, ingat setiap bangsa yang hari ini dianggap hebat pasti memiliki
identitas kebangsaan yang sangat terawat.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar