BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Etika dan Moral Bangsa di Tengah Himpitan Modernitas

Dalam terminologi Aristoteles manusia diistilahkan dengan makhluk “zoon politicon” (manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan sesamanya). Dalam kenyataannya proposisi tersebut memang terasa benar , terlebih lagi jika dikaitkan dengan sifat dasar manusia yang selalu butuh untuk bergaul dengan manusia lain, hal senada juga pernah diungkapkan oleh Abraham Maslow dalam teorinya “ piramida kebutuhan manusia” Maslow mencantumkan “pergaulan dengan manusia lain” merupakan salah satu kebutuhan dari setiap individu.

Pada hakikatnya sekalipun kita tidak mengacu kepada kedua teori di atas, setiap individu tetap akan menyadari bahwa bergaul dengan sesamanya merupakan sebuah keharusan yang mau tidak mau harus ia lakukan, sebagai sampel ketika seseorang mencoba mengisolasi diri secara total dari individu lain maka dapat dipastikan kejenuhan dan kepusingan yang luar biasa akan menghinggapinya. Mungkin saja beberapa diantara kita akan mencoba membantah kedua teori di atas dengan mengajukan teknik penyendirian yang dilakukan oleh kaum sufi sebagai bukti bantahan, untuk konteks tersebut seharusnya kita mampu memahami bahwa proses menyendiri (tidak bergaul dengan manusia lain) yang dilakukan oleh kaum sufi, tidaklah bersifat permanen, melainkan untuk sementara waktu saja sampai ia menemukan kesejatian diri. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesama manusia mendatngkan konsekuensi logis tersendiri bagi setiap individu, lahirlah konvensi-konvensi antara mereka, walaupun dalam tataran tertentu dan dalam perkembangannya, konvensi-konvensi tersebut seringkali dibakukan dalam bentuk hukum yuridis formal, tetapi sebagian diantaranya tetap dibiarkan hidup di tengah masyarakat tanpa harus disentuh oleh otoritas hukum formal, konvensi tersebutlah yang sering dijadikan tendensi untuk mengukur etika dan moral setiap individu, dalam skala makro ia dijadikan patokan untuk menilai etika dan moral sebuah bangsa.

Dalam tataran filosofis etika dan moral sering didefinisikan secara mirip sebagi filsafat yang membahas mengenai baik dan buruk, yang pantas dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan, dengan menjadikan tindakan manusia sebagai objek kajian. Berangkat dari definisi tersebut, maka seyogyanya kita mampu memahami bahwa penafsiran mengenai baik dan buruk selalu terkait dengan ruang sosial manusia, meliputi waktu dan kondisi tempat manusia berdiam, sehingga merupakan sebuah kewajaran jika persepsi manusia mengenai baik dan buruk, senantiasa mengalami pergeseran dari masa ke masa, sebagaimana telah dibuktikan oleh hukum sejarah dimana banyak tingkah laku dan perbuatan manusia yang dulunya dianggap sopan tetapi sekarang justru dianggap berlebihan, bahkan orang yang masih bersikukuh pada etika tersebut terkadang dikenai sanksi hukum formal yang berlaku, semisal perbuatan seorang ata (pembantu atau budak, red) yang rela mengorbankan nyawa atas perintah tuannya dianggap sebagai sebuah perbuatan mulia dalam konteks masyarakat Sulawesi Selatan klasik, akan tetapi dalam ruang masyarakat modern yang lebih mementingkan hak asasi atas setiap manusia, maka perbuatan tersebut bukannya dianggap sebagai sebuah perbuatan mulia, tetapi justru dipersepsi sebagai sebuah tindakan konyol yang sama sekali tidak mendapat tempat dalam ruang modernitas.
Terdapat beberapa tindakan manusia di zaman tradisional ( tradisional dalam tahapan zaman bukan dalam varian aliran pemikiran) yang termasuk kategori etis namun ia dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat tidak etis dalam kultur masyarakat modern.Untuk kasus ini kita bisa merefleksi adat yang berlaku di zaman kerajaan, ketika seorang rakyat diharuskan membungkuk saat ia menghadap kepada sang raja, jika kebiasaan semacam itu yang ingin kita adopsi dalam dunia kekinian, maka ia akan segera menampakkan diri sebagai sebuah hal tabu, sebab tuntutan kemoderenan menghendaki agar rakyat bersikap biasa saja ketika bertemu dengan presiden (pengecualian untuk beberap tempat yang masih mempertahankan adat-adat kraton). Pada faktanya, pergeseran norma etika tidak hanya terjadi pada tataran praktis, melainkan pergeseran serupa dapat kita jumpai dalam tataran konsep, hal tersebut akan semakin jelas ketika kita coba membandingkan antara konsepsi beberapa pemikir Yunani kuno seperti Epikurus, Stoic, Aristoteles, Plato dll dengan konsepsi etika menurut Immanuel Kant yang mewakili zaman modern, menurut Kant dalam “second critique”nya, konsepsi etika dari beberapa pemikir Yunani awal tidak mampu membedakan antara “virtue” (kebaikan tertinggi yang bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom, universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedan ras, suku atau bangsa) dan “happiness” yang bersifat conditioned, bersyarat, heteronom, dan particular (berbeda antara orang yang diinginkan antara orang yang satu dan orang yang lain, antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain). 

Dengan kata lain hubungan antara virtue dan happiness tidak begitu jelas dalam konsepsi yang dikemukakan oleh para pemikir Yunani, mereka cenderung menyamaratakan saja antara keduanya, paling banter hanya Aristoteles yang selangkah lebih maju dari pemikir Yunani lainnya dengan cara mengklasifikasikan nilai-nilai moral seperti kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kesederhanaan (temperance), dan keadilan (justice).sepintas kita bisa menarik benang merah dengan berasumsi bahwa pergeseran konsep etika dari zaman klasik ke zaman modern dipengaruhi oleh realitas praktis etika yang berubah dari waktu ke waktu, akan tetapi di lain sisi kita bisa melakukan pembacaan terbalik terhadap asumsi tersebut, bahwa bukan fakta moral yang mempengaruhi perubahan konsep etika, tetapi justru konsep etika yang berpengaruh terhadap perubahan fakta moral di lapangan, rasionalisasinya bahwa cara pandang yang dianut berdasarkan teori etika tertentu mampu mengarahkan seseorang dalam bertindak, sebagaimana seorang komunis bertindak berdasarkan teori “materialisme dialektika historis” ala Karl Marx, karena cara pandang tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk menjadi ideologi bagi dirinya. 

Tetap terbuka ruang kemungkinan jika asumsi pembacaan terbalik hanya akan berlaku di kalangan kaum terdidik, karena mereka yang terbilang paling aktif mengkonsumsi buku-buku terkait etika, sementara kalangan awam akan lebih cenderung mengaktualkan etika lewat pahaman tradisional yang diajarkan secara turun temurun oleh pendahulunya, atau melalui keyakin agama yang mereka anut sebab setiap ajaran agama selalu menuntut pemeluknya untuk mempraktikkan ajaran etika dan moral baik sebagaimana yang diperintahkan oleh kitab suci agama tersebut, pada faktanya, pengaruh agama dalam mengaktualkan etika juga dapat kita pandang dalam pola etika kaum terdidik, hanya saja ia tidak terlihat sangat dominan layaknya yang terjadi pada kelas masyarakat awam , hal ini disebabkan pemahaman awal mereka tentang moral telah bercampur dengan konsepsi etika yang mereka konsumsi dari buku-buku, atau tempat diskusi sehingga melahirkan sebuah sintesa baru. 

Ada sebuah pertanyaan yang patut dipikirkan bersama terkait dengan topik di atas, apakah tindakan individu mengenai moral selalu berkiblat kepada teori dari para konseptor etika, atau ia bertindak berdasarkan konsep etika menurut dirinya, sebab baginya setiap orang memiliki pemahaman tersendiri mengenai moral. Jika kita sepakat bahwa pemahaman mengenai etika dan moral merupakan privasi dari setiap individu, maka secara tidak langsung kita sepakat jika etika tidak harus dikonsepsikan secara formal oleh para pemikir etika, karena konsepsi mereka belum tentu mampu mengcakupsemua pahaman masyarakat mengenai etika dan moral (penulis tidak bermaksud mengkontradiksikan statement terakhir dengan penyataan pada kalimat sebelumnya yang menyajikan konsep etika dari beberapa pemikir). di Alam jagad sosial, terdapat kecenderungan dalam masyarakat pada strata sosial tertentu yang mampu mempengaruhi munculnya pergeseran moral. Pergeseran yang dimaksudkan bukan hanya pergeseran dalam satu rangkaian koridor moral (sebuah item moral baik berubah ke item moral baik lainnya atau sebaliknya) melainkan ia juga bisa berarti pergeseran dalam dua rangkaian moral yang memang secara alamiah terlihat kontradiktif ( pergeseran dari moral buruk ke moral baik atau dari moral baik ke moral buruk) hal tersebut sangat bergantung kepada situasi realitas dan konteks yang lagi dicandrai oleh manusia dalam lingkungan masyarakatnya. 

Sekedar uraian singkat dan bukan bermaksud menggeneralkan, proses perubahan moral dan etika pada umumnya mengalir dari atas kebawah, dengan ungkapan lain ia dimulai oleh hirarki masyarakat di lapis atas lalu diikuti oleh masyarakat dilapis bawah. Pemerintah atau penguasa sebagai representasi dari masyarakat dibagian atas (pembedaan ini mungkin akan terasa janggal di telinga sebagaian pembaca karena pahaman masyarakat seringkali menganggap pemerintah atau penguasa berada di luar lingkaran strata masyarakat) memiliki andil besar dalam proses perubahan moral baik pada tataran konseptual maupun dalam lingkup praktis, dalam pandangan penulis aggapan tersebut bukan sesuatu hal yang sukar dipahami, mengingat pemerintah sebagai pengendali kebijakan masih menjadi sorotan rakyat, bahkan bagi sebagian rakyat segala tindakan pemerintah merupakan model ideal yang patut diikuti sekalipun ia terlihat menyimpang dalam kerangka psikologis, kita mungkin bisa berpandangan bahwa prilaku masyarakat yang tanpa tedeng aling-aling mencomot semua prilaku aparatus negara, sekalipun ia merupakan etika buruk semisal korupsi atau sering mangkir dari kewajiban kenegaraan merupakan jenis prilaku menyimpang, akan tetapi dari perspektif lain tindakan tersebut juga bisa dilihat sebagai sebuah cerminan keputusasaan masyarakat terhadap prilaku aparatus pemerintah, sebagaimana guyonan yang sering kita dengar “mengapa kami tidak boleh berprilaku menyimpang kalau pemerintah saja sering beretika menyimpang”. 

Jika nalar semacam ini terbentuk dalam mindset masyarakat, maka pergeseran dari etika luhur ke moral rongsokan akan dipersepsi sebagai dinamika natural. Pada tahapan ini kita tidak mungkin menafikan reaksi dari sekelompok masyarakat terdidik terhadap prilaku bejat dari beberapa punggawa negara, tentunya reaksi negatif tersebut akan dikonkritkan dalam berbagai format mulai dari kritik lewat dunia maya, diskusi kritis di berbagai media, sampai aksi terbuka di lapangan. di Era modernitas, kita seakan sangat sulit untuk menemukan pribadi-pribadi pemimpin agung yang selalu memperlihatkan etika dan moral terpuji, dan kalaupun ada maka yakin dan percaya jumlahnya bisa dihitung jari, sementara pada level konseptual, pemerintah mampu menstimulus rakyat untuk merubah konstruksi etika tertentu secara konsepsional lewat pelembagaan konsepsi etika secara formal melalui institusi (meminjam bahasa Michael Foucault), walaupun tindakan tersebut bukan berjalan tanpa tantangan, sebab dalam iklim demokrasi konsepsi etika yang ditelorkan lewat institusi terkadang menuai kontroversi berkepanjangan, sebagaiman produk fatwa MUI atau yang lalu dibakukan dalam bentuk undang-undang oleh DPR, terkadang memancing reaksi luas dari masyarakat karena dianggap melanggar kebebasan berekspresi. 

Sekadar bahan perbandingan, dalam tulisan ini tetap perlu diketengahkan realitas lain bahwa pada dasarnya setiap kelompok masyarakat memilki standar etika tertentu berdasarkan starata sosialnya, yang dalam berbagai kasus standar etika antara starata sosia biasanya berbeda, bahkan terdapat kecenderungan untuk melestarikan perbedaan itu diantara strata sosial yang berbeda, karena secara sadar ia telah menjelma sebagai penanda bagi kelompoknya. Untuk lebih jelasnya kita bisa membandingkan standar etika dalam kelompok masyarakat pinggiran dengan standar etika menurut kelompok masyarakat elit, namun dalam pandangan penulis tidak adil kiranya jika kita ingin mendikotomikan ragam etika yang berkembang dalam setiap kelompok, terlebih lagi jika memberikan label “rendah” terhadap etika masyarakat pinggiran dan label “tinggi” kepada etika masyarakat elit (elit perkotaan atau pedesaan) sebab dari sudut pandang cultural studies pembagian tersebut sangat bernuansa “post kolonial”, olehnya itu ia lebih layak dihargai sebagai bentuk kergaman etika yang dipengaruhi oleh situasi dan konteks dari setiap individu.

Era modernitas sebagai sebuah tahapan terkini dalam kehidupan manusia , merupakan sebuah zaman yang dalam kehadirannya turut membawa berbagai perangkat kehidupan yang ditawarkan kepada setiap individu, salah satu diantaranya adalah perangkat etika dan moral. Pada dasarnya setiap manusia diberikan kebebasan untuk menerima atau menolak perangkat moral tersebut, namun dalam kenyataannya sikap manusia yang secara umum terbagi kedalam dua kutub besar (kutub pertama menerima modernitas sedangkan kutub kedua menolak modernitas secara total) sama-sama menemui jalan buntu dalam mengapresiasi modernitas, kutub pertama dikatakan gagal karena seluruh norma modernitas termasuk norma etika diterima secara membabi buta tanpa melalui proses filter, sehingga alih-alih bermimpi untuk menjadi modern mereka justru terperangkap dalam sangkar westernisasi, sedangkan kutub kedua dikatakan gagal karena sikap mereka yang terlalu eksklusif terhadap modernitas, secara tidak langsung sikap tersebut menutup ruang ke arah kemajuan. 

Mungkin hanya golongan creative minority yang mampu menyeleksi dengan cerdas mana etika dan moral modernitas yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak, sebab tidak sesuai dengan latar belakang kultur kita. Kehadiran modernitas sebenarnya merupakan ujian tersendiri bagi manusia, apakah di tengah ekspansi modernitas yang begitu masif ia masih mampu menjaga stabilitas dan moral kelompoknya (menjaga bukan berarti tanpa perubahan namun perubahan etika hendaknya tetap berada dalam bingkai kultur dari setiap komunitas) atau ia justru akan diterabas oleh kebengisan modernitas dengan berbagai perangkat yang mengiringi kehadirannya. Dari perspektif genealogi, tinta sejarah telah menuliskan bahwa setiap fase peradaban yang pernah lahir, selain memproduksi kemajuan juga membawa perangkat norma tertentu sesuai dengan daerah kelahirannya. Untuk konteks ini, penting kiranya bagi kita agar mencermati peta kelahiran modernitas, sebagai sebuah tahapan sejarah paling mutakhir, modernitas yang lahir dalam alam kehidupan Eropa tak pelak lagi telah membawa serta norma etika dan moral kedalam dirinya, bahkan boleh dikata norma etika dan moral tersebut merupakan dasar berpijak bagi modernitas barat, semisal etika kebebasan atau lainnya. 

Dalam perjalanannya modernitas yang menjanjikan kemajuan bagi penganutnya kemudian bisa diterima bukan hanya di Eropa, tetapi di seluruh benua yang ada di dunia, ketika proses penerimaan berlangsung, disadari atau tidak, setiap bangsa akan menghadapi dilema tersendiri terkait bagaimana mendefinisikan kemajuan, apakah kemajuan harus didefinisikan dalam bentuk meninggalkan tatanan nilai lama lalu bergeser kepada tatanan nilai baru, atau tetap ada tatanan nilai lama tertentu yang harus dipertahankan, karena sekalipun ia berasal dari periode tradisional akan tetapi ia sebenarnya mampu mendukung proyek modernitas, kalaupun kita menerima asumsi kedua maka pertanyaan selanjutnya adalah tatanan nilai mana yang harus ditinggalkan dan tatanan nilai mana yang mesti dipertahankan? Terkait dengan hal ini maka sebuah bangsa biasanya terlihat menempuh sikap paradoks dalam pergumulan menerima atau menolak norma etika dan moral tertentu yang berasal dari luar. 

Sebagai deskripsi sederhana, ketika bangsa Indonesia ingin mengaplikasikan etika kebebasan yang notabenenya merupakan salah satu etika yang lahir dari rahim modernitas, maka perdebatan yang berujung pada pro dan kontra terhadap etika kebebasan merupakan sebuah pemandangan yang barang tentu akan mewujud kedalam ruang publik nusantara, bahkan sekalipun semua orang setuju mengenai kebebasan maka perdebatan mengenai hal itu tidak akan berhenti dengan sendirinya, orang masih beradu argumen mengenai standar kebebasan, apakah kebebasan yang kita inginkan memiliki batasan tertentu atau ia merupakan kebebasan absolut yang tidak butuh pembatasan. Ketegangan-ketegangan semacam ini merupakan hal yang tak dapat terhindarkan, sebab sebelum kelahiran modernitas barat (penggunaan “modernitas barat” penting dicantumkan dalam artikel ini karena pada dasarnya terdapat berbagai peradaban yang pernah mengusung ide-ide kemoderenan sesuai dengan ruang dan waktunya) setiap bangsa telah memilki perangkat etika dan moral tersendiri yang jenisnya beragam antara suku yang satu dan suku lainnya, sehingga harus ada dialog kultural dalam proses penerimaan norma etika dan moral modernitas.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT