Proses penggusuran
yang baru berselang beberapa hari terjadi di Tanjung Sari, Luwuk Banggai,
Sulawesi Tengah menyisakan ribuan tanya, betapa tidak, dalam penggusuran
tersebut tindakan aparat yang terdiri dari Polisi, Satpol PP, dan TNI melampaui
batas kewajaran sebagai manusia. Warga yang berupaya bertahan di lokasi
penggusuran dibubarkan paksa oleh aparat dengan menggunakan tembakan peluru
karet dan gas air mata, lebih paranya lagi ibu-ibu yang menggelar sajadah
sambil zikir untuk menghalangi penggusurun justru dibubarkan paksa bahkan
ditembaki dengan gas air mata.
Dalam
penggusuran paksa kali ini pihak kepolisian mengerahkan 837 personel gabungan
Polres Banggai dan Polda Sulteng, sebuah jumlah yang besar, sayangnya jumlah
yang besar ini digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada rakyat
sendiri, masyarakat yang menggunakan peralatan seadanya demi mempertahankan
hidupnya, dipaksa berhadapan dengan 837 personel kepolisian dengan peralatan
lengkap. Apa yang berada di benak aparat saat berhadapan dengan rakyat sendiri?
kaum yang seharusnya dibelanya, kaum yang membayar pajak demi membiayai gaji
mereka. Apakah mereka merasa bangga karena alasan tugas yang tidak jelas ukuran
kemanusiaannya? Entahlah, biarkan mereka merenung. Pencopotan terhadap Kapolres
Banggai, AKBP Heru Pramukarno, pasca kejadian sudah merupakan langkah tepat,
tapi hal tersebut tidak menyelesaikan akar masalah. Rakyat Tanjung Sari masih
terancam penggusuran.
Dari sisi hukum,
Pengadilan Negeri Luwuk juga harus bertanggungjawab dalam kasus ini, diketahui
penggusuran ini terjadi atas kekeliruan PN Luwu karena ketidakjelasan putusan
objek sengketa yang dikeluarkannya, objek putusan justru meluas ke rumah dan
pemukiman warga, akibatnya tanah seluas 200 Hektar, tempat bermukim 200 unit
rumah, 342 KK, serta 1411 jiwa terancam kehilangan tempat tinggal, padahal
mereka memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM resmi kementerian ATR/BPN.
Muasal konflik sesungguhnya merupakan sengketa perdata antara dua pihak yang
seharusnya tidak melibatkan warga lainnya. Pemerintah setempat juga harus
bertanggungjawab atas tragedi ini, tindakan ini mengindikasikan pemerintah
tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya.
Apa yang terjadi
di Luwuk Banggai sesungguhnya merupakan cerminan dari parahnya konflik agraria
di Indonesia, 70-80 % tanah di Indonesia dikuasai oleh pihak asing, kaget?
Miris bukan? Tapi itulah faktanya. Kita mengaku sebagai pemilik negara ini tapi
tanah kita hampir seluruhnya dikuasai asing, ingat! Asing bukan sekadar
menguasai tanahnya, tapi sumber daya alam yang terkandung dalam tanah itu juga
dikuasai mereka, sesuatu yang benar-benar tidak adil, belum lagi di tanah yang
mereka kuasai sering terjadi konflik perebutan lahan dengan warga setempat,
bila ini terjadi, mereka langsung meminta bantuan aparat, apakah aparat membela
rakyat dalam kasus seperti ini, tidak, dan jangan berharap, aparat justru
menindak warga pribumi, hebat kan, sudah menguasai tanah kita, memerintah
aparat pula, lalu menggunakan aparat untuk menindak kaum pribumi, lalu rezim
yang berkuasa sekarang ngapain saja, sibuk pencitraan? Mungkin.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar