Debat kandidat
Pilgub Sulawesi Selatan (Sulsel) baru saja digelar, ajang tersebut merupakan
ajang “kampanye terbuka” yang paling dinanti segenap masyarakat Sulsel. Sudah
sejak awal saya berencana membuat tulisan ringkas tentang debat tersebut, namun
baru kali ini terealisasi. Pasca debat, ragam opini bermunculan, apresiasi dan
kritik ramai terdengar, pujian dan sinisme tak kalah berisiknya, ya itulah
demokrasi, ruang dimana setiap orang bebas menyampaikan pandangannya sepanjang
bisa dipertanggungjawabkan, pemilihan gubernur include dalam demokrasi,
sehingga semua kandidat yang maju bertarung harus siap mendengarkan “nyanyian
demokrasi” masyarakat Sulsel pasca debat.
Secara umum,
debat Pilgub Sulsel putaran pertama, masih terbilang normatif, etika demokrasi
dipertontongkan dengan baik di atas panggung (semoga tidak ada kaitannya dengan
upaya membangun citra). Yang menarik dalam debat ini karena semua pasangan
calon mempertontongkan program terbaiknya, panggung debat tersebut sungguh
menjadi panggung pertarungan program terlepas dari kelebihan dan kekurangan
program masing-masing, singkatnya yang terjadi adalah debat program.
Pemandangan seperti ini terlihat adem, minimal sedikit mengimbangi suhu Pilgub
yang semakin panas, sayangnya dalam tataran kampanye di lapangan, model
kampanye belum selamanya berbentuk kampanye program, cara-cara kurang sehat
masih sering dijumpai.
Dalam debat
Pilgub Sulsel kali ini, para calon terlihat sangat ngotot pada kehebatan program
masing-masing. Walhasil debat terkadang mengarah pada debat ego program, debat
yang tidak sepenuhnya berbasis rasio terbuka. Yah tapi itulah Pilkada, setiap
calon demi menggaet suara pemilih pasti akan habis-habisan menegaskan
programnya sebagai yang paling unggul, sudah bisa dipastikan pula, para tim
kampanye mereka telah berpesan agar tidak pernah mengiyakan satu poin pun
program lawan, hal seperti ini sudah menjadi rahasia umum dalam dunia marketing
politik.
Setelah debat
putaran pertama, masyarakat Sulsel disuguhkan dengan kayanya alternatif
pilihan, walaupun sebenarnya bila mengacu pada sejarah Pilkada, debat kandidat
tidak terlalu signifikan dalam merubah pilihan masyarakat yang sudah
menjatuhkan pilihan, masyarakat yang sudah menjatuhkan pilihan rasionya telah
terikat pada kandidatnya. Peluangnya justru berada pada masyarakat yang belum
menjatuhkan pilihan, masyarakat yang masih ragu terhadap pilihannya, serta
masyarakat yang sengaja menunggu debat kandidat sebelum menentukan pilihannya.
Di bagian ini semua kandidat perlu mencurahkan kemampuan terbaik untuk
menjelaskan programnya, sehingga benar-benar nampak menarik dan meyakinkan.
Dalam konteks debat Pilkada, calon dengan kemampuan argumentasi paling
mendalam, serta kelugasan dalam menjelaskan program, yang paling berpotensi
meraup suara sebagai efek debat, sebaliknya calon dengan kemampuan argumentasi
yang terlalu datar, berbelit menjelaskan programnya, menjadi yang paling
berpeluang ditinggalkan pemilih.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar