Islam sebagai agama memiliki muatan ajaran yang utuh,
dimensi ajaran islam tidak hanya mengatur ibadah dalam arti sempit, lebih dari
itu ajaran islam juga menyentuh dimensi yang jauh lebih luas, ajaran islam
memberikan gambaran yang rinci tentang tata kehidupan di tengah masyarakat,
nilai Islam tersebut juga sangat relevan diterapkan dalam ruang kebangsaan
kita. Jika mengamati situasi terkini ruang kebangsaan, maka kita akan menjumpai
polarisasi di tengah masyarakat, secara samar masyarakat terbelah ke dalam dua
kutub, satu kutub memberikan perhatian intens teradap keberagaman, kutub ini
menganggap nuansa keberagaman di Indonesia sungguh terancam, dalam sudut
pandang mereka ancaman keberagaman tersebut salah satunya muncul dari kelompok
radikal yang melakukan pemaksaan keendak atas nama agama.
Kelemahan mendasar kelompok ini karena keberagaman yang
mereka gaungkan dalam banyak kasus seringkali tidak proporsional, prilaku yang
merugikan nilai yang telah menjadi identitas bangsa masih diamini dengan dalih
keberagaman, sementara di sisi lain muncul kelompok yang memiliki semangat yang
kuat untuk memperjuangkan nilai agamanya, kelompok ini berjuang melalui kerang
demokrasi yang pas menurut pandangan mereka, kelemahan kelompok ini karena
mereka dalam sisi tertentu cenderung tidak bisa menerima perbedaan.
Secara sederhana polarisasi kelompok sebagaimana yang
dijelaskan di atas, merupakan pertentangan antara nilai moderat dan nilai
progresif. Dalam Islam nilai progresif dan nilai moderat sama-sama diakui
keberadaannya, banyak ajaran islam yang mendorong penerapan sikap moderat,
namun tidak sedikit pula ajaran islam yang berbicara pentingnya penerapan nilai
progresif. Masalah kemudian muncul karena pada tataran realitas, nilai moderat
dan nilai progresif sering dipertentangkan, muncul anggapan seolah keduanya
tidak bisa dijalankan secara bersamaaan, masyarakat islam dipaksa untuk memilih
salah satu dari keduanya.
Akibatnya kelompok dalam dunia islam yang konsen mendorong
penerapan nilai moderat kehilangan aspek progresifnya, mereka sangat konsen
mendorong pentingnya penerapan nilai keberagaman namun mereka cenderung diam
saat Islam dipojokkan, termasuk bila pemojokan itu terjadi tepat di depan mata
mereka, sedangkan kelompok dalam dunia islam yang kukuh mengusung nilai
progresif memiliki semangat juang tinggi dalam menegakkan nilai ajaran islam namun
rawan terjatu ke dalam klaim kebenaran, mereka terlalu mudah menuduh kelompok
lain sebagai piak yang salah hanya karena berbeda pandangan, penghargaan
teradap keberagaman sangat minim dalam kelompok ini.
Dalam konteks ruang kebangsaan terkini model islam
progresif moderat seharusnya didorong secara bersama, model berislam progresif
moderat adalah sebuah model berislam yang memiliki semangat juang yang kukuh
dalam memperjuangkan ajaran islam namun tetap terbuka terhadap keberagaman
secara proporsional, bila model berislam ini diterapkan maka ini bisa menjadi
jawaban atas polarisasi samar-samar yang terjadi di tengah masyarakat, model
berislam ini mampu mengurai ketegangan antara dua kutub yang berseberangan,
dalam ruang kebangsaan kita keberagaman memang tidak bisa ditolak, kita harus
menyikapinya, keberagaman merupakan fakta berbangsa yang hadir di depan mata,
sikap yang paling tepat terhadap keberagaman adalah sikap pengakuan dan
penghargaan teradap keberagaman itu, mengakui bahwa keberagaman merupakan fakta
sejarah yang harus diterima, serta menghargai keberagaman tersebut dalam batas
yang proporsional, penghargaan terhadap keberagaman menunjukkan kebijaksanaan
sikap dalam berbangsa, di sisi lain, sebagai seorang muslim, kita tetap harus
memiliki ghiroh dalam memperjuangkan nilai Islam yang diyakini kebenarannya,
perjuangan ini tentu harus melalui saluran pas, sebagai orang yang hidup di
Indonesia, maka kita bertanggungjawab untuk memastikan bahwa perjuangan yang
dilakukan juga berkontribusi pada penguatan tata kelola kebangsaan kita, dengan
perjuangan tersebut maka Indonesia sebagai rumah bersama semakin kokoh, kiranya
model perjuangan ini yang paling pas dalam konteks kebangsaan kita.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar